KARIR SAYA Jika ada yang bertanya: lantas mengapa PKI dituduh sebagai dalang G30S? Maka saya akan balik bertanya: siapa yang menuduh begitu? Jika PKI mendalangi G30S atas inisiatif Aidit, maka Indonesia bakal menjadi lautan darah. Bukan hanya banjir darah seperti yang sudah terjadi. Betapa ngeri membayangkan PKI dengan 3 juta anggota didukung 17 juta anggota organisasi onderbouwnya berperang melawan tentara yang hanya ratusan ribu. Bila genderang perang benar-benar ditabuh, alangkah hebat pertempuran yang terjadi. Namun seperti kita saksikan, PKI tidak melakukan perlawanan berarti pada saat dibantai. Itu karena tidak ada instruksi melawan. Aidit malah lari dan lantas ditembak mati. Bung Karno - yang juga bisa menjadi panutan PKI – tidak memerintahkan apa-apa. Lantas saya dituduh PKI. Tuduhan atau stigma terlibat PKI bukan hanya saya terima sendirian. Banyak tokoh yang tidak disukai oleh Soeharto dituduh PKI. Ini bertujuan politis, agar kekuasaan Soeharto langgeng. Bagi saya tuduhan itu lebih keji lagi. Saya tidak hanya dituduh PKI, tapi juga dilontarkan julukan yang menyakitkan hati. Saya dijuluki Durno. Target penghancuran diri saya oleh kelompok Soeharto sebenarnya hanya sasaran antara. Tujuan utamanya adalah menjatuhkan Bung Karno. Seperti sudah saya sebut, skenario Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada 4 tahap: 1. menyingkirkan para perwira yang menjadi saingan beratnya, seperti A Yani dan Nasution (ini terwujud di G30S) 2. melikuidasi PKI, partai besar yang saat itu akrab dengan Bung Karno (ini terlaksana setelah PKI dituduh mendalangi G30S). 3. memisahkan Bung Karno dari para pengikutnya (ini tercapai saat menangkapi 15 menteri - termasuk saya – sekitar sepekan setelah keluar surat perintah 11 Maret 1966). 4. Setelah 3 tahap itu tercapai, Bung Karno dengan mudah dijatuhkan dengan cara seolaholah konstitusionil melalui ketetapan MPRS. Nah, saya termasuk sasaran antara tahap ke-3. Saya bersama 14 menteri ditangkap tanpa alasan jelas. Mula-mula saya ditangkap dengan cara sopan oleh tentara: Maaf, pak, kami diperintahkan agar mengamankan Bapak dari kemungkinan amukan rakyat, kata tentara yang menangkap saya. Lantas, kami 15 menteri dikumpulkan di suatu ruangan sekitar Senayan. Beberapa hari kemudian baru kami menyadari bahwa kami bukan diamankan tapi ditangkap. Para tentara itu mulai bertindak kasar. Akhirnya kami dipenjarakan. Untuk menghancurkan nama baik kami, Soeharto menuduh kami teribat PKI. Bahkan menambahi saya dengan julukan Durno. Kami dihinakan dan tersiksa lahir dan batin di penjara demi tujuan Soeharto meraih kekuasaan. Saya memang pernah aktif dalam organisasi politik tapi di PSI (Partai Sosialis Indonesia). Kalau di PKI, saya sama sekali bukan anggota atau simpatisan, walaupun pada saat saya masih di puncak kekuasaan dengan merangkap tiga jabatan sangat penting, orang-orang PKI banyak mendekati saya. PKI juga mendekati Bung Karno. Malah, anggota dan pimpinan PKI ada yang menjadi anggota kabinet, bahkan anggota ABRI. BAB IIIB: BIO-DATA & KUASA BERPINDAH Agar lebih jelas, saya paparkan sekilas biografi saya. Saya lahir di Kepanjen (selatan Malang), Jatim, 15 September 1914. Ayah saya, Kusadi, adalah Wedono Kepanjen. Ibu saya, Sapirah, adalah ibu rumah tangga biasa. Saya adalah anak kedua dari enam bersaudara. Saya dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Untuk ukuran posisi ayah di desa kecil Kepanjen saat itu, keluarga kami cukup terhormat. Masa kanak-kanak saya habiskan di Kepanjen. Saya sekolah di SR (Sekolah Rakyat setingkat SD) di sana. Lulus SR, saya masuk MULO (setingkat SMP) di Malang. Sebab, saat itu di Kepanjen belum ada sekolah MULO. Lulus MULO saya lanjutkan ke AMS tahun 1928. Saya masuk sekolah terlalu dini, sehingga pada usia 14 tahun saya sudah tamat AMS. Tamat AMS, saya memilih melanjutkan ke sekolah kedokteran di Jakarta. Tempatnya di Jalan Salemba yang kemudian berubah menjadi Universitas Indonesia. Saat itu saya memang ingin menjadi dokter – sebuah keinginan yang bisa dibilang muluk untuk ukuran rakyat Indonesia saat itu. Anak-anak rakyat biasa saat itu paling tinggi hanya sekolah SR. Saya bisa ke sekolah lanjutan, sebab ayah saya merupakan petinggi, walaupun hanya petinggi desa. Tetapi, dari lima saudara saya, hanya saya yang paling menonjol di sekolah, sehingga bisa melanjutkan sampai ke sekolah kedokteran. Semasa sekolah kedokteran, saya banyak kenal dengan para pemuda pejuang, termasuk Bung Karno. Saya sering ikut diskusi-diskusi mereka. Dari sana saya juga dikenal para pemuda pejuang itu. Saya sendiri menjadi tertarik bergaul dengan mereka. Saya menyelesaikan sekolah dokter sesuai jadwal, yakni tujuh tahun. Tercapailah keinginan saya menjadi dokter. Lantas saya mengambil brevet dengan spesialisasi bedah perut. Saya selesaikan ini dalam tiga tahun, juga sesuai jadwal. Maka, pada tahun 1938 saya sudah mengantongi gelar dokter ahli bedah. Ketika itu jumlah dokter umum masih sangat jarang, apalagi dokter spesialis. Kalau tidak salah, dokter ahli bedah hanya ada lima orang. Tiga dari Jakarta, termasuk saya, dua dari Surabaya (Universitas Airlangga). Sebelum lulus, tahun 1936 saya menikah dengan Hurustiati, seorang mahasiswi tapi beda fakultas dengan saya. Ketika saya sudah lulus, ia masih kuliah. Usia kami hanya berbeda beberapa tahun. Saya sedikit lebih tua. Begitu lulus, saya langsung ditarik pemeritah kolonial menjadi dokter di Semarang (sekarang RS Dr. Karjadi). Hanya beberapa bulan kemudian saya dipindahkan ke Jakarta (sekarang RS Dr. Cipto Mangunkusumo). Ahli bedah di sana saat itu hanya dua orang, termasuk saya. Untuk menyalurkan hobi berdiskusi saat mahasiswa, saya masuk PSI. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja, pada 1940 saya sudah menjadi wakil ketua PSI. Akhirnya saya mundur dari rumah sakit. Saya juga tidak praktek pribadi. Sepanjang hidup saya juga tidak pernah praktek dokter pribadi. Karir saya di kedokteran selesai sampai di situ, sebab saya jenuh dengan pekerjaan yang menurut saya monoton. Saya lebih tertarik berorganisasi. Sampai akhirnya proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Bung Karno. Sekitar tahun 1946 saya ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi wakil pemerintah Indonesia di Inggris, berkedudukan di London. Penunjukan itu tiba-tiba saja. Tidak melalui proses, misalnya, menjadi pegawai negeri dulu. Mungkin karena saat itu jumlah manusia tidak sebanyak sekarang. Dan, penunjukan Presiden Soekarno langsung saya terima. Istri saya juga setuju. Ini sebenarnya jabatan duta besar, tetapi kemerdekaan Indonesia belum diakui PBB. Sehingga saya tidak dipanggil duta besar, baik di Indonesia maupun di Inggris. Bung Karno hanya menyebut jabatan saya: Wakil Pemerintah Indonesia di Inggris. Sebelum berangkat ke London, saya was-was. Tetapi setelah di Inggris, keberadaan saya ternyata diterima oleh Pemerintah Inggris. Memang tidak ada penyambutan saat saya datang. Saya juga tidak membayangkan akan disambut. Lantas saya membuka kantor di London. Inilah embrio Kedutaan Besar RI untuk Inggris. Dan, itulah awal saya meniti karir di pemerintahan. Jika banyak orang menempati jabatan Dubes sebagai pos buangan, saya malah memulai karir dari pos itu. Tahun 1950 baru saya disebut Duta Besar RI untuk Inggris berkedudukan di London. Bagi saya sebenarnya tidak ada perubahan. Hanya sebutannya saja yang berubah. Namun, kemudian reaksi pemerintah Inggris terhadap keberadaan saya di sana secara bertahap berubah ke arah positif. Saya sering diundang ke acara-acara kerajaan, sebagaimana diperlakukan terhadap para duta besar dari negara-negara merdeka lainnya. Dari seringnya menghadiri undangan acara kerajaan itu saya sering berdekatan dengan Ratu Elizabeth. Saat itu tidak terbayangkan oleh saya bahwa berdekatan dengan Ratu Elizabeth kelak bisa menyelamatkan nyawa saya dari eksekusi hukuman mati yang tinggal menunggu hari (soal ini sudah diungkap di muka). Saya hanya menjalankan tugas negara. Dan, dalam menjalankan tugas, antara lain, harus menghadiri acara-acara seremonial tersebut. Pada tahun 1954 Presiden Soekarno menarik saya dari London, dan memindahkan saya ke Moskow. Resminya jabatan baru saya adalah Duta Besar RI untuk Uni Soviet di Moskow. Dua tahun di sana, lantas saya diperintahkan pulang ke Jakarta. Tiba di tanah air saya ditunjuk oleh Presiden menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Luar negeri, menggantikan Roeslan Abdoelgani. Sedangkan Roeslan menjadi Menlu menggantikan Ali Sastroamidjojo. Yang unik adalah bahwa Ali turun jabatan menjadi Dubes RI untuk AS di Washington. Setahun kemudian saya dipanggil oleh Bung Karno. Setelah menghadap, Bung Karno berkata demikian: Bandrio, kamu saya tunjuk menjadi Perdana Menteri. Saya kaget. Itu merupakan suatu loncatan jabatan yang luar biasa – dari Sekjen Deplu menjadi Perdana Menteri. Menanggapi ini saya mengatakan, minta waktu berpikir. Sesungguhnya saya menolak tawaran itu. Saya merasa tidak enak dengan para senior saya. Memang, saya merasa Bung Karno menaruh simpati pada saya. Tolok ukurnya adalah bahwa Bung Karno sering menugaskan saya membuat naskah pidatonya. Bahkan, pada suatu hari Bung Karno berpidato di Markas PBB. Sebelum tampil Bung Karno meminta saya membuatkan naskah pidato, padahal saya di Jakarta. Namun, tugas itu tetap saya laksanakan. Walaupun saya jarang bertatap muka dengan Bung Karno, terasa sekali dia bersimpati pada saya. Tapi, saya merasa belum mampu menjadi Perdana Menteri. Apalagi saya belum lama pulang ke tanah air, sehingga saya kurang memahami perkembangan situasi terakhir. Menolak tawaran Bung Karno juga tidak enak. Lantas jalan keluarnya adalah bahwa saya bicara dengan Ketua PNI Suwito. Saya minta tolong Suwito menghadap Bung Karno, untuk menyampaikan keberatan saya. Sambil menyampaikan ini ia mengusulkan nama Djuanda. Ternyata Bung Karno setuju. Jadilah Djuanda Perdana Menteri. Untuk menjalankan tugasnya dia dibantu oleh presidium yang disebut Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Ada dua Waperdam, yakni Waperdam-I Idham Khalid dan Waperdam-II Hardi. Selanjutnya saya menjadi Menlu menggantikan Roeslan. Setelah Djuanda meninggal dunia, tiga menteri dipanggil oleh Bung Karno – saya sendiri, Menteri Pangan Leimena, dan Menteri Pemuda Chaerul Saleh. Tujuannya adalah untuk mencari pengganti Djuanda dari tiga menteri ini. Proses pemilihannya unik sekali, sehingga tidak saya lupakan. Bung Karno memberi kami masing-masing tiga batang korek api. Semula kami bingung. Bung Karno menyatakan bahwa ini pemilihan yang adil dan demokratis. Masing-masing diberi sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan (karena sudah dipatahkan oleh Bung Karno), dan setengah batang dengan pentolan (juga sudah dipatahkan sebelumnya). Bung Karno meletakkan sebuah kantong di meja. Cara permainannya, batang korek utuh merupakan simbol saya, setengah batang tanpa pentolan menjadi simbol Leimena, dan setengah batang dengan pentolan mewakili Chaerul. Bung Karno minta, masing-masing memilih satu saja untuk dimasukkan ke dalam kantong. Saat memasukkan korek ke kantong, tangan harus menggenggam supaya tidak diketahui yang lain. Pemilihan pun dimulai. Saya memasukkan setengah batang korek tanpa pentolan. Artinya, saya memilih Leimena. Lantas disusul Leimena dan Chaerul. Meskipun bentuknya sangat sederhana, tetapi inilah pemilihan Perdana Menteri Indonesia. Suasana hening. Bung Karno memandang masingmasing menteri yang memasukkan korek ke sebuah kantong. Sampai semuanya menggunakan hak pilihnya. Apa yang terjadi berikutnya? Bung Karno menumpahkan isi kantong itu secara blak-blakan. Yang tampak: sebatang korek utuh, setengah batang tanpa pentolan, dan setengah batang dengan pentolan. Lengkap. Bung Karno geleng-geleng kepala. Hasil suara seimbang untuk tiga kandidat. Pemilihan macet. Kami saling memandang satu sama lain. Lantas kami saling terbuka. Saya pilih Leimena, sebaliknya Leimena pilih saya, Chaerul pilih dirinya sendiri. Leimena kemudian bicara. Sebaiknya Soebandrio menjadi Perdana Menteri. Alasannya, Indonesia butuh perhatian penuh di bidang luar negeri. Terutama menyangkut Irian Barat yang statusnya belum jelas. Untuk itu perlu diplomasi internasional. Orang yang tepat adalah Soebandrio, ujarnya. Bung Karno ternyata setuju dan memanggil ajudannya Brigjen Sabur untuk menuliskan keputusan di kertas kop kenegaraan. Sebelum terlaksana, saya minta bicara. Saya katakan, tidak perlu merombak kabinet. Sebaiknya Bung Karno selain Presiden juga Perdana Menteri didampingi oleh para Waperdam. Nah, Waperdamnya adalah kami bertiga. Bung Karno juga setuju. Lalu Leimena main tunjuk, saya Waperdam-I, Leimena Waperdam-II, Chaerul Waperdam-III. Hebatnya, tanpa banyak bicara lagi semuanya sepakat. Tidak lama kemudian saya dibebani satu tugas lagi sebagai Kepala BPI. Maka, saya merangkap tiga jabatan. Semakin jelas bahwa Presiden mempercayai saya. Walaupun cukup berat, namun saya laksanakan tugas-tugas yang diberikan. Saya masih sempat melaksanakan ibadah haji. Sebagai imbalan, selain digaji, saya juga diberi rumah cukup di Jalan Imam Bonjol 16, Menteng, Jakarta Pusat. Untuk ukuran saat itu rumah tersebut sudah cukup mewah. Di rumah itu pula saya memiliki perpustakaan. Kelak perpustakaan saya ini dihancurkan oleh penguasa Orde baru. Tahun 1958 anak saya yang pertama lahir, dan kami beri nama Budojo. Ternyata hanya itu anak saya, sebab dia tidak punya adik lagi. Saat saya menjadi pejabat tinggi negara, ada yang unik. Saya menjadi tukang khitan beberapa anak pejabat. Ceritanya, para pejabat itu tahu bahwa saya adalah dokter ahli bedah. Saat itu sudah banyak dokter ahli bedah. Tapi, entah mengapa mereka minta tolong saya untuk mengkhitankan anak mereka. Ada beberapa anak pejabat yang sudah saya khitan. Saya hanya menolong mereka dengan ikhlas. Sejak mengundurkan diri dari RS, saya tidak pernah praktek dokter pribadi. Beberapa teman menyayangkan bahwa saya tidak buka praktek. Sebab, saat itu jumlah dokter masih sedikit. Tetapi, karena sudah menjadi niat saya untuk terjun ke dalam kancah politik, saya tinggalkan bidang pekerjaan yang sebenarnya sesuai dengan bidang pendidikan saya itu. Ya, saya harus memilih, dan saya sudah menentukan. Jadinya, saya hanya menjadi tukang khitan anak pejabat. Sepanjang saya menjadi pejabat tinggi negara, memang ada beberapa tokoh PKI yang akrab dengan saya. Sebagai pejabat tentu saya akrab dengan pimpinan PKI, DN Aidit. Juga dengan beberapa tokoh PKI lainnya. Tetapi, saya tidak masuk ke dalam keanggotaan partai itu. Saya juga tidak aktif di PSI, sejak menjadi pejabat negara. PKI saat itu adalah partai besar. Mereka tentu memiliki ambisi politik tertentu, sehingga mereka tidak hanya mendekati saya, tetapi juga pejabat tinggi negara lainnya, termasuk Bung Karno. Bahkan, beberapa tokoh PKI masuk ke dalam jajaran kabinet. Banyak juga di ABRI. Sebab, PKI saat itu memang partai besar dan legal. Jadi, wajar kalau tokohnya duduk di kabinet dan ABRI. Sebagai gambaran, salah satu partai besar saat ini (tidak perlu saya menyebut namanya) menempatkan tokohnya di jajaran kabinet. Bahkan, ada yang masuk ke jajaran ABRI. Bukankah itu hal yang wajar? Dan, kalau para pimpinan partai itu mendekati pimpinan puncak, presiden dan orang-orang terdekatnya, juga wajar. Kondisinya berubah menjadi tidak wajar setelah partai tersebut dinyatakan sebagai partai terlarang. Itulah PKI. Saat G30S meletus - seperti sudah saya sebutkan di muka - saya sedang bertugas di Medan. Kami keliling daerah untuk memantapkan program-program pemerintah. Begitu saya diberitahu oleh Presiden Soekarno, saya langsung pulang, dan tiba di istana Bogor bergabung dengan Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965. Setelah itu kondisi negara tidak menentu. Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965. Sejak itu pula kelompok Bayangan Soeharto menyebarkan propaganda bahwa G30S didalangi oleh PKI. Ketua PKI, DN Aidit, ditembak mati di Jawa Tengah. Namun muncul pengakuan tertulis Aidit – yang sangat mungkin merupakan rekayasa – bahwa ia yang mendalangi G30S. beberapa tokoh PKI lainnya juga ditembak mati, tanpa proses pengadilan. Semua ini adalah cara untuk membungkam PKI, agar tidak bicara. Memang, pada 1 Oktober 1965 Aidit berada di Halim, pusat pasukan G30S berkumpul. Namun, saya dengar istri Aidit mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965, malam hari, Aidit diculik dan dibawa ke Halim. Aidit terbang ke Yogyakarta, beberapa saat setelah Bung Karno meninggalkan Halim. Saya sangat yakin bahwa dalang G30S bukan Aidit. Saya ingat saat saya dan Aidit sama-sama menjenguk Bung Karno yang sedang sakit. Setelah saya periksa, Bung Karno ternyata hanya masuk angin. Tetapi, disebarkan isu bahwa Bung Karno sedang sakit berat, paling tidak bisa lumpuh. Isu tersebut merupakan propaganda yang ditujukan untuk konsumsi publik di luar PKI. Sebab, PKI pasti mengetahui, karena Aidit bersama saya menjenguk Bung Karno. Propaganda itu bertujuan untuk memberi alasan keterlibatan PKI dalam G30S. Propaganda itu akan membangun opini publik bahwa PKI bergerak merebut kekuasaan sebelum didahului oleh pihak lain, mengingat sakit kerasnya Bung Karno. Yang mengetahui rahasia ini hanya Bung Karno, Aidit, dokter RRC yang didatangkan oleh Aidit dari Kebayoran-Baru, Jakarta, Dokter Leimena, dan saya sendiri. Tanpa berniat membela Aidit, saya yakin bahwa bukan Aidit yang mendalangi PKI, sebab saya tahu persis. Kalau Aidit mendukung pembunuhan anggota Dewan Jenderal, memang ya. Dalam suatu kesempatan, saya dengar Aidit mendukung gerakan membunuh anggota Dewan Jenderal yang dikabarkan akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Sebab, kalau sampai Presiden terguling oleh kelompok militer, maka nasib PKI selanjutnya bakal sulit. Tetapi, Aidit hanya sekadar mendukung dalam bentuk ucapan saja. Tetapi akhirnya propaganda Soeharto melalui media massa sukses. Kesan bahwa PKI mendalangi G30S melekat di benak publik. Malah diperkaya dengan cerita pembantaian para jenderal di Lubang Buaya oleh kelompok Gerwani yang menari-nari sambil menyiksa para jenderal. Dikabarkan bahwa mata para jenderal dicungkil, kemaluannya dipotong, tubuhnya disayat-sayat. Penyiksaan keji ini diberi nama Upacara Harum Bunga – suatu nama yang sangat kontras dengan kekejiannya. Sungguh suatu cerita yang mengerikan. Cerita ini diperkuat dengan pengakuan seorang wanita bernama Jamilah dan kawan-kawan yang mengaku sebagai orang Gerwani. Saya tidak tahu, siapa Jamilah itu. Tetapi cerita ini dipublikasikan oleh pers yang sudah dikuasai Soeharto. Dalam sekejap kemarahan rakyat terhadap PKI tersulut. Padahal, cerita yang disebarkan Soeharto itu semua bohong. Terbukti, setelah Soeharto tumbang, para dokter yang membedah mayat para jenderal dulu bicara di televisi: mayat para jenderal itu utuh, Sama sekali tidak ada tanda-tanda penyiksaan. Memang kulit mayat terkelupas, tetapi berdasarkan penelitian, itu karena mayat tersebut terendam di dalam air (sumur) selama beberapa hari. Saya bukan PKI. Memang, saya pernah menyerukan penghentian pembantaian terhadap pimpinan dan anggota PKI oleh AD pada pertengahan Oktober 1965. Itu saat-saat awal PKI dibantai. Seruan saya ini atas perintah Presiden Soekarno yang tidak menghendaki pertumpahan darah. Bung Karno saat itu masih memegang kendali. Beberapa jam setelah G30S meletus, ia memerintahkan agar semua pasukan bersiap di tempatnya. Jangan ada yang bergerak di luar perintah Presiden. Sebab, pada dasarnya Bung Karno tidak menghendaki pertumpahan darah. Namun perintah Presiden tidak digubris. Seruan saya juga tidak dihiraukan. Pambantaian PKI terus berlangsung. Malah, sejak itu saya dicap sebagai pro-PKI. Apalagi saya pernah ditugaskan di Moskow. Saya juga pernah ditugaskan berkunjung (sebagai Menlu) ke Beijing, RRC dan diberi tawaran bantuan senjata gratis oleh pimpinan RRC. Sedangkan Moskow dan Beijing adalah poros utama komunis. Dari rangkaian tugas-tugas kenegaraan saya itu lantas saya dicap pro-PKI. Saya sebagai pejabat tinggi negara saat itu tidak dapat berbuat banyak menanggapi cap tersebut. Sebab, bukankah semua itu karena saya menjalankan tugas negara? Saya merasa cap PKI menjadi mengerikan bagi saya, setelah PKI dibantai habis-habisan. Pada Sidang Kabinet 11 Maret 1966 di Istana Negara saya menjadi incaran pembunuhan tentara, meskipun saat itu saya masih pejabat tinggi negara. Ketika Istana Negara dikepung oleh pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris dibantu oleh pasukan RPKAD (kelak berubah menjadi Kopassus) pimpinan Sarwo Edhie, jelas saya diincar. Dari laporan intelijen, saya diberitahu bahwa Kemal Idris bersama pasukannya akan membunuh saya. Itu juga atas persetujuan Soeharto. Tetapi akhirnya saya lolos. Beberapa hari setelah itu baru 15 menteri ditangkap, termasuk saya. Jika sebelumnya cap pro- PKI terhadap diri saya tidak terbuka, sejak saya ditangkap cap itu semakin menyebar secara luas. Malah, Soeharto menambahi julukan baru bagi saya: Durno. Sebagai orang Jawa, tentu saya sangat sakit hati diberi julukan itu. Sebab, Durno adalah tokoh culas dalam pewayangan. Durno suka mengadu-domba. Soal julukan ini saya tidak tahu bagaimana asal-usulnya. Yang tahu tentu hanya Soeharto. Tetapi, ini memang bagian dari penghancuran diri saya sebagai pengikut setia Bung Karno. Dan, julukan Durno bagi saya baru muncul setelah saya ditahan, setelah Bung karno mendekati ajal politiknya. Di dalam penjara, saya sama sekali tidak disiksa secara fisik. Kalau disiksa mental, sudah jelas. Interogasi tak habis-habisnya hanya untuk tujuan menjatuhkan mental. Sebagai mantan pejabat tinggi negara, saat itu mental saya sudah jatuh. Dari pemegang kekuasaan negara berubah menjadi orang tahanan. Mungkin saya mengalami depresi. Istri saya tentu mengalami hal yang sama. Anak saya satu-satunya masih kecil. Saya diadili di Mahmilti tidak lama kemudian. Tetapi, anehnya dakwaan buat saya bukan sebagai PKI atau terlibat G30S. Sama sekali tidak menyinggung dua hal pokok itu. Padahal, saya sudah dicap pro-PKI. Saya sudah dijuluki Durno. Saya diadili karena ucapan saya bisa menimbulkan kekacauan saat saya berkata: Kalau ada teror, tentu bakal muncul kontra-teror. Beberapa setelah G30S meletus, para pemuda yang dimanfaatkan AD mendesak agar Bung Karno diadili. Mereka didukung oleh AD untuk melakukan demonstrasi dan melancarkan teror bagi Bung Karno serta para pendukungnya. Suatu saat saya mengatakan, jika ada teror (dari para pemuda) maka bakal muncul kontra-teror (entah dari mana). Nah, ucapan saya ini dinilai bisa memancing kekacauan. Saya dituduh melakukan subversi. Sidang berlangsung singkat, lantas saya dijatuhi hukuman mati. Benar-benar pengadilan sandiwara. Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara ’konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini. Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara. Dan, pengadilan sandiwara di banyak kasus seputar G30S dan PKI di awal kepemimpinan Soeharto, kemudian berdampak sangat buruk bagi Indonesia. Sejak itu sampai sekarang, pengadilan sandiwara merupakan hal lumrah. Pengadilan sandiwara kasus seputar G30S merupakan semacam yurisprudensi (rujukan) bagi serentetan amat panjang pengadilan sandiwara berikutnya. Moral aparat hukum rusak berat. Pengadilan berbagai kasus disubversi- kan berikutnya: Tanjung Priok, Lampung, demonstrasi mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru, diadili dengan pengadilan sandiwara merujuk G30S. Bahkan juga kasus-kasus korupsi. Salah menjadi benar, benar menjadi salah. Ini sama sekali bukan pelampiasan dendam saya terhadap Soeharto. Tak kurang Presiden KH Abdurrahman Wahid (tidak ada hubungannya dengan saya) sampai melontarkan pernyataan bahwa seluruh hakim Jakarta akan diganti dengan hakim impor. Di dalam penjara, awalnya saya mengalami depresi. Kesalahan saya satu-satunya adalah menjadi pengikut setia Bung Karno. Namun kemudian saya tidak menyesal menjadi pengikut setia Bung Karno, sebab itu sudah menjadi tekad saya. Dan, ini merupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik. Saya masuk sel isolasi, terpisah dengan napi lain. Meskipun saya tidak disiksa fisik, namun direkayasa sedemikian rupa sehingga batin saya benar-benar tersiksa. Kondisi penjara yang sangat buruk, suatu saat membuat perut saya terluka dan mengalami infeksi. Saya tahu, itu obatnya sederhana saja. Tetapi, pemerintah tidak menyediakan. Luka saya dibiarkan membusuk digerogoti bakteri. Ketika luka saya sudah benar-benar parah (berulat), baru diberi obat. Rupanya pemberian obat yang terlambat itu memang disengaja. Akibatnya, luka memang sembuh. Namun sampai kini sering kambuh, rasa nyeri luar biasa. Di dalam, saya dilarang menulis, membaca berita, dijenguk keluarga atau teman (baru beberapa tahun kemudian dibolehkan). Satu-satunya bacaan saya adalah ayat suci Al-Qur’an. Tetapi, bacaan ini seperti mengembalikan saya pada suasana masa kanak-kanak yang agamis. Saya malah mendapatkan ketenangan jiwa yang tidak saya rasakan ketika saya menjadi pejabat tinggi negara. Akhirnya saya lolos dari hukuman mati karena kawat dari dua petinggi negara adidaya, AS dan Inggris. Hukuman saya diubah menjadi seumur hidup. Tetapi saya tetap ditempatkan di sel isolasi mulai dari Salemba (Rutan Salemba), LP Cimahi, sampai LP Cipinang. Pada tahun 1978 anak saya Budojo meninggal dunia karena serangan jantung. Ibunya benarbenar mengalami depresi berat. Sejak saya dihukum, hanya Budojo yang membuat ibunya tabah menghadapi cobaan. Saya bisa membayangkan, betapa isteri saya hidup nelangsa. Dari seorang istri pejabat tinggi negara, mendadak berubah menjadi ’istri Durno’, disusul anak satu-satunya pun meninggal dunia. Maka, beberapa bulan kemudian istri saya menyusul Budojo, berpulang ke rahmatullah. Tinggallah saya sendiri. Tetap kesepian di penjara. Tidak ada lagi yang menjenguk. Tetapi, diam-diam ada seorang wanita yang bersimpati pada saya. Dia adalah mantan isteri Kolonel Bambang Supeno. Bambang adalah perwira tinggi AD yang ikut mendukung G30S atas instruksi Soeharto. Namun, seperti nasib perwira pelaku G30S lainnya, Bambang dihukum dan akhirnya meninggal dunia. Istrinya, Sri Koesdijantinah, janda dengan dua anak, lantas bersimpati pada saya. Kami akhirnya menikah di LP Cipinang pada tahun 1990. Saya sangat kagum pada Sri yang rela menikah dengan narapidana. Sangat jarang ada wanita setulus dia. Kini hidup saya tidak sendiri lagi. Meskipun saya tetap meringkuk di sel khusus, tetapi setiap pekan ada lagi orang yang menjenguk, setelah bertahun-tahun kosong. Sri muncul di saat semangat hidup saya nyaris padam. Setiap pekan dia membawakan saya nasi rawon kesukaan saya. Juga dua orang anak Sri sangat perhatian. kepada saya. Sebagai sesama korban Soeharto, kami menjadi bersatu. Saya lantas menjadi sadar bahwa bukan hanya saya korban kekejaman Soeharto. Ada banyak korban lain yang jauh lebih sengsara dibanding saya. Sri benar-benar membuat hidup saya bersinar kembali. Pada tanggal 16 Agustus 1995 saya dibebaskan. Saya pulang bersama Sri dan anak-anak. Kami menempati rumah besar di Jalan Imam Bonjol 16 yang dulu saya tinggalkan. Saya seperti bangun tidur di pagi hari. Saya seperti baru saja bermimpi, 30 tahun dalam kegelapan di penjara. Saya seperti menemukan hari baru yang cerah. Saya bersujud syukur alhamdulillah, masih diberi kesempatan menghirup udara bebas. Setahun menempati rumah itu, kami merasa kewalahan. Biaya perawatannya sangat mahal. Sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, honor Sri tidak seberapa. Apalagi saya, penganggur tanpa penghasilan. Tiga jabatan sangat penting saya di zaman Presiden Soekarno tidak dihargai sama sekali. Saya tidak diberi uang pensiun. Akhirnya kami menjual rumah besar itu. Sebagai gantinya, kami membeli rumah lebih kecil di Jakarta Selatan. Setelah Soeharto tumbang, banyak orang datang kepada saya, menganjurkan saya membuat memoar. Saya sesungguhnya tidak tertarik. Selain tidak memiliki persiapan yang matang, juga tidak ada gunanya bagi saya mengungkap masa lalu. Biarlah itu berlalu. Toh saya sudah menjalani hukuman 30 tahun. Toh saya sudah menerima hinaan disebut Durno, PKI, dan sebagainya. Saya sudah ikhlas menerimanya. Saya sudah legowo. Usia saya sudah senja. Tinggal meningkatkan amal soleh dan ibadah, sebagai bekal menghadap Sang Khalik, suatu saat nanti. Apalagi Soeharto akhirnya tumbang juga. Kalau saya mengungkap masa lalu, saya bisa larut dalam emosi. Maka, anjuran itu tidak saya turuti. Namun, teman-teman sezaman, baik dari dalam maupun luar negeri terus menghubungi saya, baik melalui telepon maupun bertemu langsung. Mereka mengatakan, sejarah G30S sudah dibengkokkan. Kata mereka, saya harus mengatakan yang sebenarnya untuk meluruskan sejarah. Ini bukan untuk anda, tapi penting bagi generasi muda agar tidak tertipu oleh sejarah yang dimanipulir, kata salah seorang dari mereka. Diinformasikan bahwa salah satu pelaku sejarah G30S yang amat penting, Kolonel Abdul Latief juga membuat buku berisi pledoinya dulu. Tetapi ada dugaan bahwa Latief tidak mengungkap total misteri G30S. Sebab, Mingguan terbitan Hongkong, Far Eastern Economic Review edisi 2 Agustus 1990 memberitakan bahwa memoar Latief yang lengkap disimpan di sebuah bank di luar Indonesia dengan pesan, boleh dipublikasikan jika Latief dibunuh. Itu berarti G30S masih misteri. Saya sempat bimbang. Keinginan saya mengubur masa lalu seperti digoyang begitu kuat. Apalagi banyak penulis kenamaan datang kepada saya, siap menuliskan memoar saya. Dalam kebimbangan itu saya ingat pada seorang wartawan muda yang paling sering mewawancarai saya, Djono W. Oesman. Dia saya hubungi dan saya minta menuliskan cerita saya, sebab saya percaya padanya. Dia pun setuju. Dialah penyunting buku ini. Hanya saya dan dia yang menyusun potongan-potongan peristiwa yang saya alami dan saya ingat. Saya menyadari bahwa mungkin banyak kekurangan di dalam buku ini. Maklum, G30S adalah masalah internal AD, dan saya bukan dari AD. Tetapi saya dalah pelaku sejarah G30S yang mengalami semua kejadian sebelum, saat meletus, sampai dampak peristiwa itu. Mungkin, inilah sumbangan saya, bagian dari amal ibadah untuk bekal kehidupan saya di akhirat kelak. Semoga ada manfaatnya. Amin. KOMENTAR Teror, teror, dan teror. Tidak henti-hentinya. Saling susul-menyusul. Seolah tiada yang mampu menghentikan teror mental dan fisik yang dimulai sejak 1965, dilanjutkan pada Pemilu 1972. Gembar-gembor bahaya laten PKI terus didengung-dengungkan, untuk memperkuat rezim Soeharto. Teorinya, penguasa Orde Baru selalu menciptakan musuh semu bagi rakyat. Rakyat diberi musuh semu berupa momok bahaya laten PKI. Inilah teror mental. Sedangkan bagi mereka yang kritis, seperti para mahasiswa, dikenakan teror mental dan fisik. Soeharto yang pada 1966 menggerakkan mahasiswa, dalam perjalanan kekuasaannya malah meneror mahasiswa. Terhadap mereka yang kritis dan suka berdemo, dilakukan penangkapan, interogasi, bahkan disiksa. Pada pertengahan 1970-an sudah beredar anekdot yang mengkritik keserakahan keluarga Soeharto. Misalnya, kalangan mahasiswa memberi julukan istri Soeharto, Siti Suhartinah (biasa dipanggil ibu Tien) dengan julukan Ibu Tien Persen. Artinya Ibu Sepuluh Persen. Menurut pembicaraan di kalangan mereka, ibu Tien sering minta komisi 10% jika ada investor asing masuk ke Indonesia. Teror yang disebar oleh rezim Orde Baru seolah-olah merupakan unjuk kekuatan setelah membantai jutaan kaum komunis, keluarga, dan simpatisannya. Seolah diumumkan, jangan macam-macam dengan penguasa. Jangan coba-coba melawan penguasa. Dan, kritik dari generasi muda juga diartikan sebagai melawan penguasa. Maka, harus dihabisi. Bukti dari kesimpulan ini sudah kita saksikan bersama, bagaimana perjalanan rezim Orde baru membunuh kritik dari masyarakat. Mulai dari teror Pemilu 1972, dilanjutkan dengan teror, penangkapan serta penyiksaan terhadap mahasiswa yang berdemo pada 5 Januari 1974 (yang dikenal dengan Malari, yang merupakan singkatan dari Lima Januari). Lantas dilanjutkan tindakan represif tentara kepada mahasiswa yang berdemo pada tahun 1978. Demo damai umat Islam di tahun 1984 menghasilkan pembantaian Tanjung Priok. Kekerasan demi kekerasan dialami rakyat. Setelah saya bebas, kemudian Soeharto jatuh dari kursi kekuasaannya, kekerasan menjadi warisan buruk kepada masyarakat. Perkelahian massal di Sambas, Kalimantan Barat yang saya baca di media massa, memamerkan pembantaian yang mengerikan. Di koran dipasang foto kepala manusia tergeletak di pinggir jalan. Isu dukun santet di Jatim malah lebih gila lagi. Kepala manusia yang sudah terpenggal, ditusuk dengan bambu runcing dan diarak keliling kota. Di Malang, tidak jauh dari kota kelahiran saya, kepala manusia yang sudah terpenggal diikat lantas diseret dengan sepeda motor yang melaju keliling kota. Peristiwa-peristiwa yang saya sebutkan belakangan ini sudah bukan dilakukan oleh tentara lagi, tetapi oleh rakyat terhadap rakyat. Tetapi, ini semua adalah warisan dari pembantaian kaum komunis yang sangat brutal di masa lalu – pelajaran buruk yang diwariskan ke generasi berikutnya. Kudeta merangkak itu bergelimangan darah. Pertama, darah para jenderal yang dibantai pada tanggal 1 Oktober 1965. Kedua, darah Untung dan Soepardjo yang dimanipulasi. Ketiga, darah Sjam Kamaruzzaman yang dikhianati. Keempat darah jutaan kaum komunis, keluarga, simpatisan komunis, keluarga mereka, kaum buruh, dan para petani. Pembaca yang budiman, mengetahui kejahatan kemanusiaan dan tidak mencegah saja sudah merupakan kejahatan terhadap manusia. Lantas, di mana tempat Soeharto yang luput dari hukum hingga buku ini ditulis? Saya berada di rumah sakit (RSPAD Gatot Subroto) sampai menjelang tengah malam, lantas pulang ke rumah, kata Soeharto. Sekali pun kita mencoba melupakan sejenak bahwa ucapan Soeharto itu dusta, namun pulang ke rumah dan tidur pulas setelah mengetahui pasti bahwa beberapa jam lagi rekan-rekan jenderal akan bertemu maut, betapa pun adalah kejahatan. Kualifikasi yang bagaimana yang semestinya diberikan terhadap kejahatan Soeharto yang telah membunuh jutaan manusia dan membuat sebagian lain merana di penjara? Ya, kualifikasi apa? Penghancuran PKI yang diikuti dengan pembunuhan jutaan manusia mendapat dukungan kekuatan imperialisme internasional, terutama Amerika Serikat yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi. Ini bentuk penghancuran struktur di suatu negara (Indonesia) yang sangat besar sejak Perang Dunia-II. Kekejamannya tidak pernah dibayangkan sebelumnya, oleh siapa pun, termasuk oleh kita sendiri, juga termasuk saya yang menyaksikan langsung semua peristiwa di tingkat elite politik Indonesia saat itu. Peristiwa ini bukan hanya peristiwa intern Indonesia, tetapi Indonesia dan dunia. Ini merupakan letupan konflik yang sebenarnya sudah lama ada antara mahakuasa imperialisme internasional dengan hak menentukan nasib sendiri bangsa Indonesia di pihak lain. Indonesia hanyalah tempat peristiwa. Sedangkan karakternya bersifat dunia. Ini sebuah tragedi yang secara moral merupakan kejahatan peradaban umat manusia. Sebagai konsekuensi logis dari peristiwa ini adalah memfasiskan kehidupan negara, bertentangan dengan harapan ahli-ahli teori modernisasi. Hasil dari semua itu adalah penyebaran kapitalisme, termasuk ke Indonesia. Tetapi di Indonesia, penyebaran kapitalisme tidak diikuti dengan lahirnya negara borjuis demokrasi liberal, seperti di AS atau Eropa Barat. Itu tidak tercipta di sini. Sebagai gantinya, ternyata, perkembangan kapitalisme di sini melahirkan negara birokrasi militer. Pada perkembangan berikutnya melahirkan berbagai persoalan bangsa yang sulit diatasi oleh generasi penerus. Di sisi lain, kebungkaman terhadap kejahatan manusia dan kemanusaiaan harus segera diakhiri. Atas nama kawan-kawannya, keluarga dan kerabat saya, atas nama semua anak bangsa yang dibunuh, atas nama anak yang kehilangan orangtua mereka, atas nama anak-anak yang selama bertahun-tahun ikut ibu di penjara, atas nama golongan mana pun yang sudah 1 dianiaya dan disembelih oleh rezim Soeharto, saya serukan, akhiri kebungkaman ini. Kepada mereka yang merasa sebagai demokrat, baik di dalam maupun di luar negeri, pecahkan kebungkaman ini. Hari sudah tidak lagi terlalu pagi. Matahari sudah di atas ubun-ubun. Eksistensi rezim kriminal Soeharto ditegakkan oleh segelintir elite Indonesia, para jenderal fasis, pendukung sipil dan teknokratnya, serta kaum konglomerat yang kemudian terbukti serakah dan rakus. Mereka mengembangkan model kapitalisme abad ke-18 yang tak manusiawi dalam memacu kapitalisme di Indonesia selama lebih dari tiga dekade. Hari ini tidak lagi terlalu pagi kita memasuki titik awal. Saya bangga, karena titik awal ini dimulai oleh generasi muda Indonesia yang tidak ragu menghadapi kekuatan kriminal dan uang hasil korupsi rezim Orde baru. Luruskanlah sejarah yang telah mereka bengkokkan selama tiga dekade ini. Pecahkan kebungkaman! Dr. H Soebandrio, Kesaksianku tentang G30S, KOMENTAR (18-9-2000) Date: 2005/7/16 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=5 Betulkah PKI Terlibat G30S? Betulkah PKI Terlibat G30S? Asvi Warman Adam *) SEJARAH, menurut E.H. Carr dalam buku teksnya What is History, adalah dialog yang tak pernah selesai antara masa sekarang dan lampau, suatu proses interaksi yang berkesinambungan antara sejarawan dan fakta-fakta yang dimilikinya. Jadi, tidak ada tulisan atau buku sejarah yang final. Bila ditemukan sumber atau fakta baru, buku sejarah yang lama bisa direvisi. Demikian pula halnya dengan kasus Gerakan Tiga Puluh September 1965 (G30S). Setelah Soeharto berhenti menjadi presiden pada 1998 lalu, sudah terbit beberapa buku baru yang mengungkapkan hal yang selama ini kurang diketahui masyarakat. Misalnya buku Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999), dan pleidoi Kolonel A. Latief, Soeharto Terlibat G30S (2000). Di samping itu, telah terbuka pula berbagai arsip mengenai Indonesia tahun 1965/1966 di AS dan Inggris. Kedua jenis sumber di atas dapat dijadikan landasan untuk mempertanyakan kebenaran sejarah tentang peristiwa tersebut versi pemerintah Indonesia, yang menyebut pelaku utamanya adalah PKI dan Biro Chususnya. Dalam bukunya, Latief mengungkapkan bahwa ia ditangkap tanggal 11 Oktober 1965. Ketika itu paha kanannya ditusuk bayonet dan lutut kirinya ditembak. Selama 10 tahun ia berada dalam sel isolasi yang dikunci dan baru diadili pada 1978. Dari rangkaian tekanan di dalam penjara atau ketika diperiksa dalam sidang Mahmilub, dapat dipertanyakan apakah pengakuan sebelum dan dalam sidang itu dapat dijadikan sumber sejarah yang layak dipercaya. Hal serupa dialami oleh Sulami, Wakil II Sekjen Gerwani, seperti dituturkan dalam buku Perempuan-Kebenaran dan Penjara (1999). Wanita ini ditangkap pada 1967 dan baru diadili pada 1975. Antara lain ia dituduh memberikan barang berharga kepada keluarga Bung Karno di Istana Bogor. "Karena menolak tuduhan itu, interogator baju loreng marah dan memerintahkan algojo agar kedua jari kaki saya diinjak dengan sepatu tentara.... Dengan geram interogator bertanya, ‘Bagaimana? Ngaku tidak?’ Saya diamkan saja. Ia teriak, ‘Cambuk sepuluh kali.’ Algojo penginjak kaki mundur dan tukang cambuk maju dengan rotan belahan. Tiga malam saya mengalami keadaan itu...." Kedua pengalaman di atas rasanya sudah cukup untuk meragukan validitas sumber yang dipergunakan dalam menyusun sejarah versi pemerintah Orde Baru. Selain itu, dapat dikatakan bahwa alasan utama untuk menyimpulkan bahwa PKI--sebagai organisasi-- mendalangi G30S tidak kuat. Yang dipakai alat bukti adalah pengakuan Aidit sebanyak 50 halaman folio sebelum ditembak di Jawa Tengah, yang konon berbunyi, "Saya adalah orang yang mempunyai tanggung jawab tertinggi pada peristiwa 30 September 1965 dan disokong oleh penjabat PKI lainnya serta penjabat organisasi rakyat di bawah PKI" (Soegiarso Soerojo, 1988: 265). Apakah betul Aidit yang menulis surat pengakuan itu? Kalau benar ia mengaku, mengapa ia ditembak mati? Selain itu, selama ini bukti utama lainnya adalah penerbitan Harian Rakyat tanggal 2 Oktober 1965. Dalam buku putih yang disunting oleh Alex Dinuth itu (1997), dicantumkan isi Harian Rakyat yang terdiri dari Pojok ("Gerakan 30 September sudah menindak Dewan Djenderal. Simpati dan dukungan rakjat di pihak Gerakan 30 September.") Tajuk surat kabar itu antara lain menyatakan, "Tetapi bagaimanapun djuga persoalan tersebut adalah persoalan intern AD. Tetapi kita rakjat jang sadar akan politik dan tugas-tugas revolusi mejakini akan benarnja tindakan jang dilakukan oleh Gerakan 30 September untuk menjelamatkan revolusi dan rakjat". Dimuat juga keterangan dari Anwar Sanusi (anggota Politbiro CC PKI) bahwa "Situasi ibu pertiwi dalam keadaan hamil tua" dan karikatur H.R. dengan kata-kata "Letkol Untung Komandan Bataljon Tjakrabirawa menjelamatkan Presiden dan RI dari coup Dewan Djenderal". Pada tanggal 1 Oktober 1965 malam, Pepelrada Jaya melarang terbit semua harian yang terbit di Ibu Kota kecuali koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, yang memang diterbitkan pihak militer. Surat Perintah Pangdam V/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan Mayjen Umar Wirahadikumah berbunyi, "Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpangsiur mengenai peristiwa pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September/Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap mediamedia pemberitaan". Menjadi tanda tanya mengapa Harian Rakyat yang jelas menjadi terompet PKI selama ini bisa terbit. Salah satu dokumen yang berasal dari Kedutaan Inggris di Jakarta (South-East Asia Department, Indonesia, D H 1015/218 10 Oct 1965) menyingkap keraguan tentang isi koran tersebut, apakah betul mewakili PKI. "My guess is that the editor took an unauthorised initiative." Apakah koran kiri sengaja dibiarkan terbit untuk menjebaknya? Atau sebaliknya, apakah tidak mungkin, bila isi Harian Rakyat tanggal 2 Oktober 1965 dipersiapkan oleh pihak lain. Larangan terbit semua koran itu--meskipun hanya lima hari--sangat menentukan, karena informasi dikuasai dan dimonopoli oleh pihak militer. Ketakutan akan dibredel kembali menyebabkan semua media massa hanya menulis atau mengutip pemberitaan sesuai dengan keinginan pemerintah/pihak keamanan. Kampanye tentang keganasan komunis dengan gencar dilakukan oleh kedua harian militer tersebut. Berita Yudha Minggu, 11 Oktober 1965, memberitakan bahwa tubuh para jenderal itu telah dirusak, "Mata dicungkil dan sementara itu ada yang dipotong kemaluan mereka." Sedangkan sukarelawan-sukarelawan Gerwani melakukan hubungan tidak senonoh dengan mayat para jenderal itu. Padahal, menurut visum dokter tidaklah demikian. Para korban itu meninggal dengan luka-luka karena tembakan atau terbentur dinding sumur di Lubang Buaya. Saskia Wieringa mencatat bahwa koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha menyiarkan kampanye sadistis sejenis ini secara teratur sampai bulan Desember 1965. Informasi (atau lebih tepat disinformasi) itulah antara lain yang menyulut kemarahan rakyat dan akhirnya melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap mereka yang dicurigai sebagai anggota PKI. Kampanye untuk menghantam komunis ini mendapat dukungan penuh dari dunia Barat. Dalam dokumen dari pihak Inggris yang dialamatkan ke Singapura mengenai "Indonesian Disturbances" (D 1835, 6 Oct 1965) ditulis "Meanwhile we certainly do not exclude any unattributable propaganda or psywar activities which would contribute to weakening the P.K.I. permanently. We therefore agree with the recommendation in last sentence your paragraph 2. Suitable propaganda themes might be: P.K.I. brutally in murdering Generals and Nasution's daughter; Chinese interference in particular arms shipments; P.K.I. subverting Indonesia as agents of foreign Communists; fact that Aidit and other prominent Communists went to ground; the virtual kidnapping of Sukarno by Untung and P.K.I.; etc., etc. We want to act quickly while the Indonesian are still off balance, but treatment will need to be subtle." Sebetulnya, kalau Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara RI tahun 1994 dibaca dengan seksama, bisa diperoleh kesimpulan yang tentu tidak diharapkan oleh pembuat buku tersebut. Dalam buku Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia itu terdapat indeks nama sebanyak 306 orang tokoh (pada 10 halaman). Kalau kita melihat daftar indeks itu terlihat bahwa kasus tersebut pada intinya menyangkut Presiden Sukarno (disebut 128 kali), dua tokoh PKI (Aidit dan Syam, 77 kali), dan dua kubu perwira ABRI (107 kali). Dalam "indeks kata penting", tiga kata yang paling sering muncul adalah 1)Gerakan Tiga Puluh September, 2) Dewan Revolusi, 3) Dewan Jenderal. Sedangkan kata "PKI" hanya disebut dua kali. Jadi, buku ini berbicara lebih tentang tokoh PKI (atau menurut istilah Orde Baru, oknum), yaitu Aidit dan Syam, ketimbang mengenai PKI sebagai sebuah organisasi sosial-politik. Aidit memang Ketua PKI, tetapi dalam suratnya kepada Sukarno ia mengatakan bahwa "Tanggal 30 September tengah malam saya diambil oleh orang berpakaian Cakrabirawa (tidak saya kenal), dengan keterangan: dipanggil ke Istana untuk sidang darurat kabinet, tetapi kendaraan tersebut menuju ke jurusan Jatinegara. Kemudian pindah mobil terus menuju ke sebuah kampung dan ditempatkan di sebuah rumah kecil. Di situ saya diberi tahu bahwa akan diadakan penangkapan terhadap anggota-anggota Dewan Jenderal." (Soegiarso Soerojo, hlm. 262). Sedangkan Sjam sendiri dalam berbagai buku masih diragukan identitas aslinya, apakah ia agen PKI yang disusupkan ke kalangan Angkatan Darat atau sebaliknya, intel tentara yang menyamar di tubuh PKI, atau bisa juga ia merupakan agen ganda. Mengenai G30S, penulis sendiri berpendapat bahwa mustahil peristiwa berdarah itu dirancang oleh pelaku tunggal, dan peristiwa tragis itu disebabkan oleh unsur internal (dalam negeri), didukung faktor eksternal (unsur asing). Tuduhan bahwa PKI menjadi dalang G30S sebagaimana dimuat dalam buku putih versi pemerintah Orde Baru dan diajarkan di sekolah-sekolah patut dipertanyakan kembali. Tanggal 1 Oktober 1965 malam, selain sebagai tanggal pembredelan pers yang pertama dalam sejarah Orde Baru, bisa pula dianggap sebagai awal upaya perekayasaan sejarah di Indonesia. Saya tidak membantah perihal tindakan brutal oleh PKI dan ormasnya sebelum tahun 1965. Aksi sepihak yang dilancarkan oleh orang-orang komunis dalam mengampanyekan ketentuan land reform telah menimbulkan konflik sosial, terutama di pedesaan. Di bidang seni dan budaya terjadi pengekangan kebebasan bagi kelompok yang tidak mendukung Manipol, seperti yang dialami oleh Taufiq Ismail dan kawan-kawan. Aktivis organisasi Islam PII dipermalukan (seperti dalam insiden Kanigoro), HMI dituntut agar dibubarkan. Namun, semua tindakan yang kasar itu telah dibalas dengan pembantaian terhadap paling sedikit 0,5 juta orang yang dicurigai sebagai penganut paham komunis di Indonesia. Rasanya, pembalasan itu sudah jauh dari setimpal. Seyogianya rekonsiliasi antara umat Islam dan orang-orang kiri dilakukan pada 1966. Tapi itu tidak dilakukan oleh rezim Orde Baru, yang malah sengaja mengawetkan masalah ini dan menjadikannya sebagai alat legitimasi sekaligus alat represi. *) Sejarawan LIPI Kolom ini dikutip dari Majalah TEMPO edisi 2-8 Oktober 2000,pi http://www.tempo.co.id/harian/kolom/02102000-1.html Date: 2005/12/6 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=118 _____________ _____________ Catatan Harian Seorang Mantan Presiden Catatan Harian Seorang Mantan Presiden (Membongkar Dokumen Soeharto) Oleh : Hafis Azhari 1 Sudah lama aku menunggu kesempatan seperti ini. Sudah lama aku mempelajari buku-buku filsafat politik tentang cara-cara memimpin negeri. Aku hafal betul tentang apa yang ditulis oleh Machiavelli tentang teori-teori kepemimpinan serta cara-cara mengambil-alih kekuasaan. Aku sudah paham tentang tokoh-tokoh dalam filsafat Jawa, khususnya mengenai trik-trik Raja Kresna untuk menyelesaikan berbagai persoalan di muka bumi. Ya, dialah satu-satunya ahli strategi para Pandawa yang paling jitu. Figur reinkarnasi dari Wisnu yang identik dengan kebijaksanaan sejati. Bagaimanapun aku harus mengarungi dunia dan tradisi Jawa yang sudah berjalan selama berabad-abad. Dunia pewayangan Jawa yang sangat kaya, dan begitu melekat dalam pandangan hidup rakyat Nusantara, juga berpengaruh kuat dalam gerak-langkah hidup mereka. Tentu tidak lupa aku mempelajari buku-buku dari Negeri Cina juga, khususnya mengenai soal-soal kepemimpinan. Ada sebuah buku menarik berjudul “Ping Fa” yang dikarang oleh Sun Tzu sejak 510 BC. Buku itu diterjemahkan dalam bahasa Prancis oleh Joseph Amiot sejak 1782 M, kemudian diinggriskan dengan judul “Principles of War”. Selama berminggu-minggu aku merenungi isi yang terkandung di dalamnya, hingga sampailah pada kesimpulan bahwa buku itu harus menjadi guru suciku, dan tidak boleh ada orang lain yang ikut membacanya. Buku itu aku peroleh dari seorang petinggi militer, pada tahun-tahun ketika aku mengadakan studi kemiliteran di Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Sudah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia , entah oleh siapa. Namun bagaimanapun buku itu akan kujadikan pegangan hidupku, dan sampai sekarang pun akan tetap menjadi rahasia dalam hidupku. 2 Dulu waktu pangkat militerku masih rendah, bersama teman-teman tentara dan kerabatku, sering kami selundupkan barang-barang milik perusahaan Negara, bahkan memanipulasi _____________ _____________ dump kendaraan bermotor milik Divisi Diponegoro di Jawa Tengah. Kami pun sudah terbiasa mengadakan pungutan-pungutan liar untuk barang-barang kebutuhan rakyat. Namun semua itu tidak berjalan mulus. Suatu ketika kami terpergok dan tertangkap basah. Kemudian oleh seorang jenderal diusulkan kepada Presiden Soekarno bahwa aku mesti dipecat dari dunia kemiliteran. Seketika itu aku manfaatkan Jenderal TNI Gatot Soebroto – bapak angkatnya Bob Hasan – agar menghadap Soekarno secara langsung, supaya dia memberi maaf dan mengampuni segala perbuatan kami. Saat itu Soekarno pun mengusulkan agar kami dididik dan disekolahkan saja, karena menurutnya, “Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita masih rendah, karena itu kita semua harus bertanggungjawab untuk mendidiknya dengan baik,” begitulah kata Soekarno, meskipun aku tidak paham apa yang diomongkannya itu. Segeralah Pak Gatot Soebroto mengontak Soewarto, seorang komandan Seskoad sekaligus agen aktif CIA, yang kemudian berhasil menatar dan membekaliku dalam suatu kursus regular sebagai staf komando angkatan darat. Mulai sejak itulah karir militerku cukup lancar dan terarah, meski semuanya tak terlepas dari gagasan dan kebijakan Soekarno sendiri selaku Presiden RI . Oleh karena itu aku berusaha merahasiakan periode ini dalam sejarah hidupku kelak. Aku tidak akan menyebut-nyebut soal jasa-jasa Soekarno. Dia memang bukan sembarang orang dalam sejarah berdirinya republik yang besar dan kaya-raya ini. 3 Peristiwa 30 September 1965 berkobar. Keributan dan huru-hara di Jakarta membuat aku merasa tenang dan puas, seakan-akan masadepan sudah bersinar dalam hatiku. Separah apapun kerusakan dan kerugian, bahkan sebanyak apapun korban yang ditimbulkan, aku berusaha bersikap diam dan tak ambil peduli. Biar sajalah kekacauan itu terjadi. Tiapkali ada krisis kepercayaan pada pemerintah, biasanya kekerasan dan kekacauan timbul di mana-mana. Kalau perlu pembunuhan dan pembantaian sekalipun. Waktu itu pangkatku sudah Mayor Jenderal, dan posisiku sudah menjabat sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Sampai kapanpun aku tetap akan merahasiakan, bahwa karena jiwa pemaaf dan kearifan Soekarno-lah yang membuatku berhasil dalam meniti karir setinggi itu di dunia kemiliteran. 4 Sekali lagi, biar sajalah kerusuhan dan huru-hara itu terjadi. Yang penting, sebelum tanggal 30 September 1965 posisiku harus berada di rumah sakit. Kini sudah kubawa seorang anakku ke rumah sakit, karena kakinya kesiram sayur sop. Aku akan menemaninya di rumah sakit, meskipun bisa diwakili oleh istriku atau anak sulungku, tetapi akulah yang harus menunggunya di sana . Soalnya, sebelum kejadian itu telah datang seorang Komandan Brigif bernama Latif ke rumahku, untuk melaporkan adanya “Dewan Jenderal” serta rencana sekelompok perwira untuk mencegah percobaan kup oleh para jenderal, serta rencana untuk merebut kepemimpinan Soekarno. Pelapor itu aku catat sebagai orang berbahaya, dan kelak akan kuasingkan di suatu tempat tersembunyi, serta tidak akan kubiarkan dia bicara di depan publik sampai kapanpun. Orang bernama Latif itu sebetulnya tentara kepercayaanku sejak dulu. Waktu kehidupan keluarga kami masih sulit, dialah yang carikan beras untuk kami, juga dia yang carikan uang tambahan untuk keperluan keluarga kami. Tapi bagaimanapun tetap aku catat sebagai orang berbahaya, supaya jangan membongkar persoalan-persoalan penting di masa lalu. Dalam pledoinya di pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) orang ini memberi _____________ _____________ pernyataan tegas: “Kenapa harus saya yang berdiri di sini, Pak Hakim? Kenapa bukan Soeharto? Padahal dia sudah tahu akan adanya Gerakan di pagi hari.” Orang brengsek ini memang telah dua kali melapor sebelum peristiwa itu meletus. Pada malam 30 September dia menghadap lagi ke rumah sakit, katanya akan dilancarkan Gerakan pada pagi hari, guna mencegah terjadinya kudeta yang akan dilakukan oleh Dewan Jenderal. Laporan itu tidak kutanggapi dan aku diam saja. Walaupun aku paham, mestinya tugas pengamanan ada di tanganku. Ya, sebagai Panglima Kostrad sekaligus orang kedua di Angkatan Darat, pada malam itu mestinya kuberitahu semuanya agar bersiap-siaga untuk pengamanan, karena pagi harinya akan ada Gerakan. Tapi apapun yang akan terjadi, biar sajalah. Toh sejak dulu aku jarang diperhitungkan di Angkatan Darat. Kalau ada rapat-rapat petinggi militer, sepertinya mereka tidak pernah mengundangku. Boleh jadi mereka berpendapat bahwa aku ini bukan siapa-siapa, dan tidak mengerti apa-apa. Dan sekarang, buktikan, siapa di antara kami yang menjadi orang nomor satu di negeri ini. Cara apapun harus ditempuh, dan aku akan memperjuangkannya sesuai pendirian dan keyakinanku. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekitar jam 06.00 pagi aku akan mengenakan seragam tempur, untuk menunjukkan pada orang-orang bahwa aku sudah menghadap Presiden. Kalau Jenderal Ahmad Yani sudah mati, bukankah aku – sebagai orang kedua – yang mestinya memberi laporan pada Presiden Soekarno? Tapi aku hanya berpura-pura di hadapan mereka semua… aku tidak perlu bertanggungjawab… apapun yang terjadi, biar sajalah…. 5 Sekarang impian dan ambisiku sudah tercapai. Aku adalah Presiden kedua Republik Indonesia . Jalan apapun harus ditempuh. Aku manfaatkan segala pengetahuan dan pengalaman hidupku. Aku tidak akan menyia-nyiakan semuanya itu. Kini Presiden Soekarno sudah jatuh. Menyusul pembantu-pembantu dan para pendukungnya harus dijatuhkan pula. (Lebih baik kupergunakan istilah “diganti” daripada “dijatuhkan”). Jadi, aku mengganti kepemimpinan Soekarno sekan-akan akulah yang dipercayakan menduduki tampuknya. Kini mereka semua harus “diamankan” (aku sengaja tidak memakai istilah “ditangkap”). Ya, mereka adalah the founding fathers, para perintis dan pendiri republik yang berupaya keras untuk berkorban memerdekakan bangsa ini. Dan siapa pula yang tidak mengenal Soekarno, satu-satunya pahlawan yang sanggup mempersatukan wilayah Nusantara, menciptakan persatuan di antara banyak suku, agama dan ideologi. Dia berhasil merumuskan dasar negara serta diproklamasikannya Republik Indonesia . Daya pukaunya dalam berpidato, telah sanggup membuat rakyat bergerak penuh semangat, bahkan rela berkorban dan mati demi kemerdekaannya. Tentang itu semua, sejarah kita belum mencatatnya secara utuh dan bulat. Para sejarawan masih takut. Karena itu istilah “revolusi” kelak akan kami batasi sebagai perang kemerdekaan. Adapun lahirnya Pancasila, kelak kami rahasiakan pada angkatan muda. Kini sejarah baru harus diciptakan. Aku kerahkan para penulis dan budayawan yang memihakku, serta kuberikan sarana dan fasilitas agar mereka menulis tentang seluk-beluk sejarah Indonesia . Kemudian kusensor karya-karya mereka secara ketat, agar terjadi keseragaman pandangan bahwa sejarah bangsa dan negeri ini identik dengan peristiwa 30 September 1965, yang di kemudian hari kuberi nama G30S/PKI. Maka apapun yang terjadi sebelum itu, sebesar apapun, tak perlu dikategorikan sebagai sejarah Indonesia . 6 _____________ 7 Belakangan muncul beberapa penulis dan budayawan yang menaruh perhatian khusus pada pledoi dan kesaksian Latif di pengadilan Mahmillub. Kemudian muncul pula sebuah penerbit buku independen yang menamakan diri “Hasta Mitra”, dan dimotori oleh Joesoef Isak, Pramoedya Ananta Toer dan Hasjim Rachman. Segeralah kukerahkan para penulis dari kalangan sejarawan, budayawan dan seniman agar mereka kompak mendukung pernyataanku tentang seluk-beluk peristiwa 30 September 1965 itu. Telah kubentuk tim khusus untuk menciptakan sejarah baru tentang peristiwa itu; telah kukumpulkan sekelompok masyarakat untuk membikin kesaksian palsu; telah kubentuk tim dokter khusus untuk menyampaikan pembuktian yang dimanipulasi; juga telah kubangun tugu besar dan museum khusus untuk menciptakan kenangan dan ketakutan rakyat; bahkan aku namai museum itu dengan sebutan “Museum Lubang Buaya”. Aku ciptakan kreasi itu dengan detil-detil cerita fiktif yang menakutkan. Dan beginilah kisah kejadian itu: “Pada pagi hari suatu Gerakan dari Partai Komunis Indonesia telah membantai dan membunuh jenderal-jenderal yang merupakan tulang-punggung bagi berjalannya revolusi negeri ini. Jenderal-jenderal itu telah diinterogasi dan dilukai sekujur tubuhnya. Kemaluannya dipotongi, dibiarkan mereka merintih bergelimpangan. Sedangkan para wanita yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) berlenggak-lenggok mengelilingi para korban, sambil mengadakan tarian-tarian cabul.” Yang jelas, aku harus membuat kreasi ini sebagus mungkin, agar seluruh masyarakat merinding ketakutan. Bahkan kuciptakan kreasi khusus, bersama bukti-bukti palsu bahwa Soekarno telah terlibat aktif dalam peristiwa tragis itu. Aku jadikan peristiwa itu patokan untuk memancing rasa kebencian. Untuk mengungkap gambaran-gambaran sang musuh sebagai penitisan kebejatan, sebagai lambang penderitaan manusia Indonesia sejak 1965 sampai kapanpun di masa yang akan datang. Ya, sudah kupelajari teknik-teknik seperti ini dari buku-buku tentang angkatan perang. Suatu teknik yang terbilang ampuh, dan sepanjang sejarah banyak dimanfaatkan angkatan perang di seluruh dunia. Dan kini, begitu banyak sarana teknologi untuk memberitakan kabar, sebagai pengungkap lambang dan simbol-simbol, yang kelak dapat membuat bulu kuduk siapapun akan merinding ketakutan. Bicara tentang angakatan muda dan mahasiswa, yang kelak disebut sebagai “Angkatan 66”, mereka punya andil tersendiri yang dapat kumanfaatkan bantuannya pada peristiwa 30 September 1965 itu. Ya, dari merekalah gerakan dimulai, dari mulut merekalah sumpah-serapah dilontarkan, di kampus-kampus, di lapangan hingga sampai ke jalan-jalan raya. Dari fasilitas militer juga disediakan truk-truk hingga panser untuk mengangkuti mereka agar berteriak-teriak menentang Soekarno. Spanduk-spanduk, yel-yel bertebaran di mana-mana. Belum lagi bantuan dana dari CIA, ditambah lagi bantuan jaket-jaket kuning agar dikenakan oleh para demonstran. Lantas kukerahkan utusan khusus untuk memaksa orang-orang Telkom agar memutus aliran telpon pada saluran-saluran yang telah kutentukan. Bersamaan dengan itu Mayjen Pranoto Reksosamodra telah ditunjuk oleh Presiden Soekarno selaku Care-Taker MENPANGAD. Aku harus mengupayakan agar dia tak bisa dihubungi, kalau perlu mencegahnya agar tidak datang memenuhi panggilan Presiden di Halim. Sebelum itu, pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar jam 06.30 pagi, telah kuutus Brigjen dr. Amino agar memberitahu Pranoto perihal penculikan Letjen Ahmad Yani beserta jenderaljenderal lainnya. Pranoto kontan berangkat menuju Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) serta mengadakan rapat darurat. Setelah ditampung hasil laporan dari sumber-sumber yang telah diatur sedemikian rupa, maka rapat MBAD menyimpulkan begini: _____________ _____________ “Letjen Ahmad Yani beserta lima jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan penculik yang belum dikenal. Dengan ini rapat memutuskan bahwa Mayor Jenderal Soeharto, panglima Kostrad, agar mengambil-alih pimpinan Angkatan Darat yang sedang fakum.” Pagi itu melalui kurir khusus, keputusan rapat segera disampaikan kepadaku, yang waktu itu sudah menunggu di Makostrad. Dan sewaktu muncul siaran RRI tentang penunjukan Pranoto sebagai Care-Taker, maka berturut-turut utusan Presiden memanggilnya agar segera menghadap ke Halim. Para utusan itu ialah Letkol Infantri Ali Ebram, Brigjen Sutardio, Brigjen Sunario dan Kolonel Bambang Wijanarko. Tapi apapun yang mereka lakukan, kini Pranoto sudah masuk jebakan dalam hubungan komando-taktis di bawah kewenanganku. Dia tidak akan bisa menghadap Presiden tanpa mendapat izin dan restu dariku. Dan sewaktu dia meminta izin, jelas aku larang mentahmentah dengan suatu ancaman: “Kalau kau memaksakan diri menghadap Presiden, kami tidak bertanggungjawab akan kemungkinan adanya korban lagi….” 8 Tibalah waktunya pada tanggal 14 Oktober 1965, setelah melalui macam-macam proses kejadian, ketika secara resmi aku telah menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), maka segeralah dibentuk susunan staf-staf baru, dan kini Pranoto hanya kami tempatkan sebagai perwira tinggi yang diperbantukan pada KSAD. Kemudian pada tanggal 16 Februari 1966 kuperintahkan pasukan khusus untuk menahan Pranoto dengan tuduhan: terlibat dalam G30S/PKI. Pada tahun itu kuperintahkan agar ia segera dikenakan tahanan rumah, hingga kemudian dipindahkan ke Inrehab Nirbaya pada tahun 1969, juga dengan tuduhan yang sama. Dan untuk memperketat pengucilan dirinya sebaiknya ia dikenakan skorsing sebagai anggota angkatan darat, dengan tidak diberi gaji skorsing, juga tidak perlu diberi tunjangan apapun. Lantas memasuki tahun 1981 ketika posisiku sebagai Presiden semakin diakui masyarakat, dan setelah keberhasilanku menciptakan mitos Bapak Pembangunan, maka kuperintahkan Panglima Kopkamtib untuk membuat surat pembebasan resmi. Hingga terhitung sejak tanggal 16 Februari 1981 Pranoto kubiarkan bebas dari tahanan, yang berarti bahwa selama 15 tahun ia mendekam dalam tahanan, tanpa pemberhentian dan pemecatan resmi dari keanggotaan Angkatan Darat. Juga tanpa pemeriksaan melalui proses dan pembuatan berita acara resmi. Kini kubiarkan ia bebas dan – kalau perlu – silakan berbaur dengan masyarakat luas. Lagipula siapa yang akan mengakui keberadaan dia, dan siapa pula yang akan mendengarkan omongannya. Kini kepercayaan publik telah terpusat kepadaku sebagai Bapak Pembangunan, terutama jasa-jasaku dalam membangun negeri bersama dengan segala keamanan dan ketertiban nasional. Orang-orang semacam dia tidak perlu direhabilitasi, serta tidak usah diberi uang pensiun sampai kapanpun. Dan pada suatu hari aku pun menerima laporan bahwa ia telah wafat di suatu rumah kumuh di wilayah Kramatjati, Jakarta . Pranoto adalah satu dari sekian banyak pembantu dan pendukung Soekarno, yang kubiarkan mengalami nasib hidup seperti itu. Sekarang buktikan, siapa yang menang dan berjaya di antara kita…. 9 Sudah lama di kalangan masyarakat terjadi polemik yang dapat kusimpulkan menjadi dua golongan, yakni mereka yang berpendapat bahwa revolusi sudah selesai, sedangkan yang lain mengatakan bahwa revolusi belum selesai. Soekarno pernah menegaskan bahwa revolusi Indonesia harus melingkupi segala bidang _____________ 10 sosial-politik, budaya dan ekonomi sekaligus. Bahwa revolusi kemerdekaan 1945 hanyalah jembatan emas, dan kita harus memperjuangkan kemerdekaan dalam arti yang sebenarsebenarnya. Entahlah, apa lagi yang diomongkan oleh Soekarno. Aku tidak paham. Sekarang aku hanya membagi menjadi dua kekuatan saja, yakni siapa-siapa yang berpihak dan mendukung pemerintahanku, sedangkan yang lain dapat digolongkan sebagai kelompok yang membahayakan, dan karenanya harus disingkirkan. Dari kalangan seniman sudah jelas siapa mendukung siapa. Siapa kubu bagi siapa. Maka segeralah dikerahkan kesatuan-kesatuan tentara guna membakar rumah-rumah tokoh seniman yang membangkang. Dan kami tinggal menunggu kabar-berita dari para utusan, apakah tugasnya berhasil, tanpa peduli berapa korban yang ditimbulkan dari aksi-aksi pembakaran rumah itu. Lagipula, mereka toh akan mengira bahwa tindakan itu akibat dari ulah-ulah lawan polemik mereka sendiri sesama seniman. Ada seorang seniman yang – karena keberaniannya – membuat kami kesulitan untuk menangkapnya, hingga sesudah berkali-kali utusan dikerahkan, selalu saja membawa laporan yang sangat menjengkelkan. Maka kubuatkan saja skenario khusus untuk proses penangkapannya. Seniman satu itu pernah menulis novel tentang taktik perang gerilya sejak masa kemerdekaan. Dari catatan sejarah dapat dilihat bahwa ia pernah malang-melintang di dunia revolusi, bahkan pejuang keras dalam menyelesaikan persoalan sejarah sastra Indonesia . Pada awal revolusi 1945 dipimpinnya sebuah majalah yang kemudian dinyatakan terlarang oleh pemerintah pendudukan Belanda. Dia aktif menyebarkan selebaran-selebaran gelap untuk usaha-usaha revolusioner, yang membuatnya pernah tertangkap dan dikucilkan di Pulau Edam pada tahun 1949. Waktu penangkapannya, militer Belanda menyita empat novel karyanya mengenai peristiwaperistiwa pada awal-awal revolusi 1945. Ya, tentulah dia adalah orang yang patut diperhitungkan dengan serius. Yang jelas, dari beberapa tulisannya dapat dipahami bahwa dia adalah pendukung setia dari kebijakankebijakan politik Soekarno. Dan untuk menghadapi seorang ahli perang gerilya, tentulah dibutuhkan siasat-siasat khusus untuk dapat meringkusnya… Setelah berhasil ditangkap, aku mengutus seorang mayor dan dua letnan untuk menginterogasi seniman itu. Aku tinggal menerima laporan dari mereka, dengan menyediakan sebuah tape recorder dari hasil rekaman selama interogasi itu: Ditanyakan oleh seorang letnan, bagaimana pendapatnya tentang Gerakan Untung, kemudian seniman itu menjawab: “Aku tidak tahu apa-apa tentang Gerakan itu…” “Apakah Anda membenarkan Gerakan itu?” Seniman itu diam, kemudian jawabnya: “Kalau dapat kesempatan mempelajari peristiwa Gerakan 30 September, mungkin dalam beberapa tahun akan bisa saya jawab.” “Anda percaya negara Indonesia ini akan menjadi negara komunis?” “Mungkin tidak.” “Kenapa?” “Karena faktor geografi dan konservatifitas rakyat kita.” Rupanya memang sulit untuk mencari-cari kesalahan dari pernyataan-pernyataan seniman itu. Namun karena dia termasuk pendukung setia dari pemikiran-pemikiran Soekarno, aku berkesimpulan bahwa orang ini akan membawa masalah di kemudian hari. Aku tetap menggolongkan dia sebagai orang berbahaya yang harus dijadikan korban. Dan bukankah Raja Kresna dalam filsafat Jawa tidak mengkhawatirkan berapapun jumlah _____________ _____________ korban, demi kelancaran pembangunan dan stabilitas negeri…? 11 Untuk menangani para pembantu dan pendukung Soekarno rupanya tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan. Aku harus mengerahkan ahli-ahli strategi dari kalangan militer, serta harus diperbantukan oleh pihak intelijen internasional seperti CIA. Dukungan dan bantuan Amerika memang sangat menggiurkan bagi kepentingan Angkatan Darat Indonesia, yang sejak tahun 1955 telah terang-terangan menampakkan kecurigaanya pada Soekarno, terlebih-lebih ketika ia diakui sebagai pemimpin besar Asia-Afrika. Maka segeralah di bulan-bulan awal tahun 1966, harus dikerahkan aksi-aksi profokasi untuk membuat keributan dan kekacauan di sekitar ibukota Jakarta, untuk menunjukkan bahwa pemerintahan Soekarno sudah tidak berdaya lagi untuk mengatasi aksi-aksi kerusuhan itu. Selain itu, aku akan mengusahakan agar Soekarno membuatkan surat-resmi yang berisi “pelimpahan kekuasaan”, dengan ancaman bahwa aku tidak mau bertanggungjawab mengenai korban-korban, sekiranya kekuasaan negeri tidak dilimpahkan kepadaku. Saat itu di Istana Merdeka akan dilangsungkan Sidang Kabinet untuk membahas persoalan “tiga tuntutan rakyat” (tritura), maka dikerahkanlah sekelompok pasukan tentara berpakaian preman untuk membikin keributan di sekitar Istana Merdeka, serta untuk mengacaukan berlangsungnya Sidang Kabinet yang akan segera dilangsungkan. Kemudian ketika sidang dialihkan ke Istana Bogor, kuciptakan aksi-aksi teror hingga acara pun gagal lagi untuk ke sekian kalinya. Sementara itu di Jakarta sedang hiruk-pikuk oleh kerusuhan dan bentrokan keras antara mahasiswa dan aparat, maka korban-korban pun berjatuhan di sana-sini, antara lain dua korban yang kami tampilkan untuk menunjukkan ke publik bahwa pemerintahan Soekarno telah layak disebut sebagai “diktator”. Dua korban itu adalah Arif Rahman Hakim dan Zainal Sakse, yang kelak akan kuberi gelar “Pahlawan Ampera” atau Amanat Penderitaan Rakyat, yang di kemudian hari berhasil memuluskan harapanku untuk membentuk Kabinet Pertama Orde Baru, dengan sebutan “Kabinet Ampera”. 12 Pada tanggal 11 Maret 1966 tiga orang Jenderal bawahanku telah kuutus untuk membawa surat pada Presiden Soekarno, yang isinya telah diatur sedemikian rupa, bahwa aku, Soeharto, tidak akan bertanggungjawab mengenai keamanan negeri, seandainya tidak diberikan kekuasaan penuh untuk menumpas G30S/PKI di seluruh Indonesia. Aku mintakan tiga Jenderal itu agar mendesak Presiden, supaya ia bersedia membuatkan surat perintah khusus kepadaku, yang kelak surat itu disebut sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), meskipun redaksinya telah kurubah dari perintah pengamanan Jakarta, menjadi “pelimpahan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto”. Seketika itu kami umumkan mengenai surat itu, dan kami nyatakan pada masyarakat bahwa surat itu adalah mukjizat dari Tuhan yang dianugerahkan kepada rakyat dan bangsa Indonesia . Sebagai gebrakan awal, meskipun dengan cara-cara teror dan kekerasan, kami pun berhasil membubarkan Partai Komunis di seluruh Indonesia . Dalam beberapa hari, limabelas menteri pendukung Soekarno berhasil kami tangkap. Aku berpura-pura tidak tahu ketika Soekarno menyatakan kaget mendengar gebrakanku ini. Kabarnya dia bertanya-tanya, kenapa Soeharto melakukan tindakan-tindakan yang tidak dikonsultasikan lebih dahulu? Maka dalam hati aku menjawab, mengapa harus dikonsultasikan? Ini adalah politik, dan politik adalah siasat, dan siasat yang jitu harus diraih dengan sekuat-mungkin tanpa perlu konsultasi dari pihak manapun. Kemudian langkah-langkah selanjutnya, sebaiknya dipercepat sajalah… Pada tanggal 25 Juli 1966 harus diadakan Sidang Umum IV MPRS. Kabinet pemerintahan _____________ 13 Soekarno (Dwikora) yang 15 menterinya telah ditahan, segara kami bubarkan. Sebagai gantinya kami bentuk kabinet baru AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat), yang tentunya akulah yang harus tampil sebagai Ketua Presidiumnya. Dan puncaknya segeralah diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 hingga 12 Maret 1967 yang membuat aku diangkat menjadi Pejabat Presiden, dan kontan disambut hangat oleh Jenderal Besar A.H. Nasution, yang kemudian menandatangani Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Sejak saat itu, dicabutlah semua kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno. Lantas diperintahkan agar dia dilarang keras melakukan kegiatan politik. Dan jalan terbaik sebaiknya dijebloskan sajalah ke dalam tahanan, menyusul para pembantu dan pendukungpendukungnya di seluruh tanah air. Kini sejarah tentang mereka akan kami gelapkan. Pemahaman angkatan muda tentang mereka, akan kami alihkan. Keluarga-keluarga dan anak-cucu mereka, biarlah mengais-ngais rezeki berkalang tanah. Semua jasa-jasa dan jejak-langkah perjuangan mereka, akan kubuat kabur dan suram. Biar sajalah angkatan muda tidak mengenal sejarah bangsanya sendiri. Ya, semuanya itu bermula dari Supersemar. Bukankah itu suatu siasat jitu untuk menciptakan iklim perebutan kekuasaan berdasarkan cara-cara konstitusional…? Kini kekuatan dari kalangan pers tengah dipersiapkan. Pers-pers pendukung Soekarno, serta pers-pers berhaluan kiri sudah dibredel semuanya. Para wartawannya sudah kami tahan. Kami mengutus beberapa tentara untuk menculik seniman nasional Trubus, Japoq Lampong serta pengarang lagu Genjer-genjer, namun kemudian para penculik mengabarkan adanya “kecelakaan” di tengah jalan. Aku memaklumi mereka, dan aku paham apa yang mereka maksudkan. Pada suatu hari aku juga menerima berita dari Solo tentang tertangkapnya seorang tokoh dari Partai Komunis. Secepat kilat aku harus mengatur strategi agar dia jangan sampai diperiksa, atau memberi pernyataan apapun di muka pengadilan. Mula-mula Kolonel Yasir dan pasukannya kuperintahkan melakukan penggrebekan di wilayah perkampungan Sambeng. Tokoh partai itu rupanya bersembunyi di rumah seorang pensiunan pegawai bea-cukai, yang kabarnya hidup bersama seorang cucunya yang masih gadis remaja. Ketika gadis itu diancam mau digagahi beramai-ramai, maka kakek tua itu terpaksa memberitahu tempat persembunyian sang tokoh partai, yakni di belakang lemari yang tersekat tembok dinding. Seketika itu aku mengontak Kolonel Yasir agar segera menghabisi orang itu di tengah jalan, sebelum tiba di ibukota Jakarta . Setelah itu kami pun mengatur siasat untuk penggelapan mayatnya, agar orang-orang tidak dapat menemukan di mana rimbanya. Di kemudian hari, persoalan ini memang dipertanyakan oleh sejarawan-sejarawan angkatan muda yang berani mengungkap teka-teki ini: “Mengapa seorang tokoh penting yang menjabat Sekjen PKI serta menjabat resmi selaku Menko, telah dibunuh begitu saja, tanpa proses pengadilan?” Pernyataan ini senada dengan para penulis sejarah yang berani menggugat: “Mengapa Soekarno yang sudah siap diperiksa untuk menyampaikan yang sejujurnya perihal seluk-beluk G30S, lantas dikenakan tahanan rumah hingga wafatnya?” Untuk menangani persoalan pertama, aku mengarang jawaban seperti ini: “Dikarenakan tokoh partai itu melawan dan hendak melarikan diri, terpaksa kami tembak di tengah jalan.” Kemudian untuk menangani persoalan kedua, aku sudah mengatur jawaban seperti ini: “Dikarenakan Soekarno adalah bapak bangsa, maka kita harus mengamankan beliau. Tidak boleh ia dibawa ke pengadilan, karena kita harus menghormatinya, mikul duwur, mendem jero.” Dua jawaban itu kukira sudah cukup menjadi alasan kuat untuk mengibuli para sejarawan, budayawan atau kalangan pers di negeri ini. _____________ _____________ 14 Ada seorang cendikiawan muslim dalam suatu wawancara di suratkabar, mengutip sebuah ayat Al-Quran yang berbunyi: “Barangsiapa memulai kezaliman maka ia akan berada dalam pertentangan yang tak berkesudahan.” Aku tidak paham apa yang diomongkan si cendikiawan itu. Pada kesempatan lain dia mengutip dua buah ayat Al-Quran: “Barangsiapa membunuh manusia bukan karena kejahatannya maka ia telah membunuh seluruh manusia, barangsiapa memelihara hidup seorang manusia maka ia telah menghidupkan seluruh manusia. Mereka yang beriman, dan tidak mengaburkan imannya dengan kejahatan, mereka itulah yang memperoleh kedamaian dan bimbingan yang benar.” Bahkan pernah pada suatu acara dialog di televisi, tokoh satu itu mengupas dua buah hadits Nabi yang berbunyi: “Seorang mukmin senantiasa mendapat kelonggaran dari agamanya selama ia tidak melakukan pembunuhan tanpa hak. Dan jika seorang penguasa mati dalam keadaan masih menipu rakyatnya, maka Tuhan akan mengharamkan sorga baginya….” Aku tidak mengerti apa maksudnya mengutip-ngutip ayat dan hadits semacam itu. Tapi dalam komentarnya tentang sosial-politik, tokoh satu itu kelihatan gegabah dan sembarangan. Dikiranya siapa dia. Punya kekuatan apa. Dari sindiran-sindirannya sering diungkap mengenai keluargaku atau keluarga cendana, bahkan disinggungnya perihal bisnis anak-cucu serta kerabat-kerabatku dengan gaya bahasanya yang mengandung teka-teki. Dikiranya aku tidak paham sama sekali, ke mana arah pembicaraannya itu. Mau apa dia. Apa mau menggulingkan dan mengambil-alih kepemimpinan yang susah-payah sudah kuraih mati-matian. Akhirnya tokoh satu ini pun patut diperhitungkan kelak demi berjalannya stabilitas dan keamanan negara. 15 Pembangunan sarana dan infrastruktur sebaiknya dipacu secepat-mungkin. Kucetuskan istilah “Ideologi Pembangunan” agar merasuki pikiran masyarakat. Investor-investor datang membanjiri negeriku. Bantuan-bantuan ekonomi kami manfaatkan untuk pembangunan gedung-gedung megah di sana-sini. Kekayaan alam kami keruk dan jalur-jalur perekonomian dibentangkan, dan keuntungannya dimanfaatkan. Pengusaha-pengusaha asing kami undang demi kelestarian dan jaminan keamanan kapitalnya. Tentulah tawaran jutaan dollar yang dipromotori IMF sebagai modal pembangunan sungguh menggiurkan. World Bank, IGGI dan sekian lembaga internasional menawarkan programprogramnya. Dan tanpa perlu pikir panjang, kami sambut semuanya dengan senang hati. Seorang pakar ekonomi Profesor Kurt Biedenkopf pernah menyatakan: “Ternyata bangsabangsa kaya hanya dapat bertahan dengan melakukan ekspansi untuk mengorbankan bangsabangsa yang lemah.” Pernyataan macam itu searah dengan pidato-pidato Soekarno selama Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Meskipun aku tidak banyak menyimak apa yang diomongkan mereka-mereka itu. Aku tak ambil pusing. Biar sajalah tatanan ekonomi berjalan. Segalanya mungkin bagi manusia dan boleh dikerjakan oleh siapapun. Karena itu para anak-cucu dan kerabat terdekatku kupercayakan untuk menangani bisnis-bisnis penting berskala besar. Segala sarana dan fasilitas buat mereka segera kupermudah. Maka kebutuhan pun segera diproduksi, agar produsen memproduksi pemenuhan kebutuhan yang terus-menerus disiasati. Tidak usah dipikirkan mana kebutuhan yang sebenarnya, dan mana yang harus direkayasa sedemikian rupa. Sampai produksi menjadi tuan dari kebutuhan dan dari manusia. Produksi mengabdi pada manusia ataupun manusia mengabdi demi produksi. _____________ _____________ Untuk kelancaran semuanya mau tidak mau harus diperjelas siapa yang harus dibantu dan dilindungi, dan siapa-siapa yang pantas untuk dikorbankan. Campur-tangan pemerintah sangat diperlukan untuk menegakkan Ideologi Pembangunan yang sudah kucetuskan. Sistem ekonomi koperasi yang digagas oleh Mohammad Hatta sengaja kami abaikan. Soalnya dia termasuk dari sekian banyak pembantu Soekarno yang paling dekat. Segala sistem aparatur sampai wilayah agama sekalipun harus ditangani dan dikendalikan oleh negara. Para tokoh agama, budayawan hingga cendikiawan harus ditundukkan untuk mengabdi pada kebijakan dan ketetapan pemerintah, karena yang boleh berlaku hanyalah ideologi dan tafsiran negara. Maka kami putuskan untuk membentuk tim propaganda khusus bersama departemen penerangan, untuk menyeragamkan segala informasi pada seluruh lapisan masyarakat, hingga kalangan ulama dan kiai-kiai pesantren di seluruh pelosok negeri. 16 Ada lagi seorang tokoh publik dari kalangan penyanyi yang menjadi idola kaum muda selama beberapa dasawarsa. Kini dia semakin berani mengungkap beberapa peristiwa sengit yang sengaja sudah dirahasiakan. Namun dengan lantang dia membongkar tentang peristiwa Malari, Tanjung Priok, Timor-Timur hingga Aceh. Belum lagi masalah konflik Kedungombo, Nipah dan banyak lagi yang lainnya. Bahkan pada kesempatan lain dia pernah menyindir-nyindir soal korban-korban Orde Baru, pembangunan semu, kekayaan anak-cucu presiden dan para elite politik Indonesia . Kontan saja kalangan pers selalu mengikuti gerak-gerik dan jejaklangkahnya. Karena itu, penyanyi satu ini harus menjadi perhitungan tersendiri, dan aku harus merancang siasat khusus untuk dapat melumpuhkannya. Kini aku makin tekun merumuskan tentang siapa-siapa yang layak menduduki pemerintahan daerah, dari tingkat pusat hingga bawah, bahkan rektor-rektor universitas pun harus ditentukan oleh kekuatan Orde Baru. Sistem untuk menyaring dan memilih mereka sederhana saja, yakni seberapa jauh pemahamannya tentang peristiwa 30 September 1965, serta seberapa besar kewibawaannya di tengah masyarakat. Kalau sudah memenuhi kriteria, maka gulingkan saja mereka yang sudah duduk memimpin, atau sebaiknya digeser secara halus dan pasti, supaya masyarakat maklum bahwa cara-cara konstitusional telah ditempuh oleh si calon pemimpin baru itu. Untuk menangani wilayah-wilayah tertentu yang sulit diatasi, seperti Timor-Timur, Aceh dan lain-lain, maka operasi militer besar-besaran akan kami kerahkan. Beberapa petinggi-militer kupercayakan untuk menjadi komandan penuh, khususnya mereka yang pernah kuutus mengikuti program Terrorism in Low Intensity Conflict, yakni suatu pelatihan training bagaimana membuat aksi-aksi profokasi dan teror, yang diselenggarakan oleh Pentagon melalui program kerjasama militer IMET. 17 Rupanya makin lama makin memerlukan penanganan serius. Aku mencoba menenangkan masyarakat, seakan-akan keadaan aman dan tidak terjadi apa-apa. Tiga majalah dan tabloid dibredel sekaligus, agar tak ada lagi yang mencoba menghasut dan memprofokasi masyarakat, serta agar menjadi pelajaran berharga bagi yang lainnya. Namun reaksi yang terjadi malah sebaliknya. Seketika itu muncul gelombang protes untuk membela majalah dan para wartawan yang bertugas. Dan setelah kami terbitkan majalah baru sebagai tandingannya, rupanya gelombang protes semakin marak dan meluas di mana-mana. Mereka menyerukan pembelaan terhadap Muchtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, Udin Syafrudin, Xanana Gusmao, Budiman Sujatmiko, Wiji Thukul dan banyak lagi yang lainnya. Belum lagi penghargaan Hak Asasi Manusia kepada pahlawan buruh yang bernama Marsinah. _____________ _____________ Bahkan penganugerahan Nobel Perdamaian kepada politikus Ramos Horta dan rohaniwan Ximenes Belo untuk perjuangan Timor-Timur. Ditambah lagi kasus-kasus baru karena maraknya teknologi komunikasi dan media informasi: di Indonesia bagian timur diberitakan tentang ratusan ribu korban rakyat Timor-Timur, di bagian barat dikabarkan ribuan korban rakyat Aceh. Belum lagi Ambon, Maluku, Poso, Lampung, Makassar dan seterusnya. Mau tidak mau semuanya harus ditangani secara serius. Mau tidak mau harus terjadi bentrokan di sana-sini. Mau tidak mau harus ada korban-korban baru yang menjadi tumbal, agar dijadikan pelajaran berharga bagi yang lainnya. Ya, mengapa tidak. Bukankah stabilitas nasional dan roda-roda pembangunan harus berjalan terus. Kini aku pun tinggal memantau dan menerima hasil laporannya: Kematian wartawan bertambah lagi; bentrokan mahasiswa dan aparat semakin menelan banyak korban; para aktifis LSM sudah diamankan; para penulis buku tentang Soekarno sudah ditangkapi; ratusan orang telah diciduk dan dikurung secara rahasia; puluhan orang yang tertembak di lapangan sengaja dirahasiakan jejak-jejaknya, dan banyak lagi yang lainnya. 18 Namun angkatan muda negeri ini semakin berani dan berani saja. Ada apa ini. Dari mana asal muasalnya, dan watak siapa yang mereka warisi. Ada lagi laporan mengenai ulah seorang sastrawan yang baru dibebaskan dari Pulau Buru, tiba-tiba dia menulis buku yang berjudul “Arus Balik”. Coba bayangkan, judulnya saja Arus Balik. Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini? Sebelum itu pun sudah diluncurkan oleh Penerbit Hasta Mitra, sebuah buku yang berjudul, “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, menyusul sebuah buku lagi: “Era Baru Pemimpin Baru: Badio Menolak Rekayasa Rezim Orde Baru”. Tak berapa lama mulai bermunculan penerbit-penerbit independen yang mengikuti jejak Hasta Mitra, lantas menerbitkan buku-buku yang berjudul seperti ini: “Kehormatan bagi Yang Berhak”, “Bayang-bayang PKI”, kemudian seorang etnis Cina berani-beraninya meluncurkan otobiografinya dengan judul: “Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno”. Tentu saja aku harus membuat gebrakan untuk melarang semua buku-buku semacam itu…. 19 Tapi makin lama keadaan makin parah saja. Gelombang demonstrasi makin marak di manamana. Negeri ini seperti dikepung oleh gurita raksasa yang membuat aku merinding ketakutan. Bantuan-bantuan ekonomi dicabut dari negara-negara asing. Timor-Timur menuntut kemerdekaan mutlak. Aceh dan Irian Jaya ikut-ikutan bergolak. Sedangkan di Jakarta sendiri, kerusuhan terjadi di mana-mana. Gedung-gedung megah terbakar, pusat-pusat pertokoan dijarahi massa , bahkan dalam satu hari dikabarkan telah terjadi pemerkosaan massal yang mengorbankan 150 lebih para wanita dari etnis Cina. Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini? Para investor dan pengusaha asing pada kabur ke negerinya masing-masing. Mereka menuntut kejelasan tatanan ekonomi serta penyelenggaraan hak asasi manusia yang baik di Indonesia . Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini? Bukankah lebih dari 30 tahun aku memimpin negeri ini, dan selama itu tak pernah kuhadapi hal-hal aneh yang mengherankan macam ini? Aku tidak paham… aku tidak ngerti semua kejadian ini… ampun, aku sudah tidak sanggup lagi…. Namun tiba-tiba mereka yang ikut-serta mendirikan pemerintahan Orde Baru pada hengkang dan berlarian ke sana kemari. Mereka telah berpaling dari komitmen semula… mereka saling berpencar dan kocar-kacir tak keruan…. Lantas siapa yang akan menanggung semuanya ini… di mana kawan-kawan dan mitra-mitra _____________ _____________ bisnisku… di mana tanggungjawab mereka… kenapa mereka diam saja… kenapa mereka tak ambil peduli… apakah aku harus segera melarikan anak-cucu dan semua kerabatku ke luar negeri…. 20 Bagaimanapun aku harus berusaha bersikap tenang. Akan kurancang siasat jitu untuk mundur dari kursi pemerintahan. Akan kurekayasa bahasa yang tepat untuk dapat menenangkan masyarakat. Sebab ada seorang seniman memakai istilah “terjengkang dari kursi kekuasaan”. Aku harus memasyarakatkan istilah Jawa, yakni “lengser keprabon” (yang berarti mundur secara baik-baik). Aku harus manfaatkan siasat-siasat lamaku, serta mengatur situasi dan kondisi untuk menyelesaikan kepemimpinanku secara sah dan konstitusional. Bukankah cara-cara semacam ini pernah dipercayai masyarakat, hingga berhasil mengangkatku menjadi orang nomor satu di negeri ini? Akan kuciptakan suasana seakan-akan aku dengan sukarela meletakkan jabatan serta memberikan mandat kepada Wakil Presiden. Aku yakin masyarakat tidak banyak komentar. Mereka tidak mengerti apakah cara-cara ini legal atau tidak, karena aku telah berhasil mengelabui mereka agar tidak paham dan buta politik. Aku yakin bahwa mereka akan tetap menghormatiku dan tunduk kepadaku. Juga akan kusebarkan berita dan informasi di seluruh jaringan televisi dan radio, bahwa saat ini aku tidak memiliki kekayaan sesen pun yang tersimpan di bank. Kini sudah kuatur siasat jitu bersama anak-cucu dan kerabatku, agar aku jangan sampai dipersalahkan di muka pengadilan, supaya segala kekayaan yang tersimpan di bank-bank luar negeri menjadi aman dan terlindungi. Aku akan manfaatkan semuanya itu untuk keperluan anak-cucu dan keturunanku, dan jangan sampai jatuh di tangan negara. Sampai kapanpun akan kurancang siasat ampuh, seperti yang sudah-sudah, agar masyarakat tetap bisa dibodohi dan dininabobokan. 21 Terhitung mulai tanggal 21 Mei 1998 aku lengser kepabon atau mundur secara baik-baik. Secara konstitusional murni aku menyerahkan mandat kepada wakilku, seorang teknolog lugu dari kalangan sipil yang selama ini terang-terangan menganggapku sebagai “guru”. Akan kubiarkan dia memimpin negeri ini dengan segala kepolosan dan keluguannya. Dan seperti dugaanku, hari-hari pemerintahannya kemudian dihiasi dengan keributan dan kekerasan brutal yang memuncak di sana-sini. Para pembantu dan bekas-bekas pendukungku, bahkan kesatuan militer hingga organisasi agama, yang dulu memanfaatkan sarana-fasilitas dari Orde Baru, yang dulu kami berikan bantuan moril dan materil, kini semakin adu otot, saling tuding dan saling menyalahkan. Sudah kuduga sebelumnya, mereka kemudian menjadi petualang-petualang politik di tiap-tiap kota dan propinsi, berebut kursi dan kekuasaan, menjadi raja-raja kecil, seakan-akan akulah yang menjadi guru dan teladan bagi mereka semua. Sementara itu, para koruptor kakap yang selama ini menjadi kaki-tanganku, dengan lihainya menyembunyikan diri untuk mundur selangkah, serta membiarkan hutang negara menumpuk, hingga menimbulkan krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang mengakibatkan kerusuhan dan keributan terus merebak di seluruh penjuru negeri. Biar sajalah semuanya itu terjadi. Toh aku sudah menjadi masyarakat biasa, dan aku tak perlu tanggungjawab mengenai semua huru-hara dan kekacauan di negeri ini. Aku perintahkan seorang anakku untuk merawatku dengan baik-baik, seakan-akan aku menderita sakit permanen, atau – kalau perlu – pura-pura sakit jiwa, agar aku terselamatkan dari tuntutan pengadilan. _____________ _____________ 22 Partai-partai baru berdiri di sana-sini. Kekacauan semakin merebak di mana-mana. Angkatan muda menuntut agar aku beserta keluarga dan kroni-kroniku segera diadili atas pelanggaran HAM selama 32 tahun, juga tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Mahkamah agung – sesuai lobi dan rancanganku – hanya memusatkan perhatian pada soal KKN, dan masyarakat pun sepertinya maklum. Sebelum itu, tentu saja sudah kuatur siasat dan strategi untuk menggelapkan, memalsukan serta memindah-tangankan semua nomor-nomor rekening atas namaku – baik di dalam dan luar negeri – hingga pembuktian materil tidak lengkap, dan karenanya tuntutan hukum bisa dimentahkan. Dan ketika saatnya diadakan pemeriksaan, orang-orang kejaksaan rupanya cukup lihai untuk menghimpun pertanyaan yang membuatku bisa berkelit ke sana kemari, hingga suasana tetap mengambang dan menemui jalan buntu. Ketika angkatan muda semakin berduyun-duyun memadati halaman kejaksaan agung, pemeriksaan pun dipindahkan ke tempat lain, tanpa sepengetahuan publik. Seketika itu para mahasiswa dan pemuda nampaknya sudah tidak bisa dikelabui lagi. Ada apa ini? Watak dan keberanian siapa yang mereka warisi? Perjuangan mereka sepertinya tanpa pamrih, dan atas dasar kemauan dan semangat mereka sendiri. Padahal pemuda angkatan ‘66 masih bisa diperalat dan dikelabui untuk menjatuhkan Soekarno, dengan berbagai sarana dan fasilitas yang disediakan buat mereka. Tapi kali ini, coba bayangkan, mereka secara serentak meneriakkan yel-yel dan spandukspanduk bertuliskan: Bersihkan Kabinet dari Orang-orang Orde Baru Soeharto Dalang Semua Bencana Hentikan Penjajahan Gaya Orde Baru Rombak Badan Yudikatif Indonesia Bersihkan Aparat-aparat Hukum yang Tersangkut dengan Orde Baru Bung Karno dan Pendukungnya Harus Direhabilitasi Pada aksi-aksi demonstrasi di kampus-kampus dan jalanan, nampak pula spanduk-spanduk berbunyi: Usut Tuntas Surat Perintah Sebelas Maret Bubarkan 3 Partai Bentukan Orde Baru Jadikan Museum Lubang Buaya Sebagai Museum Rekayasa Orde Baru Tindak Tegas Para Perampok Hutan Perkuat Sistem Pertahanan Maritim Kita Revolusi Belum Selesai Kembalilah pada Bung Karno dan Semangat ‘45 23 Kini aku tidak mau lagi mengikuti berita-berita yang terjadi di negeri ini. Aku harus mengisi masa-masa tuaku dengan istirahat penuh di rumah, meskipun aku masih kuat untuk berziarah ke makam istriku di Solo, atau menengok anakku di Nusakambangan. Entah karena kesalahan apa dia bisa mendekam di sana (tak seorang pun memberitahu aku). Sekarang aku tidak peduli bagaimana nasib anak-anakku di kemudian hari, bahkan nasib bangsa ini pun, aku tak mau ambil pusing. Ya, aku hanya senang mengikuti acara-acara televisi yang menyiarkan perjudian dan kuis-kuis, seperti Who Want to be a Millioners, baik dari dalam dan luar negeri. Selain itu, aku tidak peduli dan tidak mau ambil pusing perihal demonstrasi, spanduk-spanduk dan yel-yel yang bertebaran di sana-sini. Biar sajalah pemuda dan mahasiswa itu berteriak-teriak menggugat kami, toh mereka tidak paham tentang dunia hukum dan pengadilan Indonesia yang masih bisa disetting untuk bersikeras membelaku beserta kerabat dan saudara terdekatku. Kini aku sudah mempersiapkan pengacara-pengacara handal dan termahal di negeri ini, sambil kupancing daya tarik mereka agar bersimpati kepadaku. Mereka sudah kukerahkan untuk serentak tampil di depan publik, agar menyampaikan kesan-kesan baik tentang aku dan keluargaku. Aku berusaha bersikap sopan dan lembut di hadapan mereka, supaya mereka makin gigih dalam pembelaanya terhadap kami. Sampai kapanpun aku berusaha – dengan cara apapun – agar masyarakat Indonesia tetap menjadi bangsa-bangsa budak dan kuli, yang mudah diperalat dan dikelabui oleh segalamacam alasan dan perkataanku…. *** (Ditulis untuk menggugat buku “Sukarno File” karya Antonie CA Dake, dari hasil penelitian penulis selama 9 tahun, sekaligus sebagai korban langsung dari kejahatan rejim Soeharto dan Orde Baru). Hafis Azhari Ketua K2PSI (Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia ) Sumber: http://www.geocities.com/k2psi_lsm/artikel1.htmtarget="_blank"> Date: 2005/12/8 Section: Kesaksian The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=124 Remembering 30th September 1965: Introduction [01-04] Remembering 30th September 1965: Introduction September 07, 2004 The last day of September marks the anniversary of the most infamous date in Indonesian history. Events on the evening of 30th September 1965 set off a chain of events that left up to 1 million Indonesians dead, slaughtered, their bodies buried, burnt or cast into the sea. President Sukarno survived the violence but was a political victim, deposed by a military general by the name of Suharto. Suharto, with Western patronage, would rule Indonesia for the next 22 years. Suharto’s iron grip on power ensured that the truth of the events on that fateful night would never be discussed. But since his departure in 1998 and the dawn of Reformasi, there have been murmurings. Mass graves have been uncovered. Survivors have raised their voices and fingers pointed at Suharto, blaming him for the coup and violence that followed. Even talk of an official government inquiry to uncover the truth. Many Indonesians wish never to speak of the horrific days and months that followed 30th September 1965; others are just plain ignorant, victims of institutional brain-washing; yet others seek to exhume the skeletons, grieve and let justice be done. Only then can Indonesia as a nation move on. The families of those who died deserve nothing less. So as we count down to the 39th anniversary of that infamous night over the coming weeks, Macam-Macam will bring a series of posts that seeks to retell the mystery-shrouded events of that night and the days that followed as well as touching on the alternate theories that have been put forward over the years to explain what happened and who was pulling the strings. Update: It seems that the DPR has passed a bill to establish a Truth and Reconciliation Commission with the aim of uncovering the truth behind the murderous excesses of the Suharto era, all the way back to the bloody war for independence, 1945-49. Source: Macam-Macam Australian excursions in South-East Asia http://www.theswanker.com/ Date: 2005/12/11 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=136 Orde Baru Sebagai Boneka International Gangster Capitalism Orde Baru Sebagai Boneka International Gangster Capitalism Apakah orde baru adalah pemerintahan boneka buatan Amerika? Inilah pertanyaan yang muncul di benak saya ketika membaca buku yang ditulis oleh Geoff Simons berjudul Indonesia: The Long Oppression. (London: MacMillan/N.Y.: St. Martin, July 2000). Sebagian besar dari uraian Simon tentang kekejaman regim militer dalam masa pemerintahan otoriter orde baru dalam buku setebal 304 halaman itu, bukanlah hal baru bagi masyarakat kita, yang secara dekat mengamati dan mengalami kekejaman system pemerintahan orde baru. Sebagaimana terungkap dengan sangat jelas pada judul buku itu, uraian Simons membangkitkan kesadaran dunia internasional pada umumnya dan warga Indonesia pada khusunya akan sebuah bangsa yang membangun sejarahnya lewat suatu opresi yang sangat panjang. Sejarah nasional mencatat bahwa sejak Portugis mendarat di bumi pertiwi pada abad ke 16 hingga kejatuhan Soeharto pada akhir abad ke 20 ini, masyarakat kita hidup dalam situasi terjajah dari kekuatan opresif yang satu ke kekuatan opresif yang lain, dari kesadisan kolonialisme asing ke kesadisan kediktatoran penguasa bangsa sendiri (orde baru). Orde baru memulai kekuasaannya dengan darah, menerapkan system kediktatorannya dengan darah, dan mengakhiri kekuasaannya juga dengan darah. Sampai pada akhirnya, orde baru menghantar kita pada babak baru sejarah yang Asvi Warman Adam (sejarahwan LIPI) sebut sebagai “sejarah korban” (Suara Pembaharuan, 3/11/2000). Dibentengi oleh kekuatan penguasa asing, khususnya Amerika, Inggris, Australia dan Jepang, kelompok negara yang Simons sebut sebagai international gangster capitalism, penguasa orde baru terus menerapkan system opresi yang tak berperikemanusiaan atas rakyat bangsanya sendiri, demi interest imperialisme kooperatif gaya baru, yang beraksi atas nama agung “globalization”. Menghadapi berbagai aksi opresi tak berperikemanusiaan selama masa pemerintahan orde baru, kelompok negara yang tergabung dalam international gangster capitalism itu berusaha untuk menghadirkan diri sebagai pahlawan yang ingin menyelamatkan bangsa Indonesia melalui kritikan serta berbagai ancaman embargo dan lain sebagainya. Tapi siapa harus mengeritik siapa? Simons melukiskan bahwa Amerika, Inggris, Australia dan Jepang memainkan peran sentral dalam melahirkan figure yang tampil sebagai penguasa yang kejam selama masa pemerintahan orde baru. Lewat coup d’etat, Amerika telah menghantar Soeharto ke pucuk pimpinan orde baru. Amerika juga telah membesarkan ABRI yang setelah kejatuhan Soeharto dituduh sebagai kambing hitam atas semua aksi pemerkosaan nilai kemanusiaan di negara ini. Simons menampilkan perspektif baru penemuan sejarah hasil penelitiannya sendiri untuk melengkapi sekaligus mempertegas kemiripan berbagai warna sejarah yang muncul sebelum dan sesudah kejatuhan orde baru. Sebelum kejatuhan Soeharto, transparansi sejarah orde baru sudah diungkapkan oleh beberapa ilmuwan asing. Dalan artikel berjudul Lessons of the 1965 Indonesian Coup (1991), Terry Cavanagh melukiskan penemuan historis serupa. Cavanagh menulis, Kudeta berdarah di Indonesia merupakan hasil dari niat imperialisme AS untuk mendapatkan kontrol mutlak atas kekayaan alam dan sumber-sumber strategis dari kepulauan yang sering dinamakan 'Permata Asia' (jewel of Asia). Amerika yang sejak awal abad ke 20 telah menguasai eksploitasi minyak bumi (Caltex di Sumatera) dan karet di negeri ini, pasti tidak mau kehilangan interest ekonominya ketika PKI berhasil menguasai massa dan kaum buruh untuk berjuang melawan eksploitasi kaum borjuis asing (termasuk Amerika) yang pada waktu itu menguasai sebagian besar kekayaan alam di negari ini. Amerika menyadari bahwa ancaman kekuatan massa terhadap interest ekonomi dan politiknya di bumi pertiwi ini hanya bisa dipatahkan dan dikuasai lewat pembentukan pemeritahan dictator yang dipimpin oleh kaum militer. Untuk itu bantuan finansial, penyediaan perlengkapan perang dan latihan bagi kaum militer Indonesia merupakan langkah konkrit Amerika untuk mempersiapkan apa yang kita kenal sebagai peristiwa penganyangan PKI. Cavanagh menulis, Kudeta di Indonesia tanggal 1-2 Oktober 1965 adalah hasil dari sebuah operasi yang sudah lama direncanakan secara hati-hati oleh CIA dan komandan-komandan militer TNI yang dilatih oleh AS. Tentu saja keberhasilan Soeharto dan pasukannya menjalankan amanat CIA untuk melaksanakan holocaust pada tahun 1965, serta memulai babak baru pemerintahan dictator orde baru merupakan kemenangan bagi Amerika untuk menguasai eksploitasi kekayaan alam di negari ini. Cavanagh membenarkan kenyataan ini dengan melukiskan bahwa setelah kudeta 1965, kegunaan kediktatoran Soeharto bagi kepentingan imperialisme AS telah tergaris bawahi dalam laporan Departemen Luar Negeri AS ke Konggres AS pada tahun 1975. Sementara itu, berdasarkan dokumen CIA dan wawancara langsung dengan para diplomat Amerika, khususnya Marshal Green, duta besar Amerika yang sangat berpengaruh selama masa penganyangan PKI, Mike Head, dalam artikelnya berjudul US Orchestrated Suharto 1965-66 Slaughter in Indonesia , - artikel yang dibagi atas tiga bagian dan dipublikasikan oleh World Socialist Web Site (WSWS edisi 19, 20 da 21 July 1999), - secara tranparant melukiskan keterlibatan diplomat Amerika dan CIA (agen rahasia Amerika), dalam keseluruhan proses penganyangan PKI and perencanaan pembentukan pemerintahan militer dibawah komando Soeharto. Warna baru penulisan sejarah dari para ilmuwan sejarah asing ini tentu saja bukanlah sesuatu yang begitu mudah untuk segera dipercaya oleh nurani polos anak bangsa yang selama 32 tahun diindroktinasikan oleh kebenaran sejarah ala orde baru. Selama 32 tahun, kita telah diyakinkan bahwa penguasa orde baru adalah pahlawan yang telah menyelamatkan bangsa ini dari pengaruh komunis. Tapi situasi politik setelah kejatuhan orde baru menunjukkan indikasi yang sangat kontras. Kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa fugur-figur yang sekian lama dianggap sebagai pahlawan dan penyelamat bangsa, kini tidak lebih dari cuma seorang pengkianat bangsa. Penyembahan atas kesakralannya berubah menjadi caci-maki atas pengkianatannya. Dengan meragukan sejarah nasional versi orde baru dan mengungkapkan transparansi sejarah versi baru, Simons, Mike dan Cavanangh menantang kita untuk secara kritis meninjau kembali kebenaran sejarah nasional dan melihat siapa melakukan apa kepada siapa dalam sejarah bangsa kita. Karena sebuah bangsa yang kuat dan reformasi yang sesungguhnya tidak akan bertahan kalau dibangun di atas kepalsuan sejarah. Karena itu, kebenaran sejarah nasional harus ditulis kembali oleh anak-anak negeri ini. Karena mengungkapkan kebenaran sejarah adalah bagian utama dari proses reformasi itu sendiri. Kalau kebenaran sejarah tidak diungkapkan, maka selalu ada kemungkinan bahwa kita akan kembali ke tapak sejarah yang sama. Berpedoman pada sejarah nasional yang kabur, seorang pengkianatpun bisa dimitoskan sebagai seorang pahlawan. Tentu saja, usaha untuk mengungkapkan kebenaran sejarah yang sesungguhnya bukan hal yang sangat mudah. Tapi harus disadari bahwa pemalsuan sejarah oleh penguasa yang otoriter bukanlah pengalaman historis yang secara eksklusif hanya terjadi dalam sejarah bangsa kita. Kalau kita mau memberikan sebuah contoh, sejarah Jepang di bawah Kaisar Showa bisa diangkat sebagai suatu perbandingan. Di bawah kaisar Showa Jepang juga mengalami situasi represif yang mirip dengan situasi opresif seperti yang kita alami di bawah pemerintah orde baru. Selama Kaiser Showa masih menduduki kursi kekaiseran di Jepang, tidak ada orang yang berani mengungkapkan kebenaran sejarah sekitar tragedy perang yang diprakarsai oleh kaisar Showa selama perang dunia II di Asia dari tahun 1931 sampai tahun 1945. Malah setelah kematian kaisar Showa, Jepang membutuhkan 11 tahun lamanya untuk mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya dari aksi kesadisan sejarah dan mental kolonial Kaisar Showa terhadap bangsa-bangsa di Asia. Di tengah krisis masa transisi, dimana bangsa berjalan di atas hukum yang borok dan dikomando oleh pemimpin yang membingungkan dan lemah kredibilitasnya, agak sulit bagi kita untuk menentukan secara pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menulis kembali kebenaran sejarah bangsa ini. Tapi kesadaran bahwa sejarah ala orde baru adalah sejarah yang rapuh, palsu dan eksploitatif, harus menjadi awal yang memotivasi kita untuk segera menulis kembali sejarah bangsa dan membangun konstruksi sejarah yang benar dan kukuh bagi generasi mendatang. Karena itu, warna baru dari transparansi sejarah orde baru yang kini ramai diungkapkan baik oleh sejarahwan dalam negeri maupun luar negeri, sebenarnya harus ditanggapi sebagai suarasuara kritis yang mengundang setiap manusia di negeri ini untuk membebaskan diri dari sikap terpaku pada kebanggaan hampa dan kekaguman murah atas kesadisan drama politik yang diperagakan oleh international gangster capitalism,yang telah mengunakan kediktatoran orde baru untuk mengembangkan imperialisme kooperatif gaya baru dan mengeksploitasi kekayaan alam di bumi berlabel Jewel of Asia ini. Suara ingin merdeka yang terus diperdengarkan hingga saat ini di Aceh and Irian jaya mungkin harus dipahami sebagai reaksi ingin merdeka dari penerapan sistem imperialisme kooperatif yang memeras rakyat dan mengeksloitasi kekayaan alam di daerah itu. Dalam konteks kedasadaran ini, reformasi, khususnya reformasi historis, harus menjadi awal dari usaha kita untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa bangsa kita bukan cuma boneka berlabel permata Asia (jewel of Asia). Inilah PR yang harus kita jinjing bersama untuk mengarungi arus dasyat globalisasi abad ke 21. (Steven Mere, Mahasiswa Universitas Nanzan, Nagoya, Jepang) 1 Date: 2005/7/17 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=15 Penjara LOWOKWARU 1965/1966 Catatan Seorang Eks Tapol Oleh : Harsutejo Pada pagi hari 1 Oktober 1965 aku tidak mendengarkan siaran apa pun, kami tidak memiliki pesawat radio. Aku baru mendengarnya pada sore hari di rumah teman, ketika Jendral Suharto bicara di radio. Maka hari-hari berikutnya diwarnai dengan berbagai perdebatan di kalangan kami beserta kebingungan dan ketakutan akan tindak kekerasan yang terjadi di banyak tempat. Perdebatan kian sengit ketika ada seruan kabur tak jelas yang bisa ditafsirkan macam-macam untuk menyelamatkan diri, seperti kata-kata defensif aktif. Apanya yang defensif, dan apanya yang aktif. Kemudian tiap hari orang digerebek, ditangkap, ditahan, dicomot. Selanjutnya berita lebih seram, orang dibantai baik yang digelandang dari tempat tinggalnya maupun dari tempat kerjanya, juga di jalanan, di tempat persembunyian, bahkan juga dari tempat tahanan dan penjara. Menyelamatkan diri dan menghindar dari penangkapan, bersembunyi? Menghadapi peristiwa lokal, tiap orang mampu melakukannya. Tapi ini peristiwa politik nasional dengan mobilisasi massa luar biasa. Hanya para profesional yang bisa lari dan bersembunyi dengan rapi, itu pun belum tentu berhasil terus menerus dalam jangka panjang. Kian ke pelosok, makin runyam keadaannya, di sana terjadi pembantaian di tempat. Sanak keluarga, teman, atau orang yang kau kenal baik, mungkin sedang diincar untuk diciduk nanti malam atau esok. Atau di antara orang itu justru ada yang akan menyeretmu ke mulut macan atau buaya. Akhir bulan Oktober 1965 isteriku sedang hamil tua anak kami pertama. Jam 3.00 pagi buta pintu rumah kami diketuk agak keras dan tidak sabaran. Setelah bangun aku bersiap untuk menghadapi apa yang akan terjadi. Seperti telah terlatih beberapa minggu, isteriku yang membukakan pintu. Aku segera keluar kamar menemui mereka, seorang polisi dan tentara. Dengan sopan mereka mengemukakan maksudnya untuk mengamankan diriku, meski tidak ada ancaman orang, binatang, api, atau banjir yang membahayakan. Ini sekedar istilah konyol untuk kata menangkap, bagian dari setumpuk kosa kata ciptaan orde baru yang menyesatkan dan membodohi dan menipu. Kami baru beberapa hari pindah ke tempat baru itu, rumah tante isteriku yang hidup sendiri setelah ditinggal ibunya di Jl. Kenanga. Kami mendapatkan sebuah kamar. Kekayaan kami terdiri dari sebuah tempat tidur, sebuah almari pakaian dan dua rak buku kecil yang penuh. Terutama rak buku menjadi sasaran penggeledahan. Beberapa minggu sebelum G30S, di Jakarta telah terjadi demonstrasi besar anti India karena sikap Sondhi, seorang India pengurus suatu badan olah raga Asia yang dipandang menghina Indonesia. Notabene demo itu dilakukan oleh golongan kiri. Rupanya sang polisi masih disegarkan ingatannya terhadap kejadian tersebut. Maka dikumpulkanlah semua buku saya yang berbau India untuk disitanya termasuk semua text books sejarah kebudayaan dan kesenian India, buku karya Rabindranath Tagore, riwayat hidup Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. Tentu saja buku yang berbau Rusia, apalagi terbitan Moskow, The Road To Life sebanyak tiga jilid karya Makarenko, seorang pedagog Rusia tersohor, juga diboyongnya. Percobaanku untuk menjelaskan bahwa itu semua buku-buku sejarah dan pendidikan sesuai dengan sekolah dan pekerjaanku, mendapatkan jawaban klasik, "Hanya untuk diperiksa, nanti dikembalikan." Barangkali jawaban demikian mengacu pada text books polisi. Bagaimana akan dikembalikan kalau tidak pernah dibuat berita acara penyitaan sementara. Tapi soal buku ini begitu remeh temeh terbanding urusan kejahatan kemanusiaan yang terjadi. Di luar rumah ternyata berkumpul segerombolan orang yang mengawasi dengan berbagai alat kekerasan yang tajam maupun tumpul. Rupanya mereka menjadi kurang bernafsu setelah menyaksikan sang pesakitan cumalah seorang berbadan ceking yang sekali tepuk akan mampus. Buru-buru isteriku memberikan jaket untuk kukenakan beserta cucuran air mata. Mencinta itu saling mendidik. Ini bagian panjang dari proses percintaan kami dalam rumah tangga baru, ibarat pemahkotaan dan penyaliban sekaligus seperti yang digambarkan pujangga Khalil Gibran, tentu dalam skala mini saja. Pagi itu jalan-jalan kota Malang mulai menggeliat. Kami sampai ke Polresta Malang di pojok jalan Oro-oro Dowo dan Kayutangan. Setelah didata, aku diantar ke sebuah bangunan seperti los pasar. Di sana sudah ada barang 150 orang, ada yang tidur, duduk-duduk, rebahan, ada yang sedang salat. Beberapa orang telah kukenal, seorang dosen, pegawai penerangan, wartawan, mahasiswa. Ada juga seorang lurah yang telah kukenal ketika sebagai mahasiswa melakukan acara turun ke desa, di suatu pelosok Malang Selatan. Ia menceritakan kisah pelariannya setelah seluruh perangkat desanya dibantai habis di depan keluarganya masingmasing. Hanya secara kebetulan saja ia bisa selamat dan lari ke kota Malang, kemudian menyerahkan diri ke kantor polisi setelah menggelandang beberapa waktu. Ia tak tahu nasib anak isterinya. Tentunya cerita itu ulangan yang ke sekian kalinya meski masih dengan getar emosi. Ia menerima solidaritas teman-teman lain berupa ganti pakaian lengkap dengan sarung. Ia hanya berbekal naluri dan pikiran mnyelamatkan diri serta baju yang menempel. Banyak dari kami masih lebih beruntung daripada banyak orang lain yang langsung dibantai di tempat seperti Pak Marsidik, seorang Digulis, Heruliman yang langsung diantar ke kuburan untuk disembelih setelah dijemput dari tahanan. Betapa ironis, Heru pun disebut diamankan. Masih banyak kisah lain, satu keluarga dibantai di tempat sampai cindil abange, sampai bayinya yang masih merah di bawah pengawasan aparat. Itulah salah satu aspek kekenyalan budaya Jawa, masih merasa beruntung dalam keadaan sulit, mendorong optimisme, mengacu berpikir positif. Agaknya disebut juga rasa bersyukur. Meski begitu aku tak tahu bagaimana caranya seorang isteri dan ibu bersyukur, sedang ia menyaksikan sendiri pembantaian suami dan anak remajanya, anak satu-satunya. Dengan gampangan dan dingin bisa dijawab, ia patut bersyukur karena ia masih hidup dengan segala kemungkinan yang terbuka. Manusia bukan sekedar badan fisik apalagi angka, ia sekaligus pikiran, perasaan, pengalaman, intelektualita, juga emosi sedih marah sakit hati takut, dengan segala naluri dan keterikatannya. Pada hari ke lima penahananku, suatu malam beberapa puluh di antara kami disuruh bersiap dengan barang milik kami untuk dipindahkan ke suatu tempat tanpa disebutkan. Pemindahan itu pun tak diberitahukan kepada para keluarga. Ini juga suatu metode teror massal yang dilakukan penguasa kepada para keluarga tahanan. Beberapa orang benar-benar panik karena teringat Pak Lurah beserta beberapa orang lain yang dijemput polisi beserta sejumlah pemuda, selanjutnya raib untuk selamanya. Seorang polisi tanpa maksud menakutinakuti menceritakan hal itu, mayat mereka dibuang ke Kali Brantas. Sementara itu isteriku termasuk sebarisan isteri para tahanan yang kebingungan mencari suaminya. Sampai di situ teror tersebut telah mencapai sasarannya. Kemudian hari isteriku menceritakan, ia datang tiap hari selama seminggu ke kantor polisi dengan perut buncitnya. Para petugas tetap tidak memberikan keterangan tentang keberadaanku, juga tak mengijinkannya bertemu Kapolres. Isteriku pun pergi ke Kodim dan Korem. Kedua instansi itu menyarankannya untuk ke kantor polisi. Dalam kekhawatiran dan ketakutan semacam itu bakat intelijen isteriku timbul. Ia bisa mendapatkan alamat rumah kepala polisi lengkap dengan nomor teleponnya. Beberapa teman dekatnya sangat mengkhawatirkan, bahkan mengecam langkah yang diambilnya sebagai membahayakan diri sendiri. Isteriku cukup gigih, orang lain menamainya keras kepala. Akhirnya ia mendapat kepastian akan keberadaanku. Sejumlah keluarga lain ikut mendapatkan manfaat. Meski ia tak dapat menemuiku, kirimannya berupa satu bungkus abon, satu bungkus sambal pecel, dan satu setel pakaian kusambut dengan sukacita. Beberapa hari kemudian aku mendapatkan berita, sebenarnyalah isteriku mengirimkan lebih banyak dari yang kuterima. Itu bukan cerita baru, jeruji besi dan tembok tebal itu tidak cuma menyekap dan memisahkan orang dari dunia ramai, ia juga menggerogoti dan menyunat milik pesakitan yang sekarat sekali pun. Dalam keadaan sulit dan kritis, tanpa sadar orang membuka topengnya masing-masing. Dalam keadaan semacam itu, dengan mudah tanpa belajar psikologi, orang bisa mengamati dan mendapatkan potret kepribadian sebenarnya dari seseorang. Pada hari-hari pertama di penjara aku mendapatkan seseorang yang dikenal sebagai jago pidato berkelahi dengan seorang buta huruf untuk memperebutkan puntung rokok sipir penjara. Berdasar sejumlah pengalaman dapat kutarik kesimpulan sementara, dalam keadaan kritis darurat semacam itu perokok berat dengan cepat jatuh moralnya. Maaf perokok berat! Agaknya kebiasaan merokok dapat memberikan kontribusi negatif dalam kepribadian seseorang. Dan topeng-topeng lain pun pada tanggal. Seseorang menyembunyikan sebungkus permen, gula, dendeng kering, dan barang berharga lain untuk ukuran penjara, bagi diri sendiri, dan dijaganya dari jamahan orang lain. Di penjara orang bisa menyembunyikan sesuatu dari petugas, tapi tidak dari temannya sendiri. Untuk mengerti perilaku manusia, berbagai ilmu menganalisis tentang dorongan alamiah dan manusiawi untuk bertahan hidup. Dalam situasi penjara semacam itu, solidaritas dipandang sangat berharga, taruhan nilai-nilai bersama. Sementara para egois dipandang seperti nyamuk yang dalam tahap tertentu bisa berbahaya. Kalau seseorang begitu sayang terhadap sebungkus permennya tanpa menghiraukan orang lain yang sedang memerlukan energi, pada saat lain ia pun dapat menjual kepala temannya untuk sebungkus gula. Pada suatu hari seorang polisi yang tak kukenal masuk blok kami dan mencariku. Dengan berpura-pura omong keras ia menyelipkan sepucuk surat. Ia mengabarkan, isteriku telah melahirkan bayi laki-laki dan menunggu nama dariku. Aku menuliskan nama pada sepotong kertas yang disodorkannya untuk diteruskan pada isteriku. Di Lowokwaru aku sempat bertemu Goei Poo An, pemimpin redaksi dan pemilik koran Trompet Masjarakat Surabaya yang berada di sel berseberangan. Koran itu dikenal sebagai penyokong Bung Karno, pembela rakyat kecil serta dikelompokkan sebagai kiri. Koran tersebut beredar luas di Jawa Timur, aku telah mengenalnya sejak di SMP ketika menjadi loper koran. Pada hari-hari itu sel-sel di blok kami masih cukup mendapat pasokan makanan dari luar. Pada hari-hari pertama orang biasanya tak bisa makan jatah penjara, nasi yang keras dan bulukan di ompreng dekil. Aku sendiri pernah masuk dapur penjara ketika perploncoan, melihat sendiri bagaimana kondisi makanan dan kebersihannya. Tak aneh kalau di dalamnya tersimpan bekicot, kecoak dan yang lain. Setelah pasokan makanan dari luar surut, tak ada cara lain kecuali harus belajar bertahan hidup. Pada minggu ketiga kedatangan rombonganku, banyak di antara kami yang sulit tidur. Gelombang pemangggilan pada jam 2.00 3.00 pagi mulai lagi. Seorang dosen FKIP, teman baikku, Drs.Adinegoro, seorang yang lembut dan santun serta penuh semangat, beserta 60-an yang lain telah terpanggil ketika ditahan di belakang stasiun. Mereka semua tak ada kabar beritanya, lenyap ditelan bumi. Di kemudian hari kuketahui sebagian dari mereka dibantai di muara Kali Lesti, Gladakperak, pantai selatan Malang. Malam itu sebagian besar penghuni sel kami berjaga-jaga, beberapa orang tidur nyenyak. Hal itu terjadi juga dengan sel-sel blok lain. Pada hari-hari berikutnya aku biasa tidur nyenyak tanpa mendengar panggilan tersebut. Ketika pagi kulihat sel-sel yang berhadapan dengan sel kami telah hampir kosong termasuk Pak Goei. Orang-orang baru pun datang dan sel-sel itu penuh kembali. Tiap kali rombongan baru datang, koleksi kisah-kisah seram pembantaian pun selalu bertambah. Pada suatu hari seorang pelarian dari daerah Blitar mengisahkan kejadian di suatu rumah sakit. Pada suatu kali rumah sakit didatangi gerombolan yang dijaga tentara dan menggelandang siapa saja yang dikehendakinya. Di antara yang dicomot terdapat sejumlah pasien luka parah yang selamat dari pembantaian beserta sejumlah pegawai rumah sakit. Semuanya dimusnahkan. Rumah sakit dituduh melindungi pelarian PKI, tuduhan maut. Kami mendengar teman kami Drs. Mulyakno, seorang guru yang isterinya baru saja melahirkan, telah lenyap dari penjara Blitar beserta banyak orang lain termasuk dua orang guru saudara sepupuku, Mas Hardi dan Mas Harlan. Seorang teman karena kekeliruan nama di kembalikan lagi ke sel setelah ia sempat melihat teman-teman lain diikat kedua tangannya, kemudian dimasukkan ke truk-truk yang siaga di dekat gerbang bagian dalam, jauh dari sel kami. Kebusukan merebak ke hidung kami melalui berbagai sumber, nara pidana, sipir, polisi, tentara. Mereka manusia biasa lengkap dengan emosi dan perasaannya, yang suatu kali tak bisa menahan untuk tidak bicara. Truk-truk itu dilarikan ke beberapa tujuan yang telah ditetapkan ke luar kota yang terpencil. Lubang-lubang besar telah disiapkan beserta segerombolan pembantai dengan segala macam senjata tajamnya. Pemusnahan demi pemusnahan di pagi buta, ketika ayam jantan berkokok di balik kebun dan sawah di kejauhan. Ketakutan merupakan sesuatu yang amat manusiawi. Berhari-hari Mas Karno, seorang sarjana ekonomi, ketika di luar kami anggap pemimpin. Ia selalu dalam keadaan panik, gemetar, susah makan, tapi sering ke belakang. Ia mondar-mandir menyebarkan kepanikan dan ketakutannya. Ia sebal ketika kubilang bahwa segala kekhawatiran dan keluhan tidak membuat keadaan lebih baik, tidak membuat kita dibebaskan. Yang bisa dilakukan adalah pasrah, menjaga kesehatan fisik dan mental dalam solidaritas. Betapa mudah diucapkan. Kalau anda mengalaminya, terpulang pada diri sendiri. Mampukah kamu mendidik diri sendiri setelah menerima sejumlah pendidikan yang benar maupun yang salah. Dalam kenyataannya yang disebut pasrah dan solidaritas itu tidak gampang dilaksanakan, juga dalam kesulitan bersama. Ego sejumlah manusia tidak surut. Topeng-topeng berguguran tanpa rencana, menelanjangi sejumlah egois yang tak mampu meningkatkan diri. Ini semua tak ada hubungan sejajar dengan kedudukan seseorang ketika masa damai, kursus politik yang telah ditempuhnya, ilmu yang telah ditimbanya. Tentu saja hal-hal itu bisa berdampak pada kepribadian orang, positif maupun negatif. Agaknya kemampuan mendidik diri sendiri adalah salah satu kuncinya. Di penjara itu Bung Amir Syarifudin pernah disekap dan disiksa oleh penguasa Jepang dengan digantung. Yang dialami ratusan teman kami lebih ringkas, langsung digelandang dan dibunuh. Selama di Lowokwaru aku sempat merenungkan kembali tentang berbagai kejadian yang telah lewat. Terngiang kembali kata-kata dokter Sudarsono, tokoh PSI, mantan menteri dan duta besar, kebetulan adik ibu mertuaku, ketika itu pejabat tinggi di Deplu. Sepulang dari kongres HSI bulan Agustus 1965 aku mampir ke rumahnya di Jl. Utankayu. Ia nyeletuk, "Hati-hati kamu, PKI mau brontak lagi!" Aku menganggapnya sebagai bercanda seperti sering terjadi. Dengan perkembangan kejadian adakah ini berarti datangnya peristiwa tersebut bukan rahasia bagi mereka? Lalu retorika Aidit tentang revolusi dan merelakan cangkir piring pecah berantakan. Hal itu disampaikannya dalam pertemuannya dengan beberapa peserta kongres HSI. Perdebatan terjadi di kalangan utusan kongres, kemudian diredam oleh pemegang otoritas. Pemberontakan? Siapa terhadap siapa? Revolusi? Sebuah kosa kata dengan batas-batas amat luas. Apa revolusi bisa dirancang dan dibikin? Perdebatan politik dan ideologi sejak abad lampau, sampai juga ke penjara Lowokwaru. Apa revolusi hanya urusan beberapa gelintir pemimpin dan komandan tentara? Kudeta militer, nah ini yang jejaknya mudah dilihat dalam rentetan kejadian. Sebagian dari kami menamainya sebagai petualangan militer, itu terlepas dari segala yang kemudian menimpa kami secara kelompok dan pribadi. Pagi itu tiba-tiba Drs Amim dan Drs Harsomo menerima panggilan. Selama ini interogasi yang kualami biasanya bersifat agak massal, beberapa orang sekaligus berderet-deret. Aku giliran pertama dipanggil. Ketika menghadap, pejabat itu memperkenalkan diri sebagai Letkol Sutrasno SH, Komandan Korem 83, Malang. Ia sebagai ketua tim pemeriksa langsung menembakku dengan pernyataan, "Jadi saudara yang membacakan pernyataan HSI menyokong Dewan Revolusi di RRI Malang pada 1 Oktober malam itu?" Aku pura-pura tak menangkap pertanyaannya dan meminta diulangi. Secara kebetulan pada malam hari tanggal tersebut aku mengisi acara di RRI Malang seperti telah dijadwalkan jauh sebelumnya. Topiknya tiada lain dari urusan revolusi berdasar ajaran Bung Karno. Untuk pertama kalinya keberadaanku pada hari genting itu di RRI dipertanyakan. Selanjutnya kami berbincang tentang keluarga, pendidikan, pekerjaan. Akhirnya ia mengabarkan bahwa isteri dan anakku yang baru lahir dalam keadaan baik. Tak terbayang bagiku bahwa isteriku pun rupanya menghubungi pejabat ini. Seminggu setelah interogasi yang aneh itu, bulan Januari 1966 kami berdua dipanggil kembali. Kali ini dibawa dengan mobil pesakitan menuju Polres. Kami berdua tak tahu apa yang akan kami hadapi, petugas yang membawa kami hanya memberitahukan tempat tujuan. Kami dikawal memasuki ruang di samping kantor Kapolres Letkol Drs Suhartono. Ternyata di sana telah menanti isteri dan anak kami masing-masing yang baru berumur empat minggu. Para isteri segera mencucurkan air mata dan sesenggukan dalam pelukan suami masing-masing. Dengan ukuran jaman itu, kenyataan ini sesuatu yang langka. Segala sesuatu hampir tanpa aturan, kecuali kekuasaan di bawah clurit dan laras senjata. Aku merasa dimanja benar oleh hidup ini, menatap wajah isteriku, bersama mencium bayi kami, sementara banyak teman lain kemarin atau esok, dirampas seluruh hak hidup mereka, dikubur massal entah di mana, atau mayatnya dilempar ke kali. Kemewahan yang kualami itu hanya berlangsung selama setengah jam. Dalam keterbatasan penjara akal sejumlah orang amat berguna bagi orang banyak. Tidak boleh ada pisau atau silet atau benda tajam apa pun yang lain? Sekeping pecahan botol bisa menjadi pisau cukur memadai. Sepotong paku atau besi apa saja bisa dijadikan pisau tajam. Sebuah kaleng bekas susu dengan mudah menjadi kompor minyak. Sekerat tulang tebal dan sepotong kayu keras, itu barang berharga yang bisa disulap jadi benda-benda seni. Hal-hal semacam itu sudah pernah aku dengar dan baca, bagaimana para tahanan kamp Nazi dapat membuat radio, bahkan pemancar sendiri. Manusia dikaruniai nalar dan kreativitas, tapi manusia juga mampu memasung dan menghancurkan keduanya. Ada berbagai cara orang menyusun kalender. Ada yang menyusunnya pada potonganpotongan kecil kertas sampai akhir tahun berikutnya. Yang banyak dilakukan coretan di tembok sel. Sementara orang menghitung sebulan, dua bulan, tiga bulan dan seterusnya dengan harapan dalam hitungan bulan akan dibebaskan, sedang ia melihat sendiri di depan hidungnya serombongan orang dibawa pergi dan lenyap. Adakah ia merasa memiliki keistimewaan untuk terpilih dibebaskan, atau harapan biasa saja untuk bertahan hidup. Dengan memahami perkembangan kekuasaan Jendral Suharto, kami tak ingin memiliki mimpi yang menyesatkan. Aku meledek Mas Karno dengan mengatakan bahwa kita akan tinggal di penjara bukan enam atau tujuh bulan, tapi enam atau tujuh tahun atau bahkan lebih. Ia marah dan menuduhku sebagai pesimis dan menyebarkan pesimisme. Pada bulan ke empat beberapa orang di blok kami dipindah ke blok lain yang hanya terdiri dari dua sel kecil, masing-masing dengan lima penghuni. Aku berkumpul dengan Pak Jarwo, seorang pengusaha kota Malang yang cukup beken. Terdapat peralatan memadai seperti kompor kaleng susu yang dibarter dari blok lain. Terdapat pasokan makanan dengan tetap dari luar lewat jalur sang penguasaha kaya. Di jaman itu kami belum mengenal peralatan elektronik kecil dengan kapasitas besar. Kelak Pak Jarwo dan beberapa teman lain dicomot dan lenyap tanpa jejak. Maka kekayaannya yang berupa beberapa rumah tinggal, toko buku, percetakan, pabrik rokok, kendaraan, dan yang lain diambil alih oleh para penguasa baju hijau menjadi bancaan seperti warisan moyangnya. Kelak aku juga mengetahui sebenarnyalah namaku bersama Drs Amim tercantum dalam daftar mereka yang harus dilenyapkan. Penguasa ketika itu menggolongkan sarjana dan kaum cendekiawan kiri sebagai kelompok amat berbahaya. Kelak aku juga mendengar samar-samar pencoretan nama kami dari daftar berkat campur tangan Letkol Sutrasno SH atau dan Letkol Polisi Drs Suhartono. Aku baru mengenal keduanya ketika ditahan. Beberapa tahun kemudian baru kudengar bahwa Letkol Sutrasno diberhentikan dari jabatannya. Setelah enam bulan ditahan, pagi itu aku dan Drs Amim lagi-lagi dipangggil untuk segera berkemas. Seorang sipir berbisik bahwa kami berdua dibebaskan. Meski kami sempat gembira tapi kami tak bisa mempercayainya. Kami pun membenahi barang kami lengkap termasuk bantal dan tikar sesuai dengan saran teman-teman. Pemindahan tahanan termasuk pemindahan ke alam baka tidak pernah diberitahukan dengan jelas. Berjam-jam kami berdua berada di sebuah ruangan tertutup Kodim Malang di Jl. Kahuripan. Sekitar jam dua siang seseorang memasukkan dua nasi bungkus. Menjelang sore kami berdua sudah kehabisan gairah dan bahan percakapan, juga persediaan air putih. Jam enam, jam tujuh, jam delapan, jam sembilan baru kami berdua dipanggil menghadap seorang mayor. Kami dibebaskan dengan wajib lapor. Kami harus menandatangani setumpuk kertas yang hampir-hampir tak sempat kami baca. Aku dijemput Nyak Alan, adik iparku. Dengan becak kami menuju Jl. Muria 6, rumah mertuaku, tempat isteri dan anakku tinggal setelah penangkapanku. Adik ipar ini pernah ditahan sebentar dan wajib lapor. Ia tidak takut menjemputku. Harap maklum, rezim berkuasa telah membuat stigma, mengkondisikan masyarakat untuk jeri berhu bungan dengan tapol atau bekas tapol karena akan dikucilkan, dipecat, ditangkap, ditahan, bahkan dibunuh. Ketika berada di penjara aku dipecat sebagai dosen, tanpa surat pemecatan. Pak Dwidjo, Rektor IKIP ketika itu datang menemui isteriku, menyatakan ikut prihatin. Tak lama kemudian kedudukannya diganti oleh orang lain. Aku mencatat nama beliau sebagai seorang yang jujur dan penuh rasa kemanusiaan, pengabdi pendidikan. Kelak aku mendengar sampai beberapa tahun kemudian namaku masih tercantum dalam daftar gaji. Tiap bulan seseorang telah menandatanganinya. Emploken! Beberapa minggu setelah dibebaskan aku diijinkan oleh pejabat tempat aku wajib lapor untuk pindah ke Surabaya dengan alamat yang kukarang sendiri. Selanjutnya dengan bantuan saudara dan teman aku lari ke hutan rimba Jakarta. Dengan berdebar dapat kuikuti berita ditangkapnya kembali bahkan dibunuhnya teman-teman yang telah dibebaskan bersamaku, di antaranya mas Nuryono, kemenakan Pak Jarwo. [Jakapermai2000].- Subject: PENJARA LOWOKWARU 1965/1966 Catatan Seorang Eks Tapol PENJARA LOWOKWARU 1965/1966 (MALANG) Date: 2005/9/14 Section: Kesaksian The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=35 G30S, Terlibatkah Soeharto? G30S, Terlibatkah Soeharto? Tulisan oleh James Luhulima ini, dimuat di Kompas, pada tanggal 27 Oktober, 2004, Kompas, 27 Oktober 2004 - SETIAP kali memasuki bulan September dan Oktober, ingatan selalu menerawang jauh ke belakang, tepatnya ke peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 yang sampai kini masih tetap menyimpan misteri. Ada pepatah yang menyatakan bahwa orang yang menguasai informasi, akan menguasai dunia. Pepatah itu tidak mengada-ada, karena kenyataan itulah yang terjadi pada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto sewaktu Peristiwa G30S terjadi. Ia adalah satu-satunya perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang tahu persis tentang apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari itu. Data yang telah dipublikasikan selama ini menyebutkan, pada tanggal 30 September 1965 malam, Soeharto telah diberi informasi oleh Kolonel Infanteri Abdul Latief, Komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam V Jaya, bahwa akan dilakukan penjemputan paksa terhadap para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat, termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Agak aneh, mengapa Soeharto tidak melaporkan informasi yang diterimanya dari Latief kepada Jenderal Ahmad Yani, atasannya. Kemungkinannya hanya dua, ia terlibat atau ia hanya menggunting dalam lipatan, yakni mengambil keuntungan dari gerakan yang dilakukan orang lain. Dalam pledoinya, Latief mengungkapkan, selain bertemu dengan Soeharto pada tanggal 30 September 1965 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), dua hari menjelang tanggal 1 Oktober 1965 (tanggal 29 September 1965-Red), ia juga menghadiri acara kekeluargaan di kediaman Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Pada pertemuan pertama, Latief memberi tahu adanya isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Menanggapi pemberitahuan itu, Soeharto mengatakan, ia sudah mengetahui hal itu dari seorang bekas anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang datang sehari sebelumnya (28 September 1965-Red). Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri Soekarno (Kabinet Dwikora), dalam Memoir Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, menyebutkan, ia bertemu dengan Subagiyo di dalam tahanan, dan Subagiyo mengatakan, ia telah memberi tahu Soeharto mengenai akan adanya peristiwa penting pada tanggal 30 September 1965 itu. Dan, pada pertemuan kedua di RSPAD, Latief menyebutkan ia dan rekan-rekannya akan menjemput paksa para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Adanya pertemuan antara Kolonel Abdul Latief dengan Mayor Jenderal Soeharto menjelang peristiwa G30S membuat kecewa Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal Idris, yang sebagai Kepala Staf Kostrad pada tanggal 11 Maret 1966 memimpin pasukan tanpa identitas yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional. Ditemui wartawan ketika melayat ke rumah Jenderal Besar Purnawirawan AH Nasution, 6 September 2000, Kemal Idris mengatakan, dengan meninggalnya Pak Nas makin sulit pula upaya bangsa ini untuk mengorek tuntas misteri G30S yang hingga kini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang. "Apa yang kita kecewa adalah (karena) Soeharto dua kali didatangi oleh Kolonel Abdul Latief dan dia (Soeharto) menerima laporan bahwa akan terjadi sesuatu pada tanggal 30 September 1965. Saya sangat kecewa sekali kepada Soeharto yang tidak mengambil tindakan apa pun untuk pengamanan (hingga timbul kesan) saat itu, seolah-olah biarlah ada orang mati supaya dia berkuasa," ujar Kemal Idris. Ternyata setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998, muncul data baru, yang diungkapkan oleh Wakil Komandan Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya Kapten Soekarbi (kini, Mayor Purnawirawan). Dalam wawancaranya dengan tabloit berita Detak, yang dimuat dalam edisi 29 September-5 Oktober 1998, Soekarbi mengatakan, dalam Radiogram Panglima Kostrad Nomor 220 dan Nomor 239 tanggal 21 September 1965, yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal Soeharto, isinya perintah agar Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya disiapkan dalam rangka HUT ke-20 ABRI tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan "perlengkapan tempur garis pertama". Pertanyaan yang segera muncul, mengapa Soeharto meminta Batalyon 530 disiapkan dengan "perlengkapan tempur garis pertama"? Apalagi kemudian yang terjadi adalah sebagian dari anggota pasukan Batalyon 530 terlibat dalam peristiwa G30S. Tidak diketahui apakah perintah serupa diberikan pula kepada Batalyon 454/Para/Diponegoro, yang sebagian anggota pasukannya juga terlibat dalam peristiwa G30S. Dengan adanya radiogram tersebut, muncul dugaan bahwa Soeharto sudah tahu mengenai akan adanya peristiwa G30S, paling tidak sejak tanggal 21 September 1965, atau sembilan hari sebelumnya. Sebab, dengan memberikan pasukan Batalyon 530 itu "perlengkapan tempur garis pertama", Soeharto telah memfasilitasi anggota pasukan tersebut untuk melakukan "gerakannya". Belum lagi hampir semua pelaku inti G30S memiliki hubungan yang dekat dengan Soeharto, mulai Brigadir Jenderal Soepardjo, Kolonel Untung, Kolonel Abdul Latief, sampai Sjam Karuzzaman. Itu sebabnya, pada saat G30S berlangsung, Soeharto hanya menunggu perkembangan, dan pada saat yang tepat, dengan cepat mengambil langkah-langkah yang diperlukan, di saat orang-orang lain, termasuk panglima dan perwira tinggi angkatan lainnya, masih bertanyatanya apa yang sesungguhnya terjadi. Karena mengetahui siapa saja yang telah dijemput paksa dan siapa saja yang melakukannya, maka saat itu pada prinsipnya Soeharto dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya, termasuk dengan mudah membasmi pelaku-pelaku G30S dan mencari kambing hitam untuk dituduh sebagai penanggung jawab atas peristiwa G30S. Sebagai orang yang memiliki seluruh informasi, Soeharto secara leluasa memberlakukan keadaan darurat. Kemudian menelepon Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana Madya RE Martadinata, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Komisaris Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, dan Deputi Operasi Angkatan Udara Komodor Leo Wattimena. Dan, kepada mereka, Soeharto memberi tahu untuk sementara Angkatan Darat dipegang olehnya, serta meminta agar mereka tidak mengadakan pergerakan pasukan tanpa sepengetahuannya (dalam hal itu, Panglima Kostrad). Sebagai kambing hitam, ia menuduh Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dani berada di pihak yang salah, dan Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma disebutkan sebagai markas pelaksana G30S. Dengan demikian, kehadiran Presiden Soekarno di Pangkalan Angkatan Udara Halim dicitrakan sebagai keberpihakan Soekarno pada G30S. Itu belum semua. Dengan penguasaannya atas seluruh media massa nasional, Soeharto berhasil menjadikan versinya atas peristiwa G30S sebagai satu-satunya kebenaran. Dan, bagi orang-orang yang dianggap "berseberangan" diberi label terlibat G30S, dan dijadikan tahanan politik. Sejumlah purnawirawan AURI di bawah pimpinan Sri Mulyono Herlambang, lewat buku Menyibak Kabut Halim 1965 membantah bahwa Lubang Buaya yang digunakan sebagai Markas Kelompok G30S berada di wilayah AURI. Tempat tersebut justru berada di wilayah Angkatan Darat. PADA tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Mayor Jenderal Soeharto memerintahkan seorang perwira Kostrad, Kapten Mudjono, untuk memanggil Komandan Batalyon 530 Mayor Bambang Soepeno yang menempatkan pasukannya di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan. Karena Mayor Bambang Soepeno tidak ada ditempat, maka Wakil Komandan Batalyon 530 Kapten Soekarbi, yang memimpin pasukan di lapangan, bertanya apakah ia bisa mewakili. Perwira itu menjawab tidak bisa. Namun, pukul 07.30, perwira Kostrad itu kembali lagi, dan mengatakan, Kapten Soekarbi diperbolehkan menggantikan Mayor Bambang Soepeno. Tidak lama kemudian datang menghadap pula Wakil Komandan Batalyon 454 Kapten Koencoro. Pasukan yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan adalah anggota dua batalyon yang diundang Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto ke Jakarta untuk mengikuti peringatan HUT ke-20 ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965. Sebab itu, Soeharto dengan mudah memanggil pemimpin kedua batalyon itu, dan memerintahkan agar menarik kembali pasukan mereka ke Markas Kostrad. Soekarbi membantah pernyataan yang menyebutkan bahwa Kostrad tidak tahu kehadiran pasukannya di sekitar Istana dan Monumen Nasional, mengingat anak buahnya bolak-balik ke Markas Kostrad untuk menggunakan kamar kecil (toilet). Berbeda dengan Soeharto, yang pada pukul 06.30 , sudah mengetahui identitas pasukan yang berada di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan, Presiden Soekarno dan regu pengawalnya sama sekali masih tidak tahu-menahu mengenai apa yang terjadi. Pada tanggal 30 September 1965, malam, Presiden Soekarno tidak tidur di Istana Merdeka. Menjelang tengah malam, Soekarno meninggalkan Istana Merdeka menuju ke kediaman istrinya, Ny Ratnasari Dewi, di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto (kini, Museum Satria Mandala). Dalam perjalanan ke sana, Soekarno singgah di Hotel Indonesia untuk menjemput Ny Dewi, yang tengah menghadiri resepsi yang diadakan Kedutaan Besar Irak di Bali Room. Keesokan harinya, tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Presiden Soekarno keluar rumah, memasuki mobil kepresidenan, dan bergegas ke Istana Merdeka. Pagi itu, Soekarno dijadwalkan menerima Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena dan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani. Di dalam mobil, Suparto, staf ajudan yang mengemudikan mobil itu, memberi tahu informasi yang diperolehnya dari Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, yakni bahwa pada pukul 04.00, ada penembakan di rumah Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution dan rumah Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena, yang letaknya bersebelahan. Presiden Soekarno langsung memerintahkan Suparto untuk memberhentikan mobil yang baru bergerak beberapa meter itu. Ia langsung memanggil Mangil dan meminta penjelasan tentang penembakan tersebut. Kemudian Soekarno bertanya, "Baiknya bagaimana, saya tinggal di sini dulu atau langsung kembali ke Istana?" Mangil menjawab, "Sebaiknya Bapak tinggal di sini dulu, karena saya masih harus menunggu laporan dari Inspektur I Jatiman (Kepala Bagian II DKP) yang tadi saya perintahkan untuk mengecek kebenaran berita tersebut." Mendengar jawaban itu, Soekarno menghardik Mangil dengan nada keras, "Bagaimana mungkin, kejadian pukul 04.00 pagi, sampai sekarang belum diketahui dengan jelas…"Soekarno dan regu pengawalnya kemudian meninggalkan Wisma Yaso menuju Istana Merdeka. Rencananya mereka akan melalui Jembatan Semanggi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, dan Jalan Merdeka Utara. Sewaktu rombongan Presiden Soekarno melintas di atas Jembatan Dukuh Atas, menjelang Bundaran Hotel Indonesia, Jatiman menghubungi Mangil dan membenarkan ada tembakan di rumah Jenderal AH Nasution dan Dr Leimena. Ia juga menginformasikan tentang adanya pasukan Angkatan Darat "yang terasa sangat mencurigakan" di sekitar Istana dan kawasan Monumen Nasional. Mendengar informasi itu Mangil memutuskan untuk menjauhkan Soekarno dari pasukan tersebut. Pada saat yang sama, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa Kolonel (CPM) Maulwi Saelan menghubungi Mangil lewat handy-talkie dan memerintahkan untuk membawa Soekarno ke rumah istrinya yang lain, Ny Harjati, di kawasan Slipi, di sebelah lokasi Hotel Orchid (sekarang). Rombongan kemudian membelok ke kiri, memasuki Jalan Budi Kemuliaan, Tanah Abang Timur, Jalan Jati Petamburan, dan ke arah Slipi, ke rumah Ny Harjati. Saelan menunggu Soekarno di rumah Ny Harjati. Begitu tiba, pukul 07.00, Soekarno segera masuk ke dalam rumah, diikuti Saelan. Soekarno segera memerintahkan Saelan mengontak semua panglima angkatan. Namun, sejak malam hingga pagi itu, jaringan telepon lumpuh sehingga Saelan meminta Suparto untuk menghubungi secara langsung. Saelan kemudian mendatangi Mangil di luar, dan mengupayakan untuk mencari tempat yang aman bagi Soekarno. Berbagai gagasan pun bermunculan, tetapi setelah Suparto kembali pada pukul 08.30 dan melaporkan bahwa ia berhasil mengadakan kontak dengan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dani di Pangkalan Angkatan Udara Halim, maka diputuskan untuk membawa Soekarno ke sana. Soekarno menyetujui hal itu karena itu sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) Tjakrabirawa. Bahwa jika dalam perjalanan pengamanan Presiden terjadi sesuatu hal yang mengancam keamanan dan keselamatan Presiden, maka secepatnya Presiden dibawa ke Markas Angkatan Bersenjata terdekat. Alternatif lain adalah menuju ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma karena di sana ada pesawat terbang kepresidenan C-140 Jetstar. Atau, pelabuhan Angkatan Laut, tempat kapal kepresidenan RI Varuna berlabuh. Atau, bisa juga ke Istana Bogor karena di sana diparkir helikopter kepresidenan Sikorsky S-61V. Sekitar pukul 09.30, rombongan Presiden Soekarno tiba di Pangkalan Angkatan Udara Halim. Presiden disambut Omar Dani dan Komodor Leo Wattimena, yang karena ketidaktahuannya atas apa yang terjadi, dapat ditarik ke kubu Soeharto siang harinya. Sementara itu, sekitar pukul 06.00, Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan G30S, berangkat ke Istana untuk melaporkan peristiwa G30S kepada Presiden Soekarno. Karena Soekarno tidak berada di Istana, Soepardjo sempat menunggu selama dua jam di sana. Setelah mendapatkan informasi bahwa Soekarno berada di Halim, maka ia segera menyusul ke Halim. Pukul 10.00, ia bertemu dengan Soekarno dan melaporkan mengenai gerakannya. Namun, Soekarno menolak untuk mendukung gerakan itu, dan meminta ia menghentikan gerakannya untuk menghindari pertumpahan darah. Namun, penguasaan atas pasukan dan media massa saat itu membuat Soeharto bisa melakukan tindakan apa saja yang dikehendakinya melalui kaki tangannya. Bahkan, Soekarno, lewat kesaksian Brigjen Sugandhi, Kepala Pusat Penerangan Hankam, dan ajudan Presiden Soekarno sendiri, Kolonel Marinir Bambang Widjanarko, dikatakan bertanggung jawab atas G30S. Uniknya, Bambang Widjanarko yang memberikan kesaksian bahwa Soekarno terlibat dalam peristiwa G30S, tetap ditugaskan mendampingi Soekarno sampai jabatannya sebagai Presiden Indonesia resmi dicabut oleh MPRS. Kesaksian Sugandhi dibantah oleh Oei Tjoe Tat, yang juga hadir dalam jam minum kopi pagi (koffie uurtje) pada tanggal 30 September 1965. Cerita Sugandhi tentang apa yang terjadi pagi itu, menurut Oei Tjoe Tat, mengada-ada. Seperti Sugandhi, kesaksian Bambang Widjanarko pun dibantah oleh Kolonel (CPM) Maulwi Saelan dan Ajun Inspektur Polisi Tingkat I Sogol Djauhari Abdul Muchid, bertugas di bagian Higiene dan Dinas Khusus Kepresidenan. Sogol disebut Bambang Widjanarko sebagai orang yang menyerahkan surat Untung tentang penjemputan paksa para jenderal kepada Soekarno tanggal 30 September 1965 malam. Pertanyaan besar yang mengganjal, adalah mengapa sama sekali tidak ada yang mempersoalkan, mengapa Soeharto tidak melaporkan adanya gerakan untuk menjemput paksa para jenderal Angkatan Darat kepada atasannya, Jenderal Ahmad Yani, yang tewas dalam aksi penjemputan paksa itu? (Kutipan dari tulisan James Luhulima, selesai) Date: 2005/9/19 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=38 US And British Complicity In Indonesia 1965 US And British Complicity In Indonesia 1965 by Mark Curtis October 21, 2002 US officials at the time called a “reign of terror” and British officials “ruthless terror”. However, unlike the terrorists responsible for the outrage of September 11, precisely nothing has ever been done to bring those responsible in Indonesia – and their supporters in Washington and London - to account. The killings in Indonesia started when a group of army officers loyal to President Sukarno assassinated several generals on 30 September 1965. They believed the generals were about to stage a coup to overthrow Sukarno. The instability, however, provided other anti-Sukarno generals, led by General Suharto, with an excuse for the army to move against a powerful and popular political faction with mass support, the Indonesian Communist Party (PKI). It did so brutally: in a few months hundreds of thousands of PKI members and ordinary people were killed and the PKI destroyed. Suharto emerged as leader and instituted a repressive regime that lasted until 1998. The declassified documents show five ways in which the US and Britain were complicit in this slaughter. First, both the US and Britain wanted the army to act and encouraged them to do it. US officials expressed their hope of “army at long last to act effectively against Communists” [sic]. “We are, as always, sympathetic to army’s desire to eliminate communist influence” and ”it is important to assure the army of our full support of its efforts to crush the PKI”, other officials noted. The British were equally enthusiastic. “I have never concealed from you my belief that a little shooting in Indonesia would be an essential preliminary to effective change”, the ambassador in Jakarta, Sir Andrew Gilchrist, informed the Foreign Office on 5 October. The following day the Foreign Office in London stated that “the crucial question still remains whether the Generals will pluck up enough courage to take decisive action against the PKI”. Later it noted that “we must surely prefer an Army to a Communist regime” and declared: “It seems pretty clear that the Generals are going to need all the help they can get and accept without being tagged as hopelessly pro-Western, if they are going to be able to gain ascendancy over the Communists. In the short run, and while the present confusion continues, we can hardly go wrong by tacitly backing the Generals”. British policy was “to encourage the emergence of a General’s regime”, one intelligence official explained. Support for army actions continued throughout the period of the worst killings; there is no question that US and British officials knew exactly what they were supporting. US Ambassador Marshall Green noted three weeks after the attempted coup and with the killings having begun, that “Army has… been working hard at destroying PKI and I, for one, have increasing respect for its determination and organisation in carrying out this crucial assignment”. Green noted in the same despatch the “execution of PKI cadres”, putting the figure at “several hundred of them” in “Djakarta area alone” [sic]. “To date, army has performed far better than anticipated in attacking PKI and regrouping”. On 1 November, Green informed the State Department of the army’s “moving relentlessly to exterminate the PKI as far as that is possible to do”. Three days later he noted that “Embassy and USG generally sympathetic with and admiring of what army doing” [sic]. Four days after this the US Embassy reported that the Army and allied elements “has continued systematic drive to destroy PKI in northern Sumatra with wholesale killings reported”. By 16 November, the US Consulate in Medan was reporting that “much indiscriminate killing is taking place”. “Something like a reign of terror against PKI is taking place. This terror is not discriminating very carefully between PKI leaders and ordinary PKI members with no ideological bond to the party”. A British official reported on 25 November that “PKI men and women are being executed in very large numbers”. By mid December the State Department noted approvingly that “Indonesian military leaders’ campaign to destroy PKI is moving fairly swiftly and smoothly”. By 14 February 1966 Ambassador Green could note that “the PKI has been destroyed as an effective political force for some time to come” and that “the Communists…have been decimated by wholesale massacre”. The British files reveal that by January the US estimated the number of dead at 150,000, although one Indonesian armed forces liaison officer told US attaches of a figure of 500,000. By March one British official wondered “how much of it [the PKI] is left, after six months of killing” and believed that over 200,000 had been killed in Sumatra alone. By April, the US Embassy stated that “we frankly do not know whether the real figure is closer to 100,000 or 1,000,000 but believe it wiser to err on the side of the lower estimates, especially when questioned by the press”. Summarising the events of 1965 the British Consul in Medan referred to the army by noting that: “Posing as saviours of the nation from a communist terror, they unleashed a ruthless terror of their own, the scare of which will take many years to heal.” Another British memo referred to the “an operation carried out on a very large scale and often with appalling savagery”. Another simply referred to the “bloodbath”. The US and British files reveal total support for these massacres. I could find no reference to any concern about the extent of killing at all - other than constant encouragement for the army to continue. And it was not only PKI activists who were the targets of this terror. As the British files show, many of the victims were the “merest rank and file “ of the PKI who were “often no more than bewildered peasants who give the wrong answer on a dark night to bloodthirsty hooligans bent on violence”, with the connivance of the army. The second way in the US and Britain supported the slaughter concerned the “Confrontation” between Malaya and Indonesia. Here, Britain had deployed tens of thousands troops, mainly in Borneo, to defend Malaya against possible Indonesian encroachments following territorial claims. British policy “did not want to distract the Indonesian army by getting them engaged in fighting in Borneo and so discourage them from the attempts which they now seem to be making to deal with the PKI”. British Ambassador Gilchrist proposed that “we should get word to the Generals that we shall not attack them whilst they are chasing the PKI”, described as a “necessary task”. In October the British passed to the Generals, through a US contact “a carefully phrased oral message about not biting the Generals in the back for the present”. The US files confirm that the message from the US, conveyed on 14 October, read: “First, we wish to assure you that we have no intention of interfering Indonesian internal affairs directly or indirectly. Second, we have good reason to believe that none of our allies intend to initiate any offensive action against Indonesia” [sic]. The message was greatly welcomed by the army: One of the Indonesian Defence Minister’s aides noted that “this was just what was needed by way of assurances that we (the army) weren’t going to be hit from all angles as we moved to straighten things out here”. Third is the “hit list” of targets supplied by the US to the Indonesian army. As the journalist Kathy Kadane has revealed, as many as 5,000 names of provincial, city and other local PKI committee members and leaders of the mass organisations of the PKI, such as the national labour federation, women’s and youth groups, were passed on the Generals, many of whom were subsequently killed. “It really was a big help to the army” noted Robert Martens, a former member of the US embassy. “They probably killed a lot of people and I probably have a lot of blood on my hands, but that’s not all bad. There’s a time when you have to strike hard at a decisive moment”. The declassified US files do not provide many further details about the provision of this hit list, although they do confirm it. One list of names, for example, was passed to the Indonesians in December 1965 and “is apparently being used by Indonesian security authorities who seem to lack even the simplest overt information on PKI leadership at the time”. It also notes that “lists of other officials in the PKI affiliates, Partindo and Baperki were also provided to GOI [Government of Indonesia] officials at their request”. The fourth means of support was propaganda operations. On 5 October a “political adviser” at the British intelligence base in Singapore reported to the Foreign Office in London that: “we should not miss the present opportunity to use the situation to our advantage… I recommend that we should have no hesitation in doing what we can surreptitiously to blacken the PKI in the eyes of the army and the people of Indonesia”. The Foreign Office replied: “We certainly do not exclude any unattributable propaganda or psywar [psychological warfare] activities which would contribute to weakening the PKI permanently. We therefore agree with the [above] recommendation… Suitable propaganda themes might be… Chinese interference in particular arms shipments; PKI subverting Indonesia as agents of foreign communists”. On 9 October the political adviser confirmed that “we have made arrangements for distribution of certain unattributable material based on the general guidance” in the Foreign Office memo. This involved “promoting and coordinating publicity” critical of the Sukarno government to “news agencies, newspapers and radio”. “The impact has been considerable”, one file notes. The fifth means of support was provision of equipment - although this remains the murkiest area to uncover. Past US support to the military “should have established clearly in minds Army leaders that US stands behind them if they should need help”, the State Department noted. US strategy was to “avoid overt involvement in the power struggle but… indicate, clearly but covertly, to key Army officers our desire to assist where we can.” The first US supplies to the Indonesian army were radio equipment “to help in internal security” and to help the Generals “in their task of overcoming the Communists”, as British Ambassador Gilchrist out it. The US historian Gabriel Kolko has shown that in early November 1965 the US received a request from the Generals to “arm Moslem and nationalist youths…for use against the PKI”. The recently published files confirm this approach from the Indonesians. On 1 November Ambassador Green cabled Washington that “as to the provision of small arms I would be leery about telling army we are in position to provide same, although we should act, not close our minds to this possibility… We could explore availability of small arms stocks, preferable of non-US origin, which could be obtained without any overt US government involvement. We might also examine channels through which we could, if necessary, provide covert assistance to army for purchase of weapons”. A CIA memo of 9 November stated that the US should avoid being “too hesitant about the propriety of extending such assistance provided we can do so covertly, in a manner which will not embarrass them or embarrass our government”. It then noted that mechanisms exist or can be created to deliver “any of the types of the materiel requested to date in reasonable quantities”. One line of text is then not declassified before the memo notes: “The same can be said of purchasers and transfer agents for such items as small arms, medicine and other items requested.” The memo goes on to note that “we do not propose that the Indonesian army be furnished such equipment at this time”. However, “if the Army leaders justify their needs in detail…it is likely that at least will help ensure their success and provide the basis for future collaboration with the US”. “The means for covert implementation” for the delivery of arms “are within our capabilities”. In response to the Indonesia request for arms, Kolko has shown that the US promised to provide such covert aid, and dubbed them “medicines”. The declassified files state that “the Army really needed the medicines” and that the US was keen to indicate “approval in a practical way of the actions of the Indonesian army”. The extent of arms provided is not revealed in the files but the amount “the medicines would cost was a mere pittance compared with the advantages that might accrue to the US as a result of ‘getting in on the ground floor’”, one file reads. A meeting in Washington of 4 December approved the provision of such “medicines”. The British knew of these arms supplies and it is likely they also approved them. Britain was initially reluctant to see US equipment go to the Generals lest it be used in the “Confrontation”. Thus the British files show that the US State Department had “undertaken to consult with us before they do anything to support the Generals”. It is possible that the US reneged on this commitment; however, in earlier discussions about this possibility, a British official at the embassy in Washington noted that “I do not think that is very likely”. The British files in particular show very close relations between the US and British embassies in Jakarta. They point to a somewhat coordinated joint US-UK operation to help install a Generals regime and bring about a government more favourable to Western economic and political interests. The Indonesia campaign is one of the most bloody in the postwar history of US-UK collaboration that includes the joint overthrow of the Musaddiq regime in Iran in 1953, the removal of the population of the British island of Diego Garcia to make way for a US military base in 1965, UK support for US aggression in Vietnam, Central America, Grenada, Panama and Libya and covert operations in Cambodia and Afghanistan. The current phase of the special relationship is witnessed in joint military operations in Iraq and Afghanistan. Basic US and British concerns and priorities regarding mid-1960s Indonesia are laid out in the files. For the British the importance of Southeast Asia was partly explained by the fact that “Southeast Asia is a major producer of some essential commodities” such as rubber, copra and chromuim ore. “Economically, Southeast Asia is a major producer of raw materials… and the defence of the sources of these products and their denial to a possible enemy are major interests to the Western powers”. Indonesia also “occupies a key position in world communications”, straddling important sea and air routes. And Britain wanted, of course, to see a change in regime in Jakarta to bring an end to the “Confrontation” with Malaya. British Foreign Secretary Michel Stewart wrote at the time that “it is only the economic chaos of Indonesia which prevents that country from offering great potential opportunities to British exporters. If there is going to be a deal in Indonesia… I think we ought to take an act and try to secure a slice of the cake ourselves”. The British feared “the resurgence of Communist and radical nationalism”. For the US, Under Secretary of State George Ball had noted that Indonesia “may be more important to us than South V-N [Vietnam]” (251). “At stake”, one US memo read, “are 100 million people, vast potential resources and a strategically important chain of islands”. Basic US priorities were virtually identical in Vietnam and Indonesia: to prevent the consolidation of an independent nationalist regime, with communist components and sympathies, that threatened Western economic and political interests and that could act as a successful development model. The US Ambassador in Malaysia cabled Washington a year before the October 1965 events in Indonesia saying that “our difficulties with Indonesia stem basically from deliberate, positive GOI [Government of Indonesia] strategy of seeking to push Britain and the US out of Southeast Asia”. Ball noted in March 1965 that “our relations with Indonesia are on the verge of falling apart”. “Not only has the management of the American rubber plants been taken over, but there are dangers of an imminent seizure of the American oil companies”. The Sukarno regime clearly had the wrong priorities. According to one US report: “the government occupies a dominant position in basic industry, public utilities, internal transportation and communication”. “It is probable that private ownership will disappear and may be succeeded by some form of production-profit-sharing contract arrangements to be applied to all foreign in vestment”. Overall, “the avowed Indonesian objective is ‘to stand on their own feet’ in developing their economy, free from foreign, especially Western, influence” – clearly all heretical priorities to basic US-UK strategy that – as today - needed to be defeated. The problem with the PKI was not so much its communism but its nationalism: “it is likely that PKI foreign policy decisions, like those of Sukarno, would stress Indonesian national interests above those of Peking, Moscow or international communism in general”, one memo reads. The real danger of a Communist Indonesia was outlined in a Special National Intelligence Estimate of 1 September 1965. This referred to the PKI’s moving “to energize and unite the Indonesia nation” and stated that “if these efforts succeeded, Indonesia would provide a powerful example for the underdeveloped world and hence a credit to communism and a setback for Western prestige”. The problem was that Indonesia would be too successful, a fear in the minds of US planners well documented by Kolko and Noam Chomsky in policy towards numerous other countries. The Army was by no means the perfect ally of the US in Indonesia – as the files note, it “was strongly nationalist in orientation and strongly favours the takeover of Western economic interests”. Nevertheless in the choice between Sukarno and the PKI on the one hand and the army on the other, “the army deserves our support”. And over time a combination of Western advice, aid and investment did transform the Indonesian economy into one that, although retaining an important nationalist element, provided substantial opportunities and profits for Western investors, aided by an increasingly corrupt President Suharto. The West supported Suharto throughout the three-decade long rule of repression, including in the regime’s murderous policies in East Timor after the invasion of 1975. The hundreds of thousands of deaths then were as irrelevant to US and British officials as those in 1965. For notes and sources, see the forthcoming book, The Web of Deceit: Britain’s Real Role in the World, Vintage, 2003. Mark Curtis can be contacted at mcurtis30@hotmail.com.. He is the author of The Great Deception: Anglo-American Power and World Order, Pluto, London (www.plutobooks.com) Note: The US files referred to were published last year in the Foreign Relations of the United States series by the US Government Printing Office. British files are in Public Record Office, London. source: Znet http://www.zmag.org/content/showarticle.cfm?ItemID=2521 Date: 2005/9/29 Section: Politik The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=42 Flashback: Tragedi Nasional 30 September '65 Para pembaca yang terhormat, Siapa saja yang ingin mencari "kebersihan Tragedi Nasional 30 September'65" harus berusaha menjelujuri seluruh sejarah perkembangan Republik Indonesia, dari hari Proklamasi Kemerdekaan R.I. s/d terjadinya Tragedi Nasional tersebut dan sampai hari ini. Dibawah ini sedikit flashback: Tragedi Nasional 30 September '65 adalah satu bagian matarantai dari aktivitas kaum Kolonial, terutama kaum Kolonial Belanda, dalam usaha untuk mempertahankan dan merehabilitasi kembali kekuasaan Kolonialisme diatas wilayah Republik Indonesia. Semenjak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tidak henti-hentinya serangan dan subversi kaum Kolonial Belanda, menyerang dan melakukan subversi untuk menghancurkan Republik Indonesia. Agresi Belanda I dan ke-II. Pengkhianatan kekuatan politik yang pro kaum Kolonial Belanda didalam RI, seperti "joint venture" Pemerintahan Hatta-Sukiman dengan kaum Kolonial Belanda yang diwakili oleh van Mook yang melahirkan Red drive proposal, dan kemudian dikenal dengan apa yang dinamakan Peristiwa Madiun, dimana Pemerintahan Hatta-Sukiman dan bersama dengan Perwira TNI AD di Kementerian Pertahanan menterror/membunuh pada Pejuang, Pendiri dan Pembela RI, karena mereka adalah aktivis dan anggota Partai Komunis Indonesia. Republik Indonesia dengan aksi yang demikian dilemahkan, baiknya Presiden RI. Soekarno masih berada dalam kekuasaan Negara, sebagai Presiden RI., karena Presiden Soekarno mendapat kepercayaan Rakyat Indonesia yang tanpa batas. Selanjutnya, Col.TNI AD Zulkifli Lubis membawa Meriam ke Istana Negara, menodong Presiden Soekarno untuk meletakkan jabatan sebagai Presiden R.I. Usaha coup d'etat Col.Zulkifli Lubis gagal. Justru itu, kaum Kolonial Belanda dengan bantuan antek-antek mereka dalam kekuasaan RI, selanjutnya mengorganisasi DII & TII Kartosuwiryo di Jawa- Barat dan DII & TII Daud Bereuh di Aceh yang berfungsi menterror/membunuh Pimpinan- Pimpinan Serikat Buruh dan Tani di Perkebunan-Perkebunan Teh, Karet,etc., karena kaum Kolonial Belanda masih beranggaban bahwa Perkebunan-Perkebunan tsb. adalah hakmilik mereka. Anehnya, Kementerian Pertahanan dibawah Jendral Nasution dan para Perwira TNI AD takpernah berhasil menangkap Kartosuwiryo atau Daud Bereuh. Selanjutnya, diorganisasi Gerakan Separatisme hampir diseluruh wilayah RI, seperti apa yang dinamakan PRRI, PERMESTA, RMS, dan lain-lain seperti itu, untuk menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibawah Pimpinan Presiden Soekarno. Fungsi utama dari Perwira-Perwira TNI AD pada Gerakan Separatisme tsb. yalah menterror/membunuh Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota PKI, Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota Serikat Buruh, Pimpinan-Pimpinan dan Anggota Barisan Tani Indonesia, Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota Pemuda Rakyat,CGMI, etc. Kita kenal pembunuhan massal terhadap Pimpinan-Pimpinan dan Anggota-Anggota Partai dan Organisasi-Organisasi tersebut diatas seperti di Situjuh-Payakumbuh Sumatra-Barat atas perintah Perwira TNI AD Col.Ahmad Husen, dan yang seperti itu, ratusan banyaknya disepanjang wilayah RI. Mereka tidak memberontak, mereka tidak melakukan Gerakan Separatisme melawan RI., tapi mereka di terror, dibunuh tanpa prozes apapun. Hak Azasi Manusia? Convention Geneva yang mengatur Hak-Hak Asasi? Atau "Bill of Right" dari PBB yang menyatakan, bahwa "dignity of the people is inviolable?". Jendral A.H.Nasution sebagai Perwira TNI didikan kaum Kolonial Belanda di Breda dan para Jendral TNI AD lainnya, tidak pernah mengenal/mendengar mengenai Hak Azasi Manusia. Komando Militer didaerah KODAM menentukan hidup atau mati seseorang warganegara RI, terutama kalau person tsb. angota PKI, maka Hak-Kewarganegaraannya dirampas, diperkosa, ditahan tanpa prozes apapun, atau ditembak mati dan hilang taktentu rimbanya. Col.TNI AD Ahmad Husen, Col.TNI AD Simbolon dan yang lain-lainnya seperti itu, yang memberontak, mengadakan Gerakan Separatisme melawan RI. dianugrahi "Bintang Jasa" - kehidupan mewah dibawah Kementrian Pertahan di Jakarta. Para Gubernur di Provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Komando Militer-KODAMsetempat. Bupati diangkat dan diberhentikan oleh Perwira KODIM, pun Camat dan Lurah ditentukan Komando Distrik Militer setempat. Status ini dinamakan Jendral A.H.Nasution sebagai SOB. Jendral A.H.Nasution harus mempergunakan istilah bahasa Breda ( bahasa VOC). Penunjang kekuatan politik Presiden Soekarno, terutama PKI menjadi lemah, kendatipun demikian Presiden Soekarno, sebagai jawaban RI terhadap subversi asing, terutama subversi Belanda, men-Dekrit-kan penasionalisasian asset asing, terutama Modal Monopol Belanda di Indonesia dan dijadikan hakmilik RI, guna memperkuat Perekonomian Sektor Negara. Dengan mempergunakan SOB (istilah VOC) Jendral A.H.Nasution menempatkan para Jendral TNI AD untuk mengambil Management disemua Perusahaan-Perusahaan, Perkebunan- Perkebunan dan system per-Bank-an, yang telah dijadikan PN-PN Negara RI. Dimulai Business Militer dalam sejarah RI, dan Jendral A.H.Nasution mengeluarkan Doctrin apa yang dinamakan "Dwi Fungsi ABRI", untuk melegalisasi kekuasaan Militer tersebut. Militer bukan lagi Aparat Negara, melainkan Badan Exekutive dalam Tatanegara RI, hanya masih "Dualisme" dengan Presiden Soekarno, dengan Manipol dan USDEK yang ditunjang oleh kekuatan politik NASAKOM, terutama oleh Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia. Untuk merebut seluruh kekuasaan Negara RI, Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya harus menghancurkan NASAKOM, terutama menghancurkan PKI dan kemudian membunuh Presiden Soekarno. Bantuan untuk itu bukan hanya dari Amsterdam-Balanda, tetapi dan terutama dari CIA akan diperoleh oleh Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya, karena Pentagon yang sedang bankrupts/bankrott di Perang Vietnam, membutuhkan "orang Asia untuk membunuh orang Asia di Vietnam" untuk Petagon-USA (Doctrin Nixon). Provokasi dan Provokasi - apakah dikalangan Partai-Partai Politik dalam NASAKOM, ataukah dikalangan ABRI, pun dikalangan Mahasiswa/Pemuda di organisasi oleh CIA bersama dengan para Jendral TNI AD dan puncaknya yang mentukan adalah 30 September'65, ketika konflikt terbuka didalam intern TNI AD, diantara Perwira Tinggi TNI AD/para Jendral dengan Perwira Menengah TNI AD. Para Perwira Menengah seperti nama-nama yang sering disebut, seperti Col.Sabur, Col.Untung, Col.Latief, yang menolak permainan CIA dengan Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya, untuk menjatuhkan Presiden Soekarno-artinya untuk menghancurkan RI-. Para Perwira Menengah tsb. - Col.TNI AD Sabur, Col.TNI AD Untung, Col.TNI AD Latief tidak ada hubungan organik dengan PKI, karena mereka itu bukanlah anggota atau Pimpinan PKI. Kesempatan tsb.diatas diambil oleh Jendral A.H.Nasution dan para Jendral TNI AD lainnya untuk melaksanakan Program Red drive Proposal seperti di Madiun, seperti yang dijalankan oleh DII & TII, seperti yang dilakukan oleh para Perwira TNI AD yang melakukan Gerakan Separatisme PRRI, PERMESTA, etc. Dalam tempo tigabulan pertama para Jendral TNI AD menjagal manusia Warganegara RI. dari Mentri s/d orang awam hampir 750.000 manusia; dan selanjutnya, Pemerintahan Jendral TNI AD Suharto-Golkar dengan nama ORDE-BARU hampir 1,7 juta WarganegaraRepublik Indonesia yang dijagal/dibunuh oleh TNI AD. Presiden Soekarno dibunuh a la Hamlet atau a la Singosari. Dengan demikian Militer (TNI AD)-Jendral Suharto menguasai sepenuhnya Exekutive; KOPKAMTIB sebuah Aparat yang Non-Konstitusionil, menguasai bukan hanya Exekutive untuk memperkuat kekuasaan Militer, tetapi juga menguasai Yudikative - menjatuhkan dan melaksanakan Hukuman atas Warganegara RI yang dituduh PKI atau Soekarnois dan diantaranya Tahanan Politik-Legislative -Para Jendral TNI AD meletakkan seratus orang para Perwira TNI AD dalam MPR. Mereka inilah sesungguhnya yang menguasai kekuasaan Negara RI - Coup d 'etat para Jendral TNI AD berhasil. Dan GOLKAR diperlukan untuk applauds. Amsterdam puas, karena Jendral TNI AD Suharto mengembalikan kepada "Pemiliknya" Perusahaan-Perusahaan dan Perkebunan-Perkebunan, etc. yang dinasionalisasi oleh Pemerintah NASAKOM. Modal Asing bisa beroperasi di Indonesia tanpa pajak, dan Prof.Sadli bangga dengan Konsep Ekonomi-nya. IMF menganugrahi Jendral TNI AD Suharto jutaan US-Dollar. Pentagon gembira, karena Jendral Suharto-Golkar(Orde-Baru) tidak menentang Perang USA di Vietnam. Tetapi Rakyat Indonesia kembali mengalami GLOBALISASI sebelum terminology ini populer di Media seperti sekarang. Dan Globalisasi Ekonomi ini dialami Rakyat Indonesia/Nusantara hampir 350 Tahun, yang dimulai oleh J.P.Coon, disempurnakan oleh Jendral van den Bosch (VOC), dijaga keras oleh Jendral Daendels, dan diteruskan oleh Jendral TNI AD Suharto-Golkar dengan nama ORDE-BARU. Pemerintahan sekarang? ORDE-BARU dalam bentuk yang diselubungi oleh tabir sutra yang tipis. Para Tehnokrat sekarang ini yang berada di Institut-Institut Ilmu Pengetahuan, seperti LIPI atau CSIS, etc. sibuk mengobrol "Apakah Jendral Suharto terlibat dalam melakukan Genoside 30 September'65". Terang-terangan Exekutiv, Yudikative dan Legislative dikuasai oleh para Jendral TNI AD dan masih ingin mengajukan pertanyaan seperti itu, Sebagai Sarjana Tinggi adalah sangat menyedihkan atau usaha untuk mengelabui mata 200 juta Rakyat Indonesia.Penarik Beca dari Tanjungperiok, di Manggarai, s/d Bukitduri,etc. dengan pengalaman pengamatan mereka, mereka mengerti sangat, bahwa Militer, dibawah Komando para Jendral TNI AD melakukan coup d'etat dan untuk itu membunuh ribuan manusia, tetangga dan anggota keluarga mereka. Dalam waktu yang sama, sekarang ini para Sarjana CSIS sibuk mengobrol/Seminar mengenai "Pertahanan Nasional" atau "Keamanan Nasional" atau terminology apalagy, yang seperti itu. Hanya para Tehnokrat tsb. dalam Paper mereka tak pernah menyebut, bahwa masalah Pertahanan Nasional menyangkut erat masalah Perekonomian Nasional/Sektor Negara yang kuat. Doctrin Pertahanan Nasional yang bagaimana yang akan bisa dirumuskan oleh CSIS, kalau Perekonomian Sektor Negara berada ditangan global corporation of multinational company? Kalau TNI AD hanya berfungsi untuk menjagal/membunuh para Patriot, Pendiri, Pembela Republik Indonesia, semenjak RI diproklamasikan? Kalau para Jendral TNI sudah tidak mempunyai harga diri sebagai Bangsa Merdeka,bahwa disaat Senat USA meng-Undang-kan EMBARGO penjualan alat-alat tehnik Militer dan Persenjataan ke Republik Indonesia,Mentri Pertahanan RI memerintahlan untuk melakukan latihan Bersama antara Angkatan Laut RI dengan Angkatan Laut USA beberapa bulan yang lalu di wilayah perairan RI?. Kalau Rakyat Indonesia lapar,sakit,penganggur,etc? Delegasi Kementrian Pertahan RI hari ini membicarakan di Moskow dengan Pemerintahan R.F.Russia mengenai pembelian senjata (kemungkinan utang jangka panjang) seperti beberapa biji Pesawat Tempur SU 27, beberapa biji Helicopter, beberapa biji Peluru-Kendali, beberapa buah Kapal Selam, etc. Andaikan Delegasi tsb. berhasil mencapai persetujuan dengan Utang Jangka Panjang pembelian persenjataan tsb. dengan Pemerintah R.F.Russia, bagaimana Pesawat-Pesawat tsb. bisa terbang tanpa BBM?, karena Minyak telah diberikan oleh Yusuf Kala/Aburizal Bakrie pada "Majikan mereka" Exxon dan Texaco. Justru itu, kalau para Sarjana di CSIS ingin merumuskan Doctrin Pertahan Nasional, pertamatama harus menasionalisasi Asset Asing/Kapitalmonopol Asing di Indonesia, terutama yang mempromosi dan membantu Gerakan Separatisme melawan RI dan re-nasionalisasi BUMNBUMN yang di-divertasi dan membantu perkembangan Industri Nasional untuk memperkuat Perekonomian Sektor Negara, seperti yang diajukan oleh Program Tuntutan ALIANSI PERJUANGAN RAKYAT. 60 Tahun Sejarah Kemerdekaan RI, tapi Rakyat Indonesia belum mengenal apa itu Hak Azasi Manusia dan Yusril Ihza Mahendra yang memegang Mentri Kehakiman dan Hak-Hak Manusia dalam dua pemerintahan berusaha menutupi kejahatan genoside Jendral TNI AD Suharto-Golkar. Rakyat Indonesia belum pernah menghirup udara Demokrasi, karena Rakyat Indonesia hanya mengenal SOB dan sepertinya. Rakyat Indonesia tidak mengenal apa itu Kesejahteraan Sosial, hanya mengenal miskin, lapar, sakit busunglapar, ditindas dan dihina oleh penguasa. Justru itu, pemutarbalikkan sejarah Rakyat Indonesia, takkan membawa akhir yang baik, karena lambat atau cepat Rakyat Indonesia akan meluruskan sejarahnya sendiri. = Perdura lo que un pueblo defiende = Segala perkembangan ditentu oleh Rakyat, seruan Angkatan Bersenjata Venezuela. Dr.rer.pol.A.Tchaniago Alamat Penulis: Dr.rer.pol.A.Tchaniago Joseph-Oertgen-Weg 37 45327 Essen - Germany Phone : 0201/46 90 486 Mobil : 0177/62 45 486 E-Mail : sallysalido@hotmail.de. Date: 2005/10/11 Section: Politik The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=49 Apa Sebab Bung Karno Bisa Digulingkan Diterbitkan oleh Jurnal Solidaritas (SKP HAM ) Dipresentasikan dalam Seminar SKP-HAM di Balairung Universitas Negeri Manado (UNISMA) Tondano Kata Pengantar : Apa yang diuraikan dalam brosur ini hasil investigasi penulisnya sebagai wartawan, anggota DPA & anggota MPRS, pada saat saat G30S sedang direncanakan, yang kemudian diuji kebenarannya dengan pertemuannya dengan pihak pihak yang terlibat dalam gerakan itu, mulai dari Letnan Kolonel Untung Samsuri , komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang menjadi komandan gerakan , serta perwira perwira pendukungnya seperti Kolonel A. Latief., Komandan Brigade Infanteri I Kodam V Jaya , Mayor Bambang Soepeno. Komadan Batalion 450 / Brawijaya dari Madiun dan Kapten Kuncoro ,Kepala Staf Batalion 454/Diponegoro dari Semarang, yang didatangkan oleh Panglima Kostradi Mayjen Soeharto ke Jakarta untuk mendukung gerakan. Demikian pula pembicaraannya dengan Nyono orang pertama PKI untuk DKI Jakarta dan Sekitarnya yang menjadi komandan kekuatan PKI mendukung gerakan. Juga pembicaraannya dengan Ketua Umum PKI D.N. Aidit menjelang meletusnya G-30-S. Masih dilengkapi lagi pembicaraannya dengan semua Komandan Regu yang ditugasi menculik para Jendral ketika bertahun tahun kumpul bersama dalam tahanan. Pembicaraan penulisnya dengan DR. Soebandrio setelah dia bebas dari tahanan, yang mengakui menjadi bagian dari G-30-S , memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai gerakan yang akhirnya menggulingkan Bung Karno dari posisinya sebagai Kepala Negara dan dari semua jabatan kenegaraan yang melekat pada dirinya. Dan semuanya menjadi lebih gamblang setelah terbitnya "The Foreign Relation of The United States" yang menjelaskan bagaimana CIA (AS.) dan MI 6 (Inggris) menggulingkan Bung Karno. Mudah- mudahan kehadiran brosur ini bisa memberikan manfaat bagi para pembaca. AMIN..! Pemimpin Umum Jurnal Solidaritas Freddy Sutedi Jakarta , 21 Mei 2003. APA SEBAB BUNG KARNO BISA DIGULINGKAN ? Oleh : A. Karim DP Ada sebuah pertanyaan yang pernah ditujukan kepada saya, sebuah pertanyaan yang amat berat, tapi sekaligus juga pertanyaan yang cerdas : "Apa sebab Bung Karno bisa di gulingkan", maksudnya setelah meletus G30S. Belanda yang berpengalaman 350 tahun menjajah Indonesia dan menindas rakyat Indonesia habis-habisan, tidak mampu menundukkan Bung Karno yang menuntut Indonesia merdeka sekarang juga. Lima tahun perang kemerdekaan, dimana Belanda sudah berhasil menangkap Bung Karno, perlawanannya tidak dapat dipatahkan. Akhirnya dunia menjadi saksi, pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana DE DAM Amsterdam, Ratu Belanda Juliana harus menyerahkan kedaulatannya atas Hindia Belanda kepada Indonesia di depan mata dunia, sambil meneteskan air mata. Tapi mengapa pada tahun 1967 Bung Karno melepaskan kekuasaannya direbut Jendral Soeharto ? Ini bertentangan dengan ajaran Bung Karno sendiri untuk jangan sekali-kali menyerahkan kekuasaan yang ada di tangan dengan sukarela kepada musuh. Apakah Bung Karno sudah sangat lemah semangat juangnya, sehingga tidak ada alternatif lain kecuali menyerah ? Orang awam bisa menjawab, Bung karno bisa digulingkan karena memang dia mau di gulingkan tapi tentunya tidak sesederhana itu. Roeslan Abdulgani mengatakan bahwa Bung Karno menyatakan kepadanya begini : "Cak Roes ! saya sadar bahwa saya mau tenggelam. Biarkanlah saya tenggelam asal rakyat Indonesia tetap bersatu". Saya tidak mendengar langsung Bung Karno berkata begitu, karena saya sudah ditahan. Tapi kalau Bung Karno bersikap seperti apa yang di katakan oleh Pak Roeslan, perlu diteliti apa sebabnya. Karena hati kecil kita akan mengatakan bahwa sikap itu tidak sesuai dengan karakter Bung Karno yang kita kenal, yaitu tidak mudah menyerah. Apa lagi kepada Jendral Soeharto hanya orang bawahannya. Namun itulah yang terjadi Mengapa ? Pada hari Maritim 1967, Bung Karno diundang oleh Markas Besar Angkatan Laut untuk memberikan amanat langsung pada peringatan itu di Surabaya. Yang datang menghadap Bung Karno menyampaikan undangan dua orang Laksamana Madya yaitu Jatidjan waktu itu menjabat Mentri Maritim dan Mursalim D.M. Menko Wakil Ketua DPR-GR. Bung Karno menolak. Alasannya, kalau ia ke Surabaya, kemungkinan besar akan timbul kesulitan dengan kemungkinan tidak bisa kembali ke Jakarta, karena rakyat Jawa Timur memang menghendaki komando perlawanan. Saya pernah membaca salah satu tulisan Jenderal A.H. Nasution, katanya di malang sudah disediakan 6 perumahan untuk ditempati Bung Karno dan keluarganya. Agaknya Bung Karno memperhitungkan, kalau ia berada di Surabaya, kemungkinan besar perang saudara tidak dapat di hindari. Jawa Timur dengan bantuan Jawa Tengah akan menyerang kekuatan Soeharto. Ini tidak di inginkan oleh Bung Karno. "Biarkan saya tenggelam asal rakyat Indonesia tidak pecah, tetap bersatu" demikian Bung Karno. Siapa yang menang jika pecah perang saudara, tidak ada kalkulator yang bisa menghitungnya. Sungguh malang nasib Bung Karno, karena Jenderal Soeharto kemudian memerintahkan kepadanya supaya meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Bung Karno beserta semua anak-anaknya pergi dari Istana dengan pakaian kaos oblong dan celana piyama beralaskan kaki dengan sendal, menumpang mobil volkswagen kodok satu-satunya mobil milik pribadinya yang dihadiahkan oleh piola kepadanya, pergi kewisma yaso, dimana kemudian menjadi tempat tahanannya sampai wafat. Semua kekayaannya, di tinggalkan di Istana, tidak sepotongpun yang di bawa pergi kecuali bendera pusaka Merah Putih yang di bungkusnya dengan kertas koran. Anak-anaknya pun tidak boleh membawa apa-apa, kecuali pakaian sendiri, buku buku pelajaran sekolah dan perhiasannya sendiri. Selebihnya ditinggalkan semua di Istana dan sampai sekarang tidak kedengaran bagaimana nasib barangbarang itu. Megawati yang sekarang Presiden kita, sepertinya melupakan begitu saja TAP MPRS No. XXXIII/1967yang menggulingkan Bung Karno, yang juga menugaskan kepada Jenderal Soeharto waktu itu Pejabat Presiden, untuk menyelesaikan persoalan hukum menyangkut Dr.Ir.Soekarno, yang tidak pernah di laksanakan sampai Bung Karno wafat sebagai Tahanan G30S. Selama Bung Karno di tahan di Wisma Yaso, diperlakukan sangat tidak manusiawi. Bung Hatta menceritakan bagaimana permintaan Bung Karno kepada Soeharto untuk sekedar mengizinkan mendatangkan seorang dukun pijet ahli langganan Bung Karno dan juga langganan Bung Hatta, di tolaknya. Bung Karno mengharapkan dengan bantuan pijatan dukun ahli itu, penderitaannya akan berkurang. Itulah kemudian yang mendorong Bung Hatta menulis surat kepada Bung Soeharto yang mengecam tidak manusiawinya sikap itu, pada tanggal 15 Juli 1970. Bahkan sebelumnya, Bung Hatta sudah minta kepada Soeharto lewat Durmawel, SH, penuntut umum perkara Dr. Soebandrio, supaya Soeharto sesudah 3 tahun lebih mengusut perkara Bung Karno, segera mengajukannya kepengadilan untuk memastikan apakah Bung Karno bersalah atau tidak. Sebab jika Bung Karno meninggal dalam statusnya sebagai tahanan politik karena tidak di adili, maka rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang percaya bahwa Bung Karno tidak bersalah, akan menuduh pemerintahan Soeharto sengaja membunuhnya, kata Bung Hatta. (Baca : Deliar Noer, Mohammad Hatta Biografi Politik). Dan memang itulah yang terjadi, Soeharto tentu di tuduh sengaja membunuh Bung Karno. Bung Karno menderita penyakit gagal ginjal, dimana kedua ginjalnya tidak berfungsi lagi dengan baik, tapi saya kira tidak di berikan pengobatan cuci darah, sehingga nampak wajahnya bengkak-bengkak, menyebabkan jiwanya tidak tertolong lagi. Seumpama penyiksaan Soeharto terhadap Bung Karno yang begitu tidak manusiawinya di lupakan oleh Mega dan memaafkannya seperti yang di tuntut oleh pendukung Soeharto, dengan alasan bahwa Soeharto sekarang menurut pengakuan para dokternya sudah menderita sakit di otak yang tidak bisa di sembuhkan lagi, betul-betul sangat mulia budi Mega yang tidak bisa dicarikan bandingannya. Karena Tuhan sendiripun tidak bisa mengampuni dosa seorang hambanya, sebelum yang bersangkutan bertobat dan meminta maaf kepada pihak yang di cederai, dan memaafkannya. MAHA KARYA PARA PENDONGKEL Apa yang saya uraikan di atas merupakan maha karya dan prestasi agung dari para pendongkel Bung Karno, yang di pelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda/Pelajar (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) dan berbagai kesatuan aksi lainnya lengkap dengan laskar-laskarnya dan backing ABRI, yang terus-menerus lakukan demonstrasi sambil menghujat Bung Karno, dengan mendapat ransum tiap hari 5000 (lima ribu) nasi bungkus lengkap dengan lauk-pauknya, dari Kedutaan Besar Amerika yang mengalokasikan dana satu juta US $, di tukar dengan rupiah di pasar gelap. Demikian di sinyalir oleh Bung Karno. Disamping itu juga DPR-GR dan MPRS yang susunan keanggotaanya sudah direvisi oleh Soeharto, serta berbagai partai politik yang cepat berbalik menjadi anti Soekarno, semuanya serentak bergerak mensukseskan maha karya dan program agung untuk menggulingkan Soekarno, serta menghujatnya habis-habisan, untuk menaikkan Soeharto yang mereka nilai sebagai "Pahlawan dan Pemimpin Besar" yang baru muncul. Partai Nasional Indonesia (PNI)partai yang didirikan oleh Bung Karno pada tahun 1927 dan terus menerus mendukungnya, tiba-tiba dalam kongresnya di Bandung 28 April 1966, seperti Yudas mengkhianati Yesus, menyatakan mengingkari kepemimpinan Bung Karno .Bahkan dalam pernyataan Kebulatan Tekad , partai itu menyatakan tidak menghendaki lagi kembalinya Bung Karno dalam kepemimpinan Nasional dan Negara. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tadinya berdiri paling depan mendukung Bung Karno , kini jangankan membela, menyelamatkan dirinya saja tidak mampu karena garisnya yang mempertahankan legalitas dan kader kadernya disuruh mendaftarkan diri di Front Nasional, langsung ditangkap atau dibunuh. PKI sendiri yang karena sejak awal sudah terlibat dalam gerakan, untuk menutupi keterlibatannya , partai ini menempuh jalan mempertahankan legalitas yang berakibat fatal. Banyak kader PKI yang tidak tahan uji, menerima "jabatan" menjadi interrogator dari penguasa dan membuka isi perut partainya kepada musuhnya Sesudah Soeharto berhasil didudukkan di singgasana kekuasaan, ia segera ditopang bukan saja oleh ABRI, tetapi secara politik oleh GOLKAR yang tidak lain dari partai politiknya Soeharto, yang selama 30 tahun di desain terus menerus menang mutlak dalam Pemilihan Umum dan terus menerus juga memilih kembali Soeharto sebagai presiden. Soeharto duduk disinggasana kepresidenan selama 30 tahun, sedang Bung Karno yang memproklamasikan kemerdekaan hanya sempat berkuasa 20 tahun. G30S yang disebut oleh Bung Karno sebagai GESTOK (Gerakan 1 Oktober)yang langsung dipimpin oleh Soeharto , memang dialah arsiteknya, Dr Soebandrio yang waktu itu Wakil Perdana Menteri 1 , Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Intelijen (BPI) menambahkan bahwa prestasi gemilang Soeharto tidak terlepas dari dukungan Amerika Serikat , yang memang sudah lama berusaha menggulingkan Bung Karno dan sekaligus menghancurkan PKI , seperti yang terungkap dalam buku "Foreign Relations of the United States" yang diterbitkan dan dicetak oleh percetakan Negara AS, tapi yang ditarik kembali oleh Departemen Luar Negeri dari peredaran , karena isinya masih harus dirahasiakan . Tetapi sudah banyak yang lolos ke luar negeri , dan saya menerima copynya dari sahabat saya di Australia, Prof. Dr. Angus Mc Intyre. Pembuktian lain bahwa Soeharto adalah sang arsitek , menurut pengakuan Untung , 3 minggu sebelum M meletusnya G30S , ia dan Kol. Latief , masing masing sebagai Komandan Batalion 1 Tjakrabirawa dan Komandan Brigade Infanteri 1 Kodam V Jaya , sudah merundingkan dengan Soeharto langkah-langkah yang perlu diambil. Untung dan Latief kedua-duanya bekas anak buah Soeharto , dan persahabatan mereka terus berkelanjutan . Kunjungan Latief ke RSPAD "Gatot Subroto" pada malam gerakan akan dilancarkan 4 jam kemudian, menemui Soeharto sedang menemani isterinya menunggui anak bungsu mereka Tommy yang sedang dirawat di sana karena kena guyur sup mendidih , anak kesayangannya yang diyakini membawa rezeki , adalah kontak terakhir pelaksana gerakan, untuk melaporkan bahwa gerakan segera dilaksanakan (4 jam kemudian) , yang diterimanya dengan penuh keseriusan. Belakangan Kolonel Latief mengakui dalam bukunya edisi ke II bahwa laporan yang sama disampaikan juga kepada Panglima Kodam V Jaya, Umar Wirahadikusuma. Jadi, kedatangan Latief ke RSPAD "Gatot Subroto" pada tanggal 30 September 1965 pukul 11.00 malam , samasekali bukan untuk membunuh Soeharto seperti yang pernah dikatakannya kepada seorang wartawan Jerman , tapi untuk menerima laporan akhir mengenai gerakan. Menurut seorang saksi, segera sesudah itu, Soeharto berangkat ke KOSTRAD untuk konsolidasi pasukan dan keliling kota melihat-lihat keadaan , lewat di depan RRI, kantor Telkom dan TVRI. Rencana ini diperhitungkan dengan cermat untuk menjamin kesuksesannya, dengan seminggu sebelum pelaksanaan, Soeharto sebagai Panglima KOSTRAD mendatangkan 3 (tiga) Batalion pasukan tempur berpengalaman , masing masing dari Semarang , Madiun dan Bandung yang berada dibawah komando KOSTRAD . Kapten Kuncoro, kepala staf Batalion 454/Diponegoro yang ditahan satu sel dengan saya di blok isolasi Blok N penjara Salemba (Jakarta), menceritakan bahwa ketika batalyonnya tiba di Jakarta menumpang serentetan kereta api panjang memuat prajurit, kendaraan, senjata ringan dan berat serta peluru yang cukup untuk pertempuran 10 hari sebagaimana diinstruksikan, Soeharto datang mengucapkan "selamat datang" dan meng-inspeksi pasukan serta perlengkapan-perlengkapannya. Kendaraan yang sudah tua diganti dengan yang baru, begitu juga senjata-senjatanya. Semua tidak ada yang dilaporkan oleh Soeharto kepada atasannya, padahal persiapan gerakan ini beresiko tinggi, sehingga tidak ada secuilpun tindakan untuk mencegah di bunuhnya 6 Jenderal teras Angkatan Darat yang diculik oleh gerakan militer yang sudah dipersiapkan dengan baik. Ternyata Jenderalyang diculik lalu dibunuh itu, adalah musuh-musuhnya Soeharto, demikian diterangkan oleh Dr. Soebandrio. Banyak keterangan yang bisa saya gali dari kapten Koencoro, Kepal Staf Batalyon 454/Diponegoro, Mayor Bambang Soepeno, Komandan Batalyon 530/Brawijaya dan Kapten Soeradi, Kepala Seksi I-nya Kol. Latief,ketika saya berkumpul dengan mereka satu sel dalam tahanan isolasi di Blok N penjara Salemba, yang tidak mungkin saya ceritakan semua disini karena memerlukan waktu panjang, namun semuanya memperjelas keterlibatan Soeharto dalam G30S. Di penjara Salemba saya pernah bertanya kepada M. Naibaho, staf Agitprop PKI dan pemimpin redaksi "Harian Rakyat" organ resmi PKI : "Mengapa PKI mendukung G30S ?", padahal gerakan itu kalah ? jawabnya : Karena waktu itu PKI berpendapat, minimal dengan kehadiran 2 Batalyon tentara dari Semarang dan Madiun yang katanya progressif atas perintah Soeharto, adalah kesempatan yang tidak akan berulang lagi. Oleh karenanya, gerakan di dukung untuk menghacurkan kekuatan di AD yang anti PKI dan anti Kabinet NASAKOM. Tapi ada alasan lain yang layak dipertimbangkan, karena bersumber dari orang pertama PKI, yaitu DN. Aidit. Kebetulan Aidit yang ikut dalam delegasi Indonesia ke Konperensi Asia-Afrika II di Aljazair dibawah pimpinan Presiden Soekarno (yang gagal), berangkat dari Jakarta 23 Juni 1965 dan berhenti sampai Kairo, tidak melanjutkan ke Aljir. Hari itu gedung Konperensi di ledakan dengan bom, yang tidak di ketahui siapa pelakunya. Aljazair sendiri sendiri sedang dalam kondisi politik yang tidak stabil, karena tiba-tiba saja menjelang penyelenggaraann KAA-II, Presiden Ben Bella di-coup oleh Kolonel Houari Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair pada tgl. 19 April 1965. Ben Bella dituduh bertindak sewenang-wenang selama masa kekuasaannya yang 641 hari, mau kuasa sendiri, seorang diktator yang meninggalkan dasar musyawarah. Saya sendiri ikut dalam rombongan ini sebagai wartawan. Dari Kairo, Bung Karno pergi ke Paris dan mengumpulkan para Duta Besar kita yang ada di AS dan Eropa, untuk mendapatkan briefing mengenai kegagalan KAA-II dan sekaligus menguraikan persiapan Conference of the New Emerging Forces (CENEFO) yang akan diselenggarakan di Jakarta. Di Paris Aidit berjumpa dengan6 tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri dari negrinya, karena takut di tangkap oleh Boumedienne. Kata Aidit kepada saya, justru dia minta kepada mereka supaya segera kembalike Aljazair dan memobilisasi massa rakyat untuk mendukung Boumedienne ,karena di nilainya, berbeda dengan coup d'etat yang bisa dikenal, coup Boumedienne ini berwatak progressif. Aidit yang saya interview sesudah pertemuannya dengan kamerad kameradnya dari Aljazair dan tokoh-tokoh Partai Komunis Perancis, mengatakan pendapatnya bahwa coup seperti yang di lancarkan oleh Boumedienne, apabila di dukung 30 Pct rakyat, bisa bermutasi menjadi revolusi. Ia berjanji akan menjelaskan kepada saya teorinya itu di tanah air. Waktu itu ia tergesa-gesa mengejar pesawat terbang yang hendak berangkat ke Moskowdan memisahkan diri dari rombongan Bung Karno, dengan membawa teorinya itu, mungkin hendak di terapkan di Indonesia. Sayangnya sejak itu, saya tidak pernah lagi bertemu dia sampai ia dieksekusi atas perintah Soeharto. Mungkin teori inilah yang diterapkannya di Indonesia, karena dalam sidang Dewan Harian Politbiro PKI tanggal 28 September 1965, di putuskan mendukung gerakan perwira muda yang tergabung dalam G30S yang bertujuan hendak mematahkan gerakan para Jenderal yang beroposisi terhadap Bung Karno dan hendak merevisi ajaran-ajarannya, dan sekaligus menghendaki terbentuknya Kabinet baru dengan intinya para Jenderal. Tpi ketika saya berjumpa dengan Ismail Bakri, Sekretaris CDB PKI Jawa Barat di Bandung, ketika kami sudah sama-sama bebas, ia mengaku ikut hadir dalam sidang Dewan Harian Politbiro yang dimaksud, dan menyatakan tidak mendukung putusan itu. Ia mengeluarkan statement yang menolak ke-ikut sertaan PKI mendukung G30S. NASIB SIAL UNTUNG. Nasib sial menimpa Let. Kol.Untung, meski pun ia sudah membantu Soeharto. Dr. Soebandrio mengatakan kepada saya, Soeharto memutuskan Untung harus di bunuh sesuai petunjuk dukunnya, karena inilah syarat untuk kejayaan Soeharto. Sebetulnya, kata Soebandrio, ia sendiri juga akan di eksekusi 4 hari sesudah untung, tapi oleh suatu keajaiban mendadak DIBATALKAN. Untung sempat mengucapkan "selamat tinggal sampai bertemu di sana", sambil menunjuk kelangit, kepada Dr. Soebandrio. Soebandrio menceritakan dalam bukunya "Kesaksianku tentang G30S", ini saya mengulangi saja karena mungkin saudara-saudara sudah membaca bukunya -, suatu hari diakhir 1966, Untung di jemput dari selnya di penjara Cimahi oleh beberapa sipir penjara. Diberitahukan bahwa ia akan di eksekusi. Itulah saat-saat terakhir Untung menjalani hidupnya. Kata Dr. Soebandrio lagi : Saya dan Untung yang sudah akrab selama berada dalam satu penjara di Cimahi, benar-benar hanyut dalam suasana haru. Saya bukan saja terharu, tapi juga panik, sebab Ahmad Durmawel, SH, oditur militer yang mengadili saya, saat itu memberitahukan bahwa saya akan mendapatkan giliran 4 hari kemudian. Saya ingat saat itu hari selasa, berarti saya akan di eksekusi pada hari sabtu. Sebelum Untung di jemput untuk dibawa ke luar penjara, saya sempat menemuinya. Saat itu ia sudah ditanya tentang permintaan terakhir seperti lazimnya bagi orang yang akan di eksekusi. Mungkin karena Untung panik, ia tidak minta apa-apa. Untung juga sudah tahu bahwa saya akan dieksekusi hari sabtu. Maka pertemuan saya dengan Untung benar-benar luar biasa. Kami memang hanya berhadap-hadapan dengan pakaian seragam narapidana, namun hati kami tidak keruan. Untung segera akan ditembak, sedangkan saya saya 4 hari lagi. Saat itu ada kalimat perpisahan dari Untung yang saya ingat sampai sekarang. Bahkan saya ingat suasana hening saat itu, ketika Untung menyampaikan kata-kata perpisahannya kepada saya. Para sipir dan tentara berwajah angker lengkap dengan senjata mautnya, dalam sikap siaga mengawal Untung dan mengawasi saya dari jarak yang agak jauh. Mereka seperti maklum dan memberikan kesempatan terakhir kepada Untung untuk berpesan kepada saya, kata Soebandrio. Untung mangatakan demikian : "Pak Ban , selamat tinggal, jangan sedih, empat hari lagi kita bertemu di sana", sambil menunjuk kelangit. Untung mengucapkan kata perpisahannya dengan suara bergetar. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Perwira yang gagah berani itu, pahlawan pembebasan Irian Barat yang di terjunkan dari udara, tidak menangis, tapi saya lihat dia dalam kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak menyangka akan di khianati oleh Soeharto. Jika menengok hari-hari sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya, bahwa tidak mungkin Soeharto akan mengkhianatinya. Sebab ia adalah sahabat Soeharto dan ia mengulangi lagi bahwa Soeharto sangat mengetahui rencana G30S, bahkan memberikan bantuan pasukan. Karena itu ia sangat yakin tidak akan di khianati oleh Soeharto. Tapi toch kenyataannya berakhir demikian. Menanggapi keyakinan Untung, saya tidak bisa bicara apaapa. Saya hanya mengangguk-angguk. Para sipir dan tentara yang mengawal kami, menyaksikan semua adegan singkat tapi mengharukan ini. Menjelang senja, dengan pengawasan ekstra ketat, Untung berjalan menuju pintu gerbang untuk meninggalkan penjara Cimahi. Saya mengamatinya dari penjara dan ia tampak berjalan tegap. Mungkin ia sudah bisa menguasai perasaannya. Saya kemudian mendengar bahwa Untung di eksekusi di sebuah desa di luar kota Bandung. Saya tidak sempat lagi sedih memikirkan nasib Untung. Hidup saya sendiri akan berakhir sebentar lagi. Terus terang, setelah Untung di eksekusi, saya benar-benar gelisah. Manusia mana yang tidak takut jika hari kematiannya sudah di tentukan. Tapi - inilah keajaiban -, Presiden AS, Lyndon B. Johnson dan Ratu Kerajaan Inggris Elizabeth, diluar pengetahuan saya mengirimkan surat kawat kepada Soeharto. Saya mengetahui ini dari seorang sumber beberapa hari kemudian. Isi surat kawat dari kedua Kepala Negara itu ini juga ajaib -, hampir sama intinya berbunyi demikian : "Soebandrio jangan di tembak. Saya tahu, dalam G30S dia tidak terlibat". Itulah pengakuan Dr.Soebandrio sendiri. Tentu saja pernyataan Presiden Jhonson dan Ratu Elizabet yang sama itu kembali menjadi keajaiban besar, karena Soebandrio sendiri mengatakan dalam bukunya "Kesaksianku tentang G30S" bahwa ia bukan sekedar bagian dari sejarah G30S, melainkan pelaku sejarah itu sendiri. Biarlah sejarah mencatat siapa yang jujur dan siapa yang bohong. Saya hanya ingin menambahkan nasib Bung Karno, yang juga sangat berjasa kepada Soeharto, karena mengangkatnya menjadi Jenderal setelah menyelamatkannya dari pengadilan militer karena perbuatan korupsinya sewaktu menjabat Panglima Diponegoro, dengan mengganjarnya dengan hanya di suruh belajar di Seskoad, yang justru ijazahnya di jadikan modal untuk menggulingkan Bung Karno dan menyiksanya . Saya mendengar sepenggal cerita dari orang yang mengakui ikut memperhatikan dan mendengar dialog saat-saat Bung Karno COMA. Sebentar-bentar telepon berdering, kira kira menanyakan bagaimana kondisi Bung Karno. "Belum", di jawab dari telepon jaga di RSPAD Gatot Subroto. Akhirnya cairan dari tabung infuse tidak menetes lagi, tanda jantung tidak lagi berfungsi, telepon yang terus berdering di jawab .." sudah selesai !". Inna lillahi wa-inna ilaihi rojiun ! Bung Karno pergi dengan meninggalkan warisan besar kepada Soeharto berupa pangkat Jenderal setelah menyelamatkannya dari pengadilan militer karena korupsinya, kemudian Soeharto mengkhianatinya. Soedisman, Sekjen CC PKI, telah mengeluarkan buku KRITIK DAN OTOKRITIK saya kira saudara saudara sudah membacanya yang secara tidak langsung mengakui keterlibatan PKI dalam G30S. Pada awal tadi sudah saya katakan bahwa Panitia Seminar minta kepada saya untuk menjawab pertanyaan yang amat berat : "Apa sebab Bung Karno bisa di gulingkan ?". Kalau saudara-saudara sudah membaca buku "Foreign Relations of the United States" yang mengenai Indonesia saja 800 halaman, menunjukkan betapa pentingnya Indonesia di mata Amerika akan menemukan jawaban pertanyaan diatas .Dokumen itu mengungkapkan upaya Smerika hendak menjatuhkan Bung Karno dan menghancurkan PKI, upaya mana berhasil. Katakanlah upaya itu adalah faktor external, yang seharusnya tidak menentukan jika tidak mendapat dukungan dari faktor internal yang kuat. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa tergulingnya Bung Karno yang berawal dari terjadinya malapetaka G30S, sesuai dengan kesimpulan Bung Karno sendiri, ialah karena adanya 3 faktor sebagai berikut : 1. Lihaynya Nekolim. 2. Keblingernya pemimpin pemimpin PKI. 3. Adanya ke-tidak-beresan dalam tubuh aparat kita sendiri. Sesungguhnya rumusan Bung Karno itu diperluas olehnya. Rumusan yang pas dan sesuai dengan kenyataannya, ketiga faktor yang menyebabkan terjadinya G30S ialah : 1. Adanya intervensi Nekolim di Indonesia (AS dan Inggris) yang diikuti dengan persiapan melakukan invasi (menyerbu) ke Indonesia meskipun dikatakan secara terbatas. 2. Keblinger-keblingernya pemimpin PKI yang tadinya merupakan kekuatan besar pendukung Bung Karno, karena mengharapkan kekepentingan politik yang lebih besar dari kemungkinan menangnya gerakan tersebut. Ini di buktikan dengan di bentuknya Dewan militer oleh PKI menjelang gerakan di mulai, dan semua rapat persiapan G30S dari perwira perwira muda, di pimpin oleh Syam (Kamaruzzaman), Ketua Biro Ketentaraan (Biro khusus menurut istilah Orde Baru). 3. Adanya oposisi yang kuat dalam jajaran kekuasaan Bung Karno sendiri, terutama dari Angkatan Darat dan partai-partai politik yang tadinya pura-pura mendukung Bung Karno sebelum G30S. Sebagai ganti Nasakom, mereka memperkenalkan istilah baru : "Soekarnoisme" yang di tolak oleh Bung Karno, karena tafsirannya sesuai selera mereka sendiri, yang di populerkan oleh "Badan Pendukung Soekarnoisme" (BPS) dan mendapat dukungan dari Angkatan Darat dan CIA. Uraiannya ada dalam buku "Foreign Relatio of the United States". Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Bung Karno dan teman-temannya pada tahun 1927, dan terus menerus mendukung politik Bung Karno, dalam kongresnya di Bandung 28 April 1966, Sudah mengingkari kepemimpinan Bung Karno. Bahkan dalam "Pernyataan Kebulatan Tekad" 21 Desmber 1967, PNI mengatakan tidak menghendaki lagi kembalinya Bung Karno dalam kepemimpinan Negara dan Pemerintahan. Juga PKI yang tadinya mendukung Bung Karno, jangankan membela, untuk menyelamatkan dirinya sendiri saja sudah kerepotan. Walhasil Bung Karno sudah dikepung dari segala penjuru, sehingga tidak mungkin lagi meloloskan diri, apalagi ia sendiri menolak memberikan komando perlawanan, meskipun pendukungnya sampai 1966 masih sangat optimis menang, jika Bung Karno mau saja memberikan komando perlawanan. Soeharto sejak awal sudah mengatakan bahwa yang mendalangi G30S ialah PKI. Dr. Soebandrio yang memegang jabatan strategis pada saat itu, yaitu sebagai Wakil Perdana Menteri I Menteri luar Negeri dan Kepala Badan Pusat Inteligent (BPI), mengatakan justru G30S di siapkan oleh Soeharto sejak awal sampai pelaksanaan dan selesainya. Dr. Soebandrio tidak percaya kalau PKI di sebut dalangnya, sebab kalau PKI yng mempunyai anggota 3 juta dan pendukung aktif 17 juta yang mendalanginya, akan terjadi banjir darah yang luar biasa hebatnya. PKI dalam kesibukannya membantah ke-tidak terlibatan, di mentahkan oleh pengakuan pengakuan yang di berikan oleh Nyono, anggota politbiro dimuka sidang MAHMILLUB, dengan mengakui keterlibatan PKI setelah di giring oleh ketua Mahkamah dan Oditur dengan pertanyaan pertanyaan yang diajukan dimuka sidang. Pengakuan-pengakuan yang lebih jelas, bisa dibaca dalam buku tentang hasil-hasil persidangan MAHMILLUB dalam penyelesaian perkara G30S, yang diterbitkan oleh Pusat Pendidikan Kehakiman Angakatan Darat. Disamping itu, masih ada lagi surat DN Aidit selaku Ketua Central Comite PKI tertanggal 10 November 1965 (sebelum ia di tangkap), di tujukan kepada seluruh CDB PKI se-Indonesia terdiri 11 point (di sita dari seorang kader PKI di Jawa Tengah), beberapa yang pokok saya kutipkan di bawah ini : 1. Akibat gerakan 30 September yang seharusnya adalah 100 pct. Soal Angkatan Darat, telah mendatangkan malapetaka besar pada PKI, walaupun semua soal ini dalam diskusi dan instruksi-instruksi yang lalu, telah kami perhitungkan, namun jelas semua tindakan kaum reaksioner khususnya Dewan Jendral, dapat mengecilkan anggota partai yang masih belum berpengalaman. 2. Dalam menanggulangi hal-hal ini memang dalam praktek tidak semua persiapan perkiraan yang lalu, sesuai dengan kenyataanyang telah kita pikirkan, baik dari partai-partai sekawan, mau pun dari Sosro (maksudnya:Bung Karno)dan Tjeweng (maksudnya: Dr. Soebandrio), jelas tidak membuktikan kesetia-kawanan, apa lagi memenuhi janji yang telah di ucapkan. 3. Karena itu sekali lagi CC partai perlu menandaskan, semua ini walau tinggal satu orang partai duduk, akan tetap berjuang; apa yang sekarang terjadi adalah sebagai jenderal repetisi, tapi bila ucapan politik Sosro dapat di terima Dewan Jenderal, bahwa gerakan 30 September adalah "een rimpel in't grote oceaan", atau soal kecil, ini untuk kita sagat menolong, berarti dor-doran dan jor-joran yang sekrang di hadapkan Dewan Jenderal terhadap partai dan oknumoknum kita dapat terhenti,sehingga kita dapat berkonsolidasi kembali. 4. Sebagai Instruksi yang lalu dan salinan surat kami pada Sosro yang kami sampaikan kepada CDB di Jawa, walaupun sekaligus belum tercapai, CC partai yakin usaha-usaha Sosro dan Tjeweng sedang mengarahkan kepada soal-soal yang kami usulkan pada tanggal 6 Oktober yang lalu, tapi kami lebih yakin bahwa bila Sosro hingga kini belum secara tegas berbuat, tak lain karena dia tidak begitu saja dapat melangkahi Dewan Jenderal yang ada di depan hidungnya. 5. Sosro telah menyetujui untuk sementara saya menyingkir ke tetangga, sebenarnya aslkan saya bertemu ombak, berarti tercapailah penyingkiran itu, juga pihak Gatotkotjo (AURI) telah menyanggupi mengirim belalang (pesawat terbang) untuk membawa kalau melangkahi daerah Dewan Jenderal. Bila ini berhasil, berarti jaminan bagi perjuangan jangka panjang telah ada, sebab dari san semua persetujuan Sosro dengan tetangga akan di gugat terus. Jelasnya dalam memperjuangkan konsep Partai kita, tidak perduli akan korban, bila perlu Sosro jadi korban, bila dia tidak memenuhi semua perjanjian. Point-point selanjutnya lebih memberikan semangat supaya meneruskan perjuangan , sambil mengingatkan (point 9) bahwa Sosro dan Tjeweng tidak akan berkhianat, maka dari negara tetangga perjanjian perjanjian yang telah kami sampaikan secara / R (rahasia) pada bulan Agustus yang lalu terpaksa di umumkan dan ini berarti lonceng kematian dan kehancuran bagi Sosro/Tjeweng. Tapi pengumuman janji ini tidak pernah ada. Aidit juga minta disiapkan semua fakta dan dokumen penulisan Buku Putih Pengkhianatan Dewan Jendral. Tentang Dewan Jendral yang terus disebut sebut Aidit , cukup menarik keterangan Prof Dr Wertheim dari Belanda yang terkenal membela PKI , menulis dalam makalahnya "Missing Link" (mata rantai yang hilang), bahwa tadinya ia memang percaya adanya Dewan Jendral. Tapi setelah menelusuri keterangan keterangan yang ada .ia berubah pikiran menjadi tidak ada. Bahkan pengakuan Mayor Rudhito (dari SUAD I). di muka Sidang MAHMILLUB tentang adanya rekaman rapat Dewan Jendral , dianggap isi rekaman itu sebagai rekayasa, sedangkan mata rantai yang putus akhirnya dia temukan , yaitu "Soeharto". Jadi , Soehartolah dalang G30S, kata Wertheim. PESANAN 5000 KEPALA ORANG PKI Sekarang bagaimana pengakuan Amerika? Mati matian Amerika membantah keterlibatannya , kecuali mantan Duta Besar Amerika di Jakarta Marshall Green mengakui bahwa AS mendapat keuntungan dari kejadian itu. Menurut seorang wartawan Amerika Nona Kathy Kadane dari States News Service , Marshall Green adalah salah satu expert pada biro intelijen dan penelitian State Department .Dialah yang mengatur segala bantuan AS untuk Soeharto. Dia pula menurut Bung Karno yang memerintahkan menukar satu juta dollar AS di pasar gelap dengan rupiah, yang digunakan untuk membeli nasi bungkus dengan lauk pauknya, untuk makan 5000 demonstran yang tiap hari berdemonstrasi menghujat Bung Karno dan menuntut supaya diturunkan dari jabatan Presiden. Keterlibatan AS memang sudah sangat jelas, apalagi setelah terbitnya buku "Foreign Relations of the United States" , yang tebalnya 800 halaman khusus mengenai Indonesia, memuat dokumen dokumen tentang keterlibatan AS. Memang mula mula pejabat pejabat resmi AS membantah keterlibatannya tapi dilain pihak , adajuga orang Amerika seperti Kathy Kadane yang membocorkan rahasia dan lebih jelas lagi apa yang dimuat dalam buku "Foreign Relations of the United States". Kathy Kadane melaporkan bahwa pada tahun 1965 1966 CIA memesan 5000 kepala orang orang PKI yang harus dibantai atau dipenjarakan. Nama nama mereka diserahkan kepada Angkatan Darat dan selalu dikontrol apakah sudah dilaksanakan atau belum. Ternyata yang dibantai lebih banyak dari yang dipesan. Tentu menyenangkan sekali bagi AS. Ada laporan yang menarik dimut dalam "Foreign Relations of the United States ", bahwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur sepanjang tahun 1966 adalah hal-hal yang biasa bahwa setiap malam dibantai 50 sampai 100 oang di banyak tempat. Laporan dari konsulat AS di Surabaya menyebutkan ada 3500 warga PKI yang dibunuh di Kediri dalam periode 4 sampai 9 November 1965 dan 300 orang didaerah sekitar 30 km dari Kediri. Di Bali, 8000, kata laporan itu. Seorang diplomat AS yang bertugas di Jakarta pada tahun 1970 , Richard Howland, membantah seolah olah jumlah korban PKI yang dibunuh dalam peristiwa G30S 1,5 juta. Katanya dia pernah mencari keterangan dari seorang Let.Kol.AD, mengatakan bahwa bahwa total korban di Jawa 50.000 , di Bali 6000 dan di Sumatera Utara 3000. Diplomat itu mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan metode yang digunakan sang Letnan Kolonel menghitung jumlah itu, namun jika dikombinasikan dengan data yang dimilikinya, jumlah yang mendekati kebenaran 150.000 saja, kata Richard Howland. Kedutaan Besar AS di Jakarta mengakui bahwa di Indonesia memang terjadi pembasmian orang orang komunis, tapi katanya lagi , banyak ceritera yang dilebih lebihkan. Jumlah korban 100.000 atau mendekati 1 juta orang, sebenarnya tidak pernah diketahui dengan pasti.Karenanya sulit untuk mereka reka berapa jumlah yang sesungguhnya .Oleh karenanya lebih bijaksana jika mengakui yang lebih kecil. Orang Indonesia, kata laporan itu, memang suka melebih lebihkan fakta. Bahwa jumlah yang dibantai di Indonesia, tidak ada angkanya yang pasti, karena memang belum pernah diadakan penelitian oleh siapapun. Panitia Amnesti Internasional yang berpusat di London menaksir 1 juta. Sk Washington Post memperkirakan 500.000 sedang CIA memperkirakan hanya 250.000, tapi menyebutnya itupun sebagai salah satu pembunuhan masssal terburuk dalam abad XX. Apalagi jika seperti yang dikatakan oleh Jendral Sarwo Edhie, panglima penumpasan G30S, sebelum beliau meninggal , kepada Bapak Permadi, SH yang datang menjenguknya mengatakan jumlah yang sebenarnya 3 juta. Bapak Permadi tekejut mendengar angka itu, tapi Sarwo Edhie mengatakan : jangan kaget memang itu yang sebetulnya. Mudah menunjuk siapa yang memprovokasi sehingga terjadi pembunuhan pembunuhan yang kejam itu. Amerika ! Sejak 1957 1958 pada peristiwa pembrontakan PRRI/PERMESTA, rencana hendak membunuh Bung Karno sudah dipertimbangkan dengan matang. Pembrontakan PRRI/PERMESTA ini sepenuhnya didukung oleh AS. Untung mereka kalah. Menurut buku "Foreign Relations of the United States", Duta Besar AS di Jakarta Howard Jones yang pandai ngibulin Bung Karno, melapor ke Washington bahwa coup d'etat Angkatan Darat hendak menggulingkan Presiden Soekarno, semula di rencanakan akan di langsungkan pada bulan Mei atau Juni 1965, mengambil kesempatan ketika Bung Karno berada di luar negeri. Tapi rencana ini gagal karena orang-orang yang terlibat di dalamnya lambat bertindak. Akhirnya Let. Kol. Untung yang mendahului rencana AD yang akan diadakan pada 5 Oktober, bertepatan dengan hari Angkatan Bersenjata dengan melancarkan Gerakan 30 September. Tapi banyak laporan yang mengatakan bahwa Untung hanyalah sekedar boneka yang di korbankan oleh Soeharto, yang ambisinya sudah sampai di ubun-ubun. Begitu laporan CIA tanggal 6 Oktober 1965. Laporan itu cocok dengan apa yang diketahui bahwa Untung adalah kaki tangan Soeharto. Semua rencana persiapan G30S di laporkan dan dikoordinasikan dengan Soeharto, baik oleh Untung maupun Latief. Begitu kesaksian Dr. Soebandrio yang mengakui dirinya adalah bagian dari sejarah G30S. Ketika Latief melapor kepada Soeharto di RSPAD "Gatot Subroto" 4 jam sebelum Gerakan di laksanakan, Soeharto membiarkan semua itu berjalan. Masalahnya menjadi krusial dan kritis, ketika harus menjawab pertanyaan: Siapa sebenarnya sponsor G30S itu ? CIA selalu dituding sebgai sponsor. CIA mempunyai agen yang bernama Kamaruzzaman alias Syam, dia juga menjadi Intel AD di PKI. Kedudukannya sangat penting yaitu apa yang dikenal dengan Kepala Biro Khusus. Sebetulnya istilah Biro di ciptakan oleh Orde Baru, karena istilahnya yang sebenarnya menurut Cugito (anggota Politbiro) yang pernah saya wawancarai sebelum meninggal, katanya :"Biro Ketentaraan". Peran Syam sebagai double agent sempat memusingkan kepala Prof. Dr. Wertheim, karena katanya istilah double agent hanya di publiksikan sekli oleh "Sinar Harapan", sesudah itu tidak pernah muncul lagi. Menurut Wertheim, tentu di larang oleh Orde Baru. Oknum Syam ini sangat di percayai oleh Aidit dan seolah-olah dialah yang menjadi orang kedua di PKI sesudah Aidit. Kamaruzzaman-lah yang memimpin semua pertemuan perwira-perwira maju yang mempersiapkan gerakan. Semuanya di laporkan Syam kepada Aidit dan tentu Aidit senang sekali mendengarkan laporan Syam itu karena yang di gambarkan adalah kemenangan dan kemenangan. Keterlibatan tokoh-tokoh PKI sulit dibantah, karena Soedisman sendiri secara samar-samar mengakuinya dalam "Kritik dan Otokritik". Nyono angota politbiro dan Peris Pardede calon anggota politbiro juga mengakui di sidang MAHMILLUB adanya tiga kali rapat yang penting, yang di hadiri oleh DN Aidit, MH Lukman, Nyoto, Sudisman, Ir. Sakirman, Anwar Sanusi, Nyono, Peris Pardede,Rewang dan Suwandi. Dalam rapat-rapat itu Aidit menginformasikan adanya Dewan Jenderal yang hendak mengadakan kup. Ketika Ketua Mahkamah menanyakan, apakah ada bukti tertulis yang di perlihatkan oleh Aidit, dijawab oleh Nyono "tidak ada". Informasi secara lisan yang di sampaikan oleh Ketua Aidit, selalu di nilai sudah benar. Nyono dan Peris Pardede juga mengakui di bicarakannya imbangan kekuatan antara Dewan Jenderal dan kelompok perwira perwira maju. Hasil penilaian imbangan itu positif bagi perwira-perwira maju yang didukung PKI. Tidak disadari sama sekli bahwa gerakan perwira maju sebetulnya bukan di kendalikan oleh PKI, melinkan oleh Jenderal Soeharto, karena tokoh-tokohnya adlah orang-orangnya Soeharto. Sehingga timbul pertanyaan usil : Apakah juga Soeharto seorang PKI, meskipun dia munafik. Namun seorang Komandan Batalyon dari Tanggerang, Mayor Agus Sigit , yang selalu ikut dalam rapat-rapat persiapan, karena Batalyonnya disiapkan untuk mendukung, mengatakan kepada saya waktu bertemu di Salemba (ia juga di tahan), pada waktu rapat membicarakan imbangan kekuatan , ia sudah menyatakan bahwa imbangan kekuatan yang dilaporkan, belum bisa menjamin kemenangan. Tapi pendapatnya tidak di terima. Oleh karena itu ia tidak hadirhadir lagi dalam rapat rapat berikutnya dan juga tidak hadir serta menggerakkan pasukannya ke Lubang Buaya pada saat Gerakan ini dimulai. Tapi PKI sangat percaya diri. MH Lukman pernah menulis buku yang menilai bahwa PKI telah berdominasi di bidang politik, satu penilaian yang sama sekali tidak terbukti kebenarannya. Anggota Politbiro Anwar Sanusi menjelang 30 September 1965 mengatakan di hadapan sukarelawan di hadapan BNI, bahwa kita sekarang sedang berada dalam situasi dimana ibu pertiwi sedang hamil tua. Sang bidan siap dengan alat-alat peraji yang di perlukan untuk menyelamatkan sang bayi yang adalah kekuatan politik yang sudah di tentukan dalam MANIPOL (itulah G30S). Sebenarnya apakah yang di-disain dengan mencetuskan G30S ?. Apakah memang di maksud unutk mencari pemimpin baru unutk memimpin revolusi ? Ya, memang hendak mendudukan Jenderal Soeharto di atas singgasana ke-Presidenan yang bersepuh darah. Oleh karena itu, sesungguhnya semua kekuatan yang pernah aktif bergerak di sekitar terjadinya G30S, ikut menyumbang pada krisis politik yang kita alami sampai sekarang. Dan sekarang pun akibatnya kelihatan masih terus hidup Nostalgia yang hendak memaksakan stabilitas keamanan melalui pola militer yang mungkin akn menciptakan kembali hal-hal yang mengerikan. Saya hanya ingin bertanya, tidaklah pantas kita belajar dari Bung Karno, yang selma masa kepemimpinannya berhasil menjadikan Indonesia survive sebagai nasion yang bersatu, sekalipun begitu beragam budaya yang ada di masyarakat kita, yang tidak ada bandingannya di planit kita ini. Bung Karno berhasil sebagai pembangun dan pemersatu Indonesia dengan sistem Pancasila sebgai hasil pemikirannya yang mengilhami dan menjadi sumber terbaik bagi menata kembali mesyarakat kita. Wawasan Soekarno berhasil menguasai masa depan politikdean ekonomi Indonesia, meskipun belum sempurna. Kata seorang Diplomat Kanada Prof. Peter Dale Scott yang terkenal di Indonesia karena kajiannya tentang hasil konspirasi CIA bersama Kliek militer Soeharto menggulingkan Presiden Soekarno, menyampaikan sepucuk surat kepada editor "Hasta Mitra" yang menerbitkan buku 100 tahun Bung Karno dalm liber Amicorum (kumpulan tulisan para sahabat Bung Karno) mengatakan bahwa dengan membaca pidato-pidato Bung Karno, betulbetul memberikan inspirasi yang sangat kaya dengan muatan Intelektual. Justru sekarang wawasan Bung Karno mempunyai peluang lebih besar direalisasi, terutama ajaran Pancasilanya yang bukan saja cocok untuk Indonesia tapi juga cocok bagi dunia. Peter Dale Scott juga menulis sebuah karangan dalam buku itu. Apa yang saya uraikan mudah mudahan sudah menjawab pertanyaan Panitia Seminar. Namun saya minta difahami bahwa saya tidak memberikan jawaban dengan harga mati. Artinya, saya serahkan kepada saudara-saudara untuk mengambil kesimpulan setelah mempertimbangkan bahan bahan yang saya kemukakan. Bahan-bahan itu tentu tidak lengkap, mungkin lebih banyak yang belum saya ketahui. Oleh karena itu, saya harap Seminar ini sendiri dapat mendiskusikannya, setidak-tidaknya oleh satu team yang dipilih. Namun menurut pendapat saya, apapun kesimpulan kita, semua yang kita bicarakan disini, sudah menjadi catatan sejarah. Kita tidak bisa lagi mengingkarinya artinya yang salah tetaplah salah, sebaliknya yang benar tetap saja benar. Apakah dengan demikian kita akan terus frustasi dan mencaci maki mereka yang mau kita caci maki ? Jika ini yang menjadi sikap kita, maka pastilah kita akan ditinggalkan dinamikanya perkembangan zaman yang tidak bisa di stop. Saya setuju jalan keluar yang di tunjukan oleh Bung Karno. Dalam menyikapi kondisi yang semacam ini, kita jangan membiarkan diri kita terperangkap oleh gelapnya masa silam, karena dengan demikian kita tidak bisa membuat kemajuan-kemajuan baru. Ini artinya kepada masa depanlah kita harus berorientasi dan bukan menengok kebelakang sambil menangisi manisnya masa silam kita yang hilang dan membiarkan diri kita merana, meskipun kita juga tidak boleh meninggalkan sejarah. Mari kita berusaha sekuat tanaga melepaskan diri dari belenggu masa silam yang menyesakkan nafas. Hiruplah udara segar masa depan, dimana harapan kita bisa di letakkan. Tentunya kita harus mampu menarik pelajaran dari kegagalan masa silam, dengan menelusuri makna adagium klasik,bahwa kegagalan hanyalah sukses yang tertunda. Sikap seperti ini, rasanya lebih dialektis. Jangan pelihara sikap pessimisme dan seperti yang pernah dikatakan Presiden Megawati dalam pidato Tahun Baru-nya 2000 : Dunia ini akan belum kiamat. Mari bulatkan tenaga, samakan visi dan misi dalam mendayung bahtera perjuangan, untuk melawan bahaya disintegrasi bangsa dan penginjak-injakan hukum, serta bahaya korupsi yang di wariskan oleh Soeharto kepada kita, menuju reformasi sejati, karena seperti yang di katakan Presiden Mega, kepadanya hanya diwariskan pemerintahan keranjang sampah. Mungkin Soeharto memang mewariskan orang-orangnya kepada Mega. Mari kita teriakkan tekad yang sekuat-kuatnya di tegakkannya hukum untuk membasmi korupsi politik dan ekonomi, kolusi dan nepotisme warisan Soeharto dan Orde Barunya, yang sekeranjang sampah. Mari kita memasuki milenium baru dengan penuh optimisme, namun di sertai tekad yang kuat tanpa henti-hentinya melakukan instropeksi dari saat ke saat. Saya akhiri uraian saya sampai disini, dengan kesadaran bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu marilah kita sempurnakan. Saya mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyajian yang mungkin tidak memenuhi harapan. Sekian. Terima kasih. Merdeka ! 12 April 2003 http://www.geocities.com/arsip_nasional/politik/politik12.htm Date: 2005/10/12 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=56 Sang Orator di Senja Masa Sang Orator di Senja Masa HARI terasa sangat panjang di Istana Bogor, 6 Oktober 1965. Sebelum saya benar-benar terbangun pada Rabu pagi itu, Hardono, satu di antara staf keamanan Menteri Negara Nyoto, mengetuk pintu kamar kos saya di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, yang hanya terpisah satu rumah dari Mess Perwira Tjakrabirawa, tempat tinggal Letnan Kolonel Untung, "pemimpin" Gerakan 30 September. "Bung diajak Bung Nyoto ke Istana Bogor," kata Hardono dengan wajah serius. "Ngapain?" saya bertanya. "Kayaknya diminta motret," katanya. "Tapi ndak usah bawa toestel, pakai Bung Nyoto punya," ia melanjutkan. Saya maklum: Nyoto tentu tahu alat-alat potret saya tak lebih dari sekelas Kiev, buatan Rusia, yang sebentar-sebentar engkol filmnya macet. Tak sampai lima menit kami sudah berada di ruang tamu rumah Nyoto di Jalan Malang, Menteng, Jakarta Pusat. Pada hari-hari tertentu saya biasa datang ke rumah itu, meminjam buku atau menonton Nyoto bermain musik dengan teman-teman masa mudanya, antara lain Jack Lesmana. Dalam sekejap Nyoto muncul, menyalami saya, lalu menyerahkan dua kamera dan segepok film. "Buatlah foto sebanyak-banyaknya," katanya. "Foto apa?" saya bertanya. "Apa saja." Dalam hitungan menit pula sebuah mobil resmi menteri—Dodge Dart—berhenti di depan rumah. Penumpangnya, Menteri Negara dan Wakil Ketua I CC PKI, M.H. Lukman, memasuki ruang tamu. Lukman tak mengenal saya, dan inilah pertemuan saya yang pertama dengan dia. Lukman dan Nyoto mengenakan setelan putih-putih, "pakaian resmi" anggota Kabinet Dwikora. Di depan saya kedua orang itu bersalaman, berpelukan, kemudian saya dengar Nyoto bertanya, "Apa sebetulnya yang terjadi?" Lukman menjawab, "Saya juga tak tahu!" Mampus, pikir saya. Kalau betul kedua orang ini tak tahu apa yang terjadi pada 30 September 1965, lalu siapa yang berada di balik peristiwa yang, konon, digerakkan oleh PKI itu? Nyoto, pada akhir September itu, memang sedang berada di Medan dalam rombongan Wakil Perdana Menteri I Subandrio. Dalam kendaraan terpisah, kami berangkat ke Bogor, langsung menuju Istana. Pengawalan di sana terasa lebih ketat dari biasanya. Beberapa menteri datang dengan pengawalan panser, di antaranya Menteri Negara Boegi Sumpeno, kolonel polisi. D.N. Aidit tak tampak di antara para menteri. Selama beberapa hari beredar kabar, Ketua CC PKI itu minggat ke Jawa Tengah. Tak banyak yang dihasilkan sidang kabinet itu. Nyoto membacakan pernyataan ringkas ketidakterlibatan PKI dengan Gerakan 30 September. Kemudian Bung Karno berpidato, singkat juga, yang pada dasarnya mengulangi pidatonya yang kemarin-kemarin, bahwa kejadian tersebut adalah "...een rimpeltje in de oceaan...."—sebuah riak di tengah samudra. Itulah untuk pertama kalinya saya merasakan pidato Bung Karno seperti tidak terstruktur, dan tidak terlalu fokus. Ia, misalnya, di samping menyatakan PKI cukup banyak berjasa dalam revolusi Indonesia dan sebagai partai tidak bersalah, juga "menyenggol" Gerakan 30 September sebagai "penyakit kekanak-kanakan" yang dipersamakan dengan Peristiwa Madiun 1948. Di dalam kepustakaan Leninisme, "penyakit kekanak-kanakan" adalah nama lain untuk "penyakit kekiri-kirian", yang biasanya dirujukkan kepada partai komunis yang ingin cepat menang dan melupakan penggalangan kekuatan front nasional. Bung Karno terkesan lelah, walau tampak masih berwibawa. Seusai sidang, semua menteri bergegas pulang. Ia saya lihat berbincang-bincang sebentar dengan Nyoto, sebelum masuk ke ruangan dalam Istana. Itulah pula untuk terakhir kalinya saya menyaksikan kedua orang itu. Untuk seorang wartawan muda pada masa itu, mendengarkan pidato Bung Karno merupakan keasyikan tersendiri. Artikulasinya bagus, intonasinya dinamis, dan ia sering mengulang kalimat tertentu sehingga memudahkan pencatatan. Saya dengar beberapa pidatonya ditulis oleh orang lain, termasuk Nyoto. Tapi, dalam pidato tanpa teks pun, Sukarno tetap memikat. Bung Karno selalu seperti punya "skenario" yang matang untuk membangkitkan dan "mempermainkan" emosi massa. Dia tahu persis kapan waktu yang tepat untuk menggunakan frasa "ganyang," "holopis kuntul baris," "bercancut taliwondo," atau "ini dadaku, mana dadamu," yang sebelumnya tak dikenal dalam khazanah pidato di Indonesia. Begitu meluncur dari Bung Karno, frasa itu segera menemukan "rumah"-nya di hati jutaan rakyat Indonesia. Dengan kefasihannya dalam beberapa bahasa asing, ia bisa "seenaknya" mengutip kalimat orang besar mana saja dalam bahasa aslinya. Bahkan Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia pada masa itu, Howard P. Jones, mampu terkekeh ketika dituding Bung Karno dalam sebuah pidatonya di Senayan: "Go to hell with your 'Indonesia going to collapse'!" Biasanya, setelah dituding begitu, besoknya Duta Besar Jones dan Nyonya diundang ke Istana Bogor untuk sarapan nasi goreng.... Tapi sesungguhnyalah, terutama sejak awal 1965, kesehatannya tak lagi bagus. Pada awal September tahun itu, ketika saya menyertai serombongan penghadap yang ikut sarapan pagi di beranda Istana Negara, kami menyaksikan berbagai suntikan, pil, kapsul, dan madu arab bolak-balik disodorkan oleh tim kesehatan kepresidenan yang mendampingi Bung Karno. Pada acara-acara malam pun, setelah acara resmi, Bung Karno lebih sering melepas sepatu, dan tampaklah kakinya yang membengkak. Setelah 6 Oktober 1965, saya hanya mengikuti pidato Bung Karno dari radio dan televisi. Jelas sekali terasa, kesempatannya berpidato di depan massa yang besar mulai dibatasi. Kehilangan kontak langsung dengan lautan massa itu membawa perubahan tersendiri dalam pidato-pidato Bung Karno. Ia tak lagi sebergelora dulu, tapi sebaliknya, di lingkungan yang lebih kecil ia seperti lebih bebas dan spontan, termasuk dalam menggunakan kata-kata yang rada "saru". Atau itu hanya bagian dari kemarahan dan kejengkelannya yang terpendam? Apalagi setelah pidato kenegaraan (dan "pertanggungjawaban")-nya bolak-balik ditolak oleh MPR(S) pasca-G30S, semangat berpidato Bung Karno menyusut drastis. Keahlian Bung Karno berpidato sangat tidak sebanding dengan kemampuannya menyanyi. Ia hampir tak pernah menampik kesempatan tarik suara, tapi orkes yang mengiringi selalu mengalami kesulitan untuk mencari tangga nada yang pas dengan suara si Bung. Pilihan lagunya tak banyak. Kalau bukan Di Timur Matahari, tentulah Siapa Bilang Bapak dari Blitar, Burung Kakaktua dengan lirik improvisasi, atau paling jauh Aryati. Ia suka lagu keroncong, dan hafal sejumlah gubahan komponis klasik Barat. Ketika malam-malam yang menyenangkan itu pun mulai "dibredel", makin lengkaplah persiapan menuju babak penutup sang Orator. Ia sudah dipisahkan dari massanya, dari sahabat-sahabatnya, bahkan dari keluarganya. Yang tersisa hanyalah sejumlah penyakit dan sebuah era yang siap ditelan senja masa, menuju malam sangat panjang. Amarzan Loebis Sumber: PI, Iqra, TEMPO, No. 34/XXXII/20 - 26 Oktober 2003 Date: 2005/12/6 Section: Kesaksian The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=111 Analisis G. 30. S. 1965 Ditinjau dari Sudut Filsafat ANALISIS GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 DITINJAU DARI SUDUT FILSAFAT Oleh : Dr. Darsono Prawironegoro Sarjana Filsafat dari Universitas Indonesia 1. Pendahuluan Filsafat adalah berpikir mendalam mencari sebab-sebab yang paling dalam atas suatu kejadian, peristiwa, atau suatu keberadaan. Ia selalu mencari saling hubungan, mempertanyakan, dan meragukan setiap kejadian, peristiwa, dan suatu keberadaan, sehingga ia selalu berusaha memberi jawaban dan menjelaskannya secara rasional. Filsafat menjelaskan tentang: (1) hubungan sebab dengan akibat, (2) hubungan bentuk dengan isi, (3) hubungan gejala dengan hakikat, (4) hubungan kebetulan dengan keharusan, dan (5) hubungan kekhususan dengan keumuman, atau logika induktif dengan logika deduktif. Di dunia ini yang memiliki kebebasan adalah hanya berpikir, karena berpikir tidak memiliki dampak apa-apa dalam kehidupan praktis, asal pikiran itu tidak dipublikasikan dan tidak ditindaklanjuti dengan perbuatan. Hanya perbuatan saja yang bisa mengubah dunia ini; pikiran tanpa perbuatan tidak ada artinya apa-apa, atau ide tanpa aksi hanyalah suatu utopia. Dalam filsafat otak adalah "dewa" karena otak mampu berpikir membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak rasional untuk mencapai tujuannya. Dalam hidup ini, manusia mempunyai tujuan hidup berdasar status sosialnya: (1) jika ia berstatus sosial rakyat jelata, maka tujuan hidupnya adalah mencari atau menciptakan kerja untuk memenuhi kebutuhan makan, pakaian, perumahan, kesehatan, dan pendidikan; (2) jika ia berstatus sosial pengusaha atau pedagang, maka tujuan hidupnya adalah mencari laba, (3) jika ia berstatus sosial rohaniawan, maka tujuan hidupnya adalah mencari kebaikan di dunia dan di akhirat, (4) jika ia berstatus sosial ilmuwan, maka tujuan hidupnya adalah mencari kebenaran ilmu, dan (5) jika ia berstatus sosial politikus, maka tujuan hidupnya adalah mencari kemenangan dan kekuasaan. Peristiwa 30 September 1965 (G/30S) adalah peristiwanya orang-orang yang berstatus sosial politik, jadi tujuannya adalah kemenangan dan kekuasaan. Ada pihak yang kalah, ada pihak yang menang, dan ada pihak yang dikorbankan. Yang menang dan kalah adalah pihak yang berstatus sosial politik, dan pihak yang dikorbankan adalah rakyat jelata, karena rakyat jelata adalah pihak yang dikuasi oleh penguasa politik. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G/30S/1965) merupakan peristiwa yang memakan korban ribuan orang, terutama adalah rakyat jelata, orang-orang desa-kota yang tidak berdosa, artinya tidak mengerti tentang gerakan pada tanggal 30 September 1965. Rezim Soeharto (orde baru) menuduh bahwa gerakan tersebut dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), maka orang-orang yang dituduh anggota PKI atau simpatisannya ditangkap untuk dipenjara dan dibunuh. Banyak orang-orang desa-kota rakyat jelata yang menjadi korban, bukan karena mereka itu anggota PKI atau simpatisan PKI melainkan karena "dendam" pribadi atau "dendam sosial" yang diakibatkan oleh konflik pribadi atau konflik sosial. Setelah Soeharto turun tahta pada tahun 23 Maret 1998, banyak kaum cendekiawan yang mengadakan analisis tentang peristiwa tersebut di atas. Saya Darsono Prawironegoro yang pada waktu kejadian berumur 17 tahun, ingin memberi sumbangan pemikiran tentang kejadian tersebut berdasarkan analisis kritis secara filsafat, melalui penelitian kepustakaan. 2. Hubungan Soeharto dan Latief Soeharto pada waktu itu adalah seorang Mayor Jenderal, komandan KOSTRAD (Komando Strategi Angkatan Darat), di bawah Menteri Panglima Angkatan Darat yang dijabat Letnan Jenderal Achmad Yani. Latief pada waktu itu adalah seorang Kolonel Angkatan Darat pimpinan gerakan 30 September 1965. Hubungan Soeharto dengan Latief dapat diklasifikan dua macam yaitu: (1) hubungan pribadi, yaitu bahwa Latief adalah teman akrab Soeharto karena sejak tahun 1945 bersama-sama berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia; pada Serangan Umum tanggal satu Maret 1947, Latief adalah anak buah Soeharto; pada waktu Soeharto pindah ke Jakarta, Latief menyediakan perumahan bagi beliau; hubungan sahabat ini terjalin erat sampai peristiwa tersebut, (2) hubungan kedinasan militer, yaitu bahwa Latief seorang Kolonel Angkatan Darat dan Soeharto seorang Mayor Jenderal Angkatan Darat; sama-sama perwira Angkatan Darat. Pada tangal 28 September 1965, Latief datang ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim Jakarta, dengan maksud menanyakan informasi tentang adanya Dewan Jenderal yang akan mengadakan kup terhadap Presiden Soekarno pada tanggal 5 Oktober 1965. Soeharto mengatakan bahwa ia telah menerima informasi dari Soebagio Yogyakarta tentang hal itu sehari sebelumnya. Soeharto menanggapi bahwa akan diadakan penyelidikan. Hubungan pribadi yang sangat baik itu, Latif berkesimpulan bahwa Soeharta adalah orang yang loyal terhadap Bung Karno dan Bung Karno mempercayai Soeharto, yaitu dengan mengangkat sebagai Panglima Mandala dan Panglima Kostrad. Pada tanggal 30 September 1965, jam 21.00 WIB, atau jam 9 malam, Latief datang ke Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta, memberitahu kepada Soeharto bahwa pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965 akan diadakan operasi atau gerakan menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal terhadap Presiden Soekarno. Pada waktu itu Soeharta sedang menunggu anaknya (Tomy Soeharta) yang sedang sakit di rumah sakit tersebut. Alasan Latief datang menemui Soeharto adalah meminta bantuan militer, dan tindakan ini sudah disetujui oleh Brigadir Jenderal Soepardjo dan Letnan Kolonel Untung (keduanya adalah anggota pimpinan Gerakan 30 September 1965). Menurut Latief, jika G/30S/1965 berhasil, Soeharto diharapkan menjadi pembantu setia Bung Karno, tetapi situasi berubah cepat, Soeharto tidak setia kepada Bung Karno dan tidak mendukung G/30S, melainkan melawan dan menghancurkannya. Tindakan Latief ini didasarkan pada instuisi persahabatan, bahwa ia dipercaya oleh Soeharto sahabat karibnya. Secara politik, sebagai pimpinan gerakan, tindakan Latief tersebut adalah merupakan "pengkianatan", karena ia mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan politik. Sebagai pimpinan gerakan, seharusnya Latief tidak melakukan hal itu; itu menunjukkan bahwa mental politik Latief tidak mewakili kepentingan kelasnya. Menurut Soengkowo, mantan Perwira Polisi Militer, salah seorang pelaku G/30S/1965, menjelaskan bahwa pada waktu Latief diadili di Mahmilub selalu melibatkan Soeharto, bahwa Soeharto mengetahui gerakan itu, dan secara langsung maupun tidak langsung Soeharto terlibat di dalamnya. Apa yang disampaikan Latief itu adalah suatu siasat bahwa ia adalah bukan orangnya Soeharto dan supaya tidak dinilai negatif (atau supaya tidak dikutuk) oleh kawan-kawannya di G/30S/1965. Pada waktu Soengkowo dan Untung di tahan di Rumah Tahanan Salemba Blok N, Soekowo bertanya kepada Untung, mengapa Soeharto tidak ikut ditangkap?. Untung menjelaskan bahwa dalam Sentral Komando atau Senko terjadi perbedaan pendapat tentang Soeharto; ada yang berpendapat bahwa Soeharto adalah pro-G/30S/1965 dan loyal kepada Bung Karno, dan ada yang berpendapat bahwa Soeharto adalah kontra gerakan G/30S/1965. Yang berpendapat bahwa Soeharto adalah loyal terhadap Bung Karno dan pro dengan G/30S/1965 adalah Latief dan Syam Kamaruzaman (pimpinan Biro Khusus PKI), sedangkan yang berpendapat bahwa Soeharto adalah kontra G/30S/1965 adalah saya sendiri (Untung) dan Mayor Udara Soeyono; agar supaya gerakan sukses, menurut Untung, ia dan Soeyono mengalah tidak menangkap Soeharto, walaupun Soeharto juga anggota Dewan Jenderal. Ternyata Soeharto adalah Jenderal yang melawan Bung Karno, ia merebut kekuasaan Bung Karno melaui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Berdasarkan kenyataan yang demikian ini, Latief harus bertanggungjawab kepada kawan-kawannya korban rezim Soeharto, karena seandainya Latief tidak memberitahu Soeharto pada tanggal 30 September 1965 jam 9 malam di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, kemungkinan kondisi Republik Indonesia tidak seperti sekarang ini, yaitu : (1) rakyat tidak berdosa yang berjumlah kira-kira 2 juta orang dibunuh oleh rezim Soeharto, (2) terjadi kebrobokan moral sebagian birokrat dan rakyat, (3) Indonesia terperangkap utang luar negeri US$ 140 milyar atau Rp 1.400 trilyun jika kurs Rp 10.000 per US$1 saat ini, tergantung pada Internationale Monetary Fund atau IMF dan negara-negara G-7 Kanada, AS, Jepang, Jerman, Italia, Perancis, dan Inggri, dan (4) Indonesia dijajah kembali oleh bangsa-bangsa asing, kita menjadi kulinya bangsa-bangsa.. 3. Ketrampilan Soeharto. Kita harus mengakui bahwa Soeharto adalah Jenderal yang memiliki luar biasa dalam mengatur strategi militer dan politik. Pada tahun 1948 ia pernah diperintahkan oleh Bapak Jenderal Besar Soedirman untuk meneliti dan menyelesaikan Peristiwa Madiun dan berhasil dengan baik, PKI dapat dihancurkan. Pada Peristiwa 3 Juli 1946, ia mampu menyerahkan pelaku-pelaku kup kepada pemerintah, ia tampil sebagai pahlawan. Dan dalam peristiwa 30 September 1965, ia keluar sebagai pemenang dan sekaligus bekuasa sampai dengan 1998. Itu menunjukkan bahwa Soeharto memiliki keberanian dan ketrampilan yang luar biasa. Pada tanggal 30 September 1965, Soeharto menerima informasi dari Latief bahwa Latief dan kawan-kawanya akan menangkap Achmad Yani dan kawan-kawannya (Dewan Jenderal). Seharusnya Soeharto bertindak untuk menyelamatkan Yani dan kawan-kawannya, karena Yani adalah Panglima Angkatan Darat, dan kawan-kawannya adalah satu kesatuan Angkatan Darat. Latief dan kawan-kawannya pada malam itu juga bisa ditangkap dan praktis malam itu juga gerakan 30 September 1965 dapat digagalkan, mengingat bahwa saat itu Soeharto sebagai Panglima Kostrad yang memiliki pasukan siap tempur. Soeharto nampaknya menghendaki Yani dan kawan-kawannya terbunuh, mungkin ini disebabkan oleh persaingan dikalangan Jenderal Angkatan Darat, mungkin "dendam", mungkin menghendaki jabatan Panglima Angkatan Darat, karena ada konsesus bahwa jika Panglima Angkatan Darat berhalangan, maka langsung diganti oleh Panglima Kostrad. Soeharto membiarkan G/30S/1965 beraksi pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965 dengan membunuh Yani dan kawan-kawannya, atau mungkin ia merestui gerakan tersebut, karena itu merupakan jalan untuk menjadikan dirinya orang nomor satu di Angkatan Darat. Dalam situasi yang gawat itu, Soeharto berdiri di atas "dua perahu", kaki kiri berdiri pada barisan G/30S, sehingga G/30S tidak memusuhinya, dan kaki kanan berdiri di barisan Dewan Jenderal, jika Yani dkk tidak bisa dibunuh oleh G/30S, maka ia bersama Yani dkk akan menghancurkan G/30S.. Melihat G/30S telah membunuh Yani dan kawan-kawannya (Dewan Jenderal), Soeharto cepat mengambil langkah yaitu menumpas G/30S. Hal itu dilakukan karena basis kekuatan Bung Karno adalah Yani dkk, G/30S, dan PKI. Agar dapat membunuh PKI maka G/30S dikaitkan dengan PKI menjadi G/30S/PKI. Setelah G/30S dihancurkan, Soeharto menghancurkan PKI. Dengan demikian kekuatan Bung Karno sudah punah. Jalan menuju ke RI Satu sudah terbuka lebar. Proses selanjutnya adalah merekayasa secara hukum agar bisa menjadi presiden secara konstitusional. Pada tanggal satu Oktober 1965, jam 6 pagi, Soeharto pergi ke Kostrad setelah menerima informasi dari tetangganya Mashuri (yang kemudian diangkat menjadi Menteri Penerangan dalam kabinetnya). Ia mengendarai sendiri mobil Toyotanya tanpa pengawal. Ini menunjukkan bahwa ia memang Jenderal yang gagah berani, atau mungkin ia sudah bekerja sama dengan G/30S/1965, sehingga ia tidak takut dengan pasukan G/30S/1965 yang telah mengepung daerah itu. 4. Keputusan Yang "Hebat" Pagi hari tanggal satu Oktober 1965, Presiden Soekarno mengangkat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai pejabat sementara (caretaker) Panglima Angkatan Darat. Namun pada pagi hari itu juga, tanggal satu Oktober 1965 Soeharto mengambil keputusan yang "Maha Hebat" yaitu mengangkat dirinya sebagai Panglima Angkatan Darat tanpa persetujuan Bung Karno Presiden Republik Indonesia. Jabatan panglima suatu angkatan perang adalah hak prerogatif presiden, karena jabatan tersebut adalah jabatan politik. Pada siang hari tanggal satu Oktober 1965, Bambang Widjanarko ajudan presiden diperintahkan oleh Presiden Soekarno untuk menemui Pranoto Reksosamudro di Kostrad, agar Pranoto menghadap Presiden di Halim Perdanakusumah. Widjanarko tidak berhasil bertemu Pranoto, ia bertemu Soeharto, dan Soeharto memberi petunjuk kepada Presiden Soekarno sebagai berikut: (1) Mayjen Pranoto Reksosamudro dan Mayjen Umar Wirahadikusumah tidak dapat menghadap Presiden Soekarno di Halim agar tidak menambah korban; artinya Soeharto tidak rela kedua Jenderal itu dibunuh di Halim oleh G/30S/1965 seperti Yani dan kawan-kawannya; petunjuk tersebut mengandung arti bahwa dibunuhnya Yani dan kawan-kawan subuh dinihari satu Oktober 1965 adalah atas perintah Soekarno, (2) Mayjen Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat berdasar perintah harian Panglima Angkatan Darat yang menyebutkan bahwa jika Panglima Angkatan Darat berhalangan, maka Panglima Kostrad akan menggantinya; ini menunjukkan bahwa Soeharto menempatkan perintah harian Panglima Angkatan Darat lebih tinggi daripada Hak Prerogatif Presiden, (3) Perintah harian Presiden Soekarno diharapkan disampaikan kepada Mayjen Soeharto, ini berarti Soeharto mendikte Presiden Soekarno, (4) Presiden Soekarno harus meninggalkan Halim, karena pasukan Kostrad akan membersihkan G/30S/1965 di Halim. Berdasarkan petunjuk Soeharto kepada Presiden Soekarno di atas, menunjukkan bahwa pada tanggal Satu Oktober 1965, Soeharto secara nyata telah menguasai Republik Indonesia. Secara hukum akan diproses lebih lanjut. Inilah tesis sulit disangkal secara ilmiah bahwa "keadaan menentukan kesadaran", artinya kuasai dulu keadaan sosial, baru kemudian dibentuk kesadaran sosial. Mengubah keadaan sosial harus menggunakan tindakan dan keberanian. Di sini "kehebatan" Soeharto, berani bertindak mengubah keadaan atau berani mengambil alih kekuasaan politik Soekarno. 5. Teknik Soeharto Berkuasa Frans Seda mantan anggota kabinet Bung Karno (Tempo, 15 Maret 1986) menjelaskan bahwa teknik Soeharto berkuasa adalah membuat panik sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966 di Istana Merdeka yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Soeharto menggerakkan mahasiwa untuk berdemontrasi ke Istana Merdeka yang dikawal oleh pasukan khusus tanpa seragam. Soeharto sendiri tidak hadir dalam sidang tersebut dengan alasan sakit. Sidang kacau, Bung Karno meninggalkan sidang untuk menuju ke Istana Bogor, kemudian sidang bubar dengan penuh kepanikan. Sarwo Eddie (Tempo, 15 Maret 1986) menjelaskan bahwa pasukan RPKAD tanpa tanda pengenal kesatuan dan membawa senjata mengawal mahasiswa berdemontrasi. Kemal Idris (Tempo, 15 Maret 1986) menjelaskan bahwa pasukan "liar" itu berada di sekitar Istana Merdeka beberapa hari sebelum tanggal 11 Maret 1966. Itu menunjukkan bahwa Soeharto adalah seorang ahli strategi yang baik, ia menggunakan mahasiswa dan tentara untuk merebut kekuasaan politik; ia memahami bahwa hanya kekuatan tentara saja tidak cukup kuat untuk merebut kekuasaan. Setelah Bung Karno meninggalkan Istana Merdeka menuju ke Istana Bogor, Soeharto memerintahkan tiga Jenderal yaitu Jenderal Andi Yusuf, Jenderal Basuki Rachmad, dan Jenderal Amir Mahmud ke Istana Bogor untuk menghadap Bung Karno, tujuannya adalah agar Bung Karno memberi surat perintah untuk pengamanan. Bung karno memberikan surat perintah pengamanan pada tanggal 11 Maret 1966 yang dikenal dengan sebutan "Supersemar". Dengan surat pengamanan tersebut, Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966. Surat perintah pengamanan itu ditafsirkan oleh Soeharto sebagi "Pelimpahan Kekuasaan". Dengan dibubarkannya PKI maka kekuatan politik pendukung Bung Karno relatif sudah habis. Setelah tanggal 12 Maret 1966, hakikatnya Bung Karno adalah "Sebatang Kara" dalam kehidupan politik, hal ini adalah akibat kurang tepatnya Bung Karno mengambil keputusan pada tanggal Satu Oktober 1965. Jika pada tanggal tersebut Bung Karno mengambil keputusan menghadapkan G/30S dengan pasukan Soeharto, keadaannya mungkin tidak seperti sekarang ini. Secara hukum, Bung Karno setelah 11 Maret 1966 masih menjabat presiden, tetapi tanpa pasukan, karena sebagian besar angkatan perang telah dikuasai Soeharto. Pada tanggal 17 Agustus 1966, dalam pidato kenegaraan, Bung Karno mengatakan bahwa surat perintah 11 Maret 1966 itu bukan pelimpahan kekuasaan. Surat perintah itu hanyalah suatu perintah pengamanan, yaitu perintah pengamanan jalannya pemerintahan, pengamanan keselamatan Bung Karno, dan pengamanan ajaran Bung Karno. Hanafi menjelaskan bahwa Bung Karno tidak mengakui pembubaran PKI dengan menggunakan "Supersemar". Bung Karno pada tanggal 13 Maret 1966 memerintahkan Leimena Wakil Perdana Menteri dan Brigadir Jenderal KKO Hartono mendatangi Soeharto ke rumahnya dengan membawa surat yang isisnya mengkoreksi tindakan Soeharto membubarkan PKI. Setelah membaca surat Bung Karno, Soeharto mengatakan bahwa: "Sampaikan Kepada Bapak Presiden, semua yang saya lakukan atas tanggung jawab saya sendiri". Ucapan Soeharto yang demikian itu dapat ditafsirkan sebagai kudeta, artinya ia telah melawan Bung Karno yang pada waktu itu secara hukum masih sebagai Presiden Republik Indonesia. Seharusnya Bung Karno setelah mendapat laporan dari Leimena dan Hartono harus mengambil sikap yaitu menonaktifkan Soeharto sebagi Panglima Angkatan Darat. Dalam hal ini nampaknya Bung Karno bimbang ragu mengambil sikap, sehingga mengorbankan dirinya sendiri. Sikap bimbang ragu adalah awal dari kehancuran diri. Wiratmo Sukito menjelaskan bahwa setelah Bung Karno mendengar jawaban Soeharto, pada tanggal 16 Maret 1966 melalui Wakil Perdana Menteri Chairul Saleh dan Wakil Perdana Menteri J.Leimena mengeluarkan pengumuman bahwa pembubaran PKI adalah tidak syah. Berdasarkan penjelasan tersebut secara hukum pembubaran PKI yang dilakukan oleh Soeharto adalah batal demi hukum, karena keputusan Presiden lebih tinggi daripada keputusan pemegang Supersemar. Namun perlu diingat bahwa dalam kondisi sosial yang gawat, hukum relatif tidak berlaku, yang berlaku adalah kekuatan senjata. Saat itu kekuatan senjata berada di tangan Soeharto. Dalam hal ini Soeharto lebih berani mengambil risiko daripada Bung Karno. Barang siapa yang berani mengambil risiko tinggi, akan memperoleh hasil tinggi pula. Keberanian Soeharto itu diwujudkan lebih lanjut dalam tindakannya yaitu menangkap dan memenjarakan 15 menteri termasuk Soebandrio Menteri Luar Negeri Republik Indonesia yang sangat termasyur itu. Kemudian menangkap dan memenjarakan 136 anggota DPRGR/MPRS, diganti oleh orang-orang dari Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Soeharto dengan kekuatan senjata dapat melakukan hal itu semuanya, walaupun ia bukan seorang presiden; ia mampu mendirikan DPRGR/MPRS baru yang diisi oleh orang-orangnya dan diketuai oleh Nasution, yang nantinya akan mengesahkan dia secara hukum sebagai Presiden Republik Indonesia Kedua. Dengan demikian proses kekuasaan harus dimulai dari proses kekuatan senjata baru kemudian proses kekuatan hukum. Kekuatan senjata merupakan materi dan hukum merupakan ide, materi menentukan ide, atau keadaan menentukan kesadaran. Nampaknya Soeharto memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai bahwa kekuasaan politik harus dibangun dari kekuatan senjata. Pengalaman dan pengetahuan itu diperoleh dari ketika Soeharto menjadi Tentara Belanda, Tentara Jepang, dan Tentara Republik Indonesia, di mana Belanda dan Jepang dapat menguasai Nusantara dengan kekuatan senjata, dan Indonesia Merdeka juga dengan kekuatan senjata (Revoulsi 17 Agustus 1945). Sekali senjata diangkat jangan dilepaskan agar tujuan politik dapat tercapai, pemikiran ini diyakini Soeharto sebagai kebenaran universal dalam merebut kekuasaan, tetapi tidak diyakini oleh G/30S/1965 sehingga mereka mudah dikalahkan oleh Soeharto. Di samping itu sejarah membuktikan bahwa ketrampilan berpikir (kepandaian) Soekarno yang tinggi dikalahkan oleh keberanian bertindak Soeharto. Pandai tidak berani tidak menghasilkan sesuatu, tetapi berani walaupun kurang pandai bisa menghasilkan sesuatu. Orang yang pandai dan berani pada umumnya sukses mencapai sesuatu yang direncanakan. Pengalaman Soeharto merebut kekuasaan Soekarno dapat dijadikan diskusi filsafat dan diskusi keilmuan lebih lanjut. 5. Peranan Nasution. Sumbangan besar Nasution terhadap Soeharto ialah membawa Supersemar ke dalam Sidang Umum MPRS pada tangal 21 Juni 1966 tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno. Dalam sidang itu dikeluarkan Ketetapan MPRS No. IX 1966 tentang Supersemar. Dengan demikian sulit bagi Presiden Soekarno untuk mencabut kembali Supersemar. Kemudian MPRS Soeharto-Nasution mengeluarkan Ketetapan MPRS No XXV 1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang PKI sebagai partai terlarang dan melarang menyebarkan Marxisme-Leninisme atau Komunisme di Indonesia. Ketetapan MPRS No. XXV 1966 itu hakikatnya adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan Panca Sila. Dalam UUD 1945 pasal 27 dan 28 menyebutkan bahwa semua warga negara hak sama di depan hukum (pasal 27), semua warga negara mempunyai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, bebas mengeluarkan pikiran secara tertulis dan lesan tanpa mempersoalkan paham politik atau ideologi yang dianutnya (pasal 28). Dalam Panca Sila, seperti yang diucapkan oleh Bung Karno dalam lahirnya Panca Sila bahwa Negara Republik Indonesia ini didirikan bukan buat satu golongan, tetapi semua buat semua. Undang-undang, hukum, ketetapan, peraturan, dan sejenisnya sebagai ide atau bangunan atas suatu masyarakat sangat tergantung pada alat pelaksana ide yaitu kekuasaan politik. Berlakunya Undang-undang dan sejenisnya sangat tergantung pada kekuasaan politik. Penguasa politik hanya peduli pada undang-undang dan sejenisnya yang menguntungkan dirinya. Soeharto nampaknya mengetahui dan memahami benar pemikiran tersebut, maka ia membuat undang-undang, hukum, dan sejenisnya untuk melindungi kepentingan politiknya. Tap MPRS No. IX/1966 dan Tap MPRS No.XXV/1966 adalah langkah awal secara hukum untuk mengakhiri kekuasaan Soekarno. Untuk mempercepat dalam mengambil alih kekuasaan Soekarno, Soeharto-Nasution mendesak DPRGR mengusulkan Sidang Umum Istimewa MPRS dengan alasan bahwa Presiden Soekarno melanggar GBHN karena tidak bersedia membubarkan PKI. GBHN yang berlaku pada waktu itu adalah GBHN Manipol yang berbasis pada NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), membubarkan PKI berarti bertentangan dengan GBHN Manipol. Usul DPRGR untuk mengelar Sidang Istimewa tersebut disetujui oleh MPRS Soeharto- Nasution, dan diselenggarakan SI MPRS pada tanggal 7 Maret 1967 sampai dengan 12 Maret 1967. Soeharto-Nasution menyadari bahwa MPRS hasil Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 tidak dapat mengganti presiden. Menurut pidato kenegaraan Presiden Soekarno 10 November 1960, MPRS tidak berwenang merubah UUD 1945, dan memililh presiden dan wakil presiden. Tetapi Nasution kurang menaruh perhatian tentang hal itu, ia mengatakan bahwa MPRS sekarang ini adalah hasil pemilihan umum masa lalu, jadi syah untuk merubah UUD 1945, dan mengangkat presiden dan wakil presiden, dan merupakan satu-satunya kekuasaan negara yang tidak terbatas. Berdasarkan pemikiran yang demikian ini MPRS Soeharto-Nasution mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, dan Ketetapan MPRS No. XXXVI/1967 tentang melarang Ajaran Soekarno. Dengan dua Tap MPRS Soeharto-Nasution tersebut, Bung Karno menghakhiri kekuasaannya. Soeharto berhasil merebut kekuasaan secara hukum berdasar Supersemar dan Tap MPRS. Soeharto berhutang budi besar kepada Nasution, sebab peranan Nasution sebagai ketua MPRS sangat besar dalam melahirkan Tap MPRS No. XXXIII dan XXXVI/1967. 6. PKI Tidak Terlibat Gerakan 30 September 1965 Latief adalah pelaku kunci G/30S menjelaskan di depan wartawan Tempo tanggal 16 April 2000 bahwa ide menghadapkan para Jenderal (Yani dkk) adalah dari inisiatif kami (Latief, Untung, Soepardjo, dan Soeyono), bukan ide dari PKI; tidak benar kami diperintah PKI; jika ada informasi bahwa kami diperintah PKI itu adalah informasi yang dibuat Soeharto untuk menutupi tindakannya. Pendapat Latief itu dapat diterima oleh akal sehat, karena program Partai Komunis untuk berkuasa pada umumnya adalah revolusi seperti yang dilakukan di Rusia, China, Cuba, dll., bukan melalui kup. Khusus di Indonesia, program PKI adalah mencapai demokrasi rakyat melalui jalan demokratis dan parlementer seperti yang ditetapkan pada Kongres Nasionak Ke V tahun 1954. Di samping itu kecil sekali kemungkinannya PKI kup terhadap Presiden Soekarno, karena Presiden Soekarno menjamin hak hidup PKI dengan konsep NASAKOM. Di sisi lain, Brigjen Soepardjo pada tanggal Satu Oktober siang 1965 setelah melakukan gerakan melapor kepada Presiden Soekarno, dan pada waktu itu juga Presiden Soekarno memerintahkan Soepardjo untuk menghentikan G/30S. Itu menunjukkan bahwa PKI sebagai organisasi tidak terlibat G/30S. Jika PKI secara organisasi terlibat, maka: (1) Soepardjo seharusnya melapor kepada Aidit sebagai Ketua Comite Central PKI, (2) Nyoto dan Lukman sebagai anggota politbiro CC PKI tentu ditangkap sejak menghadiri sidang kabinet 6 Oktober 1965, (3) PKI mengerahkan anggota dan massanya untuk melawan pemerintahan Soekarno. Kenyataannya pada waktu itu justru Soepardjo melapor kepada Presiden Soekarno, Nyoto dan Lukman tidak ditangkap pada waktu menghadiri sidang kabinet tanggal 6 Oktober 1965, dan PKI tidak menggerakkan anggota dan massanya untuk melawan pemerintahan Soekarno. Aidit dan Syam Kamaruzaman secara pribadi mungkin terlibat G/30S, karena kedua orang itu mempunyai hubungan erat dengan para militer yang terlibat dalam G/30S. Syam sebagai biro khusus yang mempunyai tugas membina tentara hanya bertanggung jawab kepada Aidit pimpinan polit biro CC PKI. Mungkin di antara tentara yang terlibat G/30S itu ada yang dibina oleh Syam. Tetapi itu tidak berarti bahwa PKI sebagai organisasi terlibat G/30S. Soeharto melibatkan PKI sebagai organisasi dengan G/30S hakikatnya adalah untuk menghancurkan PKI karena PKI merupakan kekuatan politik pendukung Bung Karno. Seperti dijelaskan di atas kekuatan Bung Karno adalah Jenderal Achmad Yani dkk dari Angkatan Darat, para pelaku Gerakan 30 September 1965, dan PKI. Presiden Soekarno tidak pernah berpikir dan merasa dikhianati PKI. Itu dapat dilihat dari pernyataan beliau pada tanggal 21 Oktober 1965 bahwa Gestoknya (Gerakan Satu Oktober 1965) harus kita hantam, tetapi komunismenya tidak, karena ajaran komunis itu adalah hasil obyektif dalam masyarakat Indonesia, seperti halnya nasionalisme, dan agama. Itu menunjukkan bahwa Bung Karno menempatkan dirinya sebagai negarawan besar, berpandangan obyektif, berpikir jernih, dan mengutamakan persatuan bangsa. Beliau mengetahui dan memahami dengan sungguh-sungguh bahwa paham atau isme itu tidak bisa dibunuh, walaupun orangnya dibunuh. 7. Ketakutan Soeharto Salah satu ketakutan Soeharto dalam hidupnya adalah kalau rakyat Indonesia mengetahui apa yang dibicarakan dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 pada jam 9 malam di rumah sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta. Sampai sekarang ini pembicaraan kedua insan tersebut masih diliputi kabut rahasia. Seperti dijelaskan di atas bahwa dalam pertemuan itu, Latief memberi tahu Soeharto bahwa nanti subuh dini hari akan dilakukan gerakan militer terhadap Jenderal Achmad Yani dkk. Soeharto sebagai bawahan Yani seharusnya menangkap Latief pada waktu itu, tetapi tidak dilakukan. Itu menunjukkan bahwa kemungkinan Soeharto menghendaki Yani dkk mengakhiri hidupnya. Untuk menutupi kabut rahasia pertemuan di atas, Soeharto membuat berbagai pernyataan antara lain sebagai berikut: 1. Kepada Arnold Brackman, Soeharto mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari banyak kawan-kawannya yang menjenguk anaknya yang sedang dirawat di rumah sakit Gatot Soebroto Jakarta, termasuk Kolonel Latief. 2. Kepada majalah Der Spegel dari Jerman Barat, Juni 1970, Soeharto menjawab pertanyaan wartawan mengapa Jenderal Soeharto tidak termasuk sasaran G/30S?. Soeharto menjawab bahwa bahwa Latief datang ke rumah sakti Gatot Soebroto kira-kira jam 11 malam untuk membunuh saya, tetapi niatnya dibatalkan karena di tempat umum. 3. Dalam otobiografinya sendiri, Soeharto mengatakan bahwa ia hanya melihat Latief di koridor rumah sakit Gatot Soebroto; ia melihat dari tempat ia menjaga anaknya yang sedang dirawat di rumah sakit itu. Dari tiga pernyataan tersebut, jelas terdapat perbedaan yang mendasar, yaitu yang pertama, Latief datang ke rumah sakit Gatot Soebroto untuk menjenguk anaknya, kedua, Latief datang ke rumah sakit Gatot Soebroto untuk membunuhnya, dan yang ketiga, ia hanya melihat Latief di koridor rumah sakit Gatot Soebroto. Ketiga pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Soeharto ketakutan terhadap dirinya sendiri tentang pertemuan "penting" dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 jam 9 malam. Dalam pertemuan Soeharto-Latief tersebut dapat diduga: 1. Latief adalah anak buah Soeharto dalam G/30S/1965; jika benar, maka Soeharto adalah "Pimpinan Tertinggi" G/30S/1965, kemudian untuk menghilangkan jejaknya, Soeharto menyapu bersih gerakan tersebut dengan pasukan khususnya. 2. Latief adalah sahabat sehidup-semati Soeharto; ia datang ke rumah sakit Gatot Soebroto jam 9 malam tanggal 30 September 1965, lima jam sebelum gerakan dimulai untuk memberitahu bahwa akan ada gerakan membersihkan Jenderal Achmad Yani dkk, harap hati-hati, dan bantulah kami; jika ini benar, maka Latief secara sadar atau tidak sadar ia adalah "pengkianat" gerakan tersebut, karena memberitahukan gerakan yang akan dilakukan kepada orang yang bukan pimpinannya. Diduga yang mendekati kebenaran adalah pendugaan yang kedua (Latief memberi tahu Soeharto tentang G/30S). Dengan demikian hakikatnya tidak ada persahabatan yang sejati, yang ada adalah persahabatan berdasar kepentingan; jika kepentingannya sama kita bersahabat, jika kepentingannya berbeda, kita mengambil jalan yang berbeda; atau tidak ada front persatuan universal, yang ada adalah front persatuan berdasar kepentingan; jika kepentingannya sama maka kita berada dalam satu front persatuan, jika kepentingannya berbeda maka kita berjalan sendiri-sendiri. 8. Peranan Imperalisme Pada tanggal 12 Agustus 1941 terjadilah suatu perjajian yang maha penting karena dilakukan oleh dua tokoh terkenal di dunia yaitu F.D. Roosevelt Presiden Amerika Serikat dan Winston Churchill Perdana Menteri Inggris. Perjanjian itu dinamakan Perjanjian Atlantic atau Atlantic Charter. Isi pokoknya ialah Sebuah Hari Depan Yang Lebih Baik Bagi Dunia. Isi selengkapnya adalah: 1. Mereka tidak berupaya melakukan perluasan wilayah 2. Mereka tidak ingin melihat adanya perubahan wilayah yang tidak diinginkan oleh bangsabangsa yang bersangkutan 3. Mereka menghormati hak setiap bangsa untuk berdaulat 4. Semua negara bebas berdagang dan memperoleh bahan mentah 5. Kerjasama ekonom bagi semua bangsa 6. Hidup damai, bebas ketakutan 7. Bebas mengarungi samudera tanpa rintangan 8. Tidak diperkenankan memaksakan kehendak dengan kekuatan senjata Yang terpenting dalam perjanjian itu adalah bebas berlayar tanpa rintangan, bebas berdagang, bebas memperoleh bahan mentah. Amerika Serikat dan Inggris memiliki armada laut yang hebat, mereka mudah menguasai dunia secara ekonomi, sosial, dan politik. Hakikatnya perjanjian Atantik itu adalah membagi dunia menjadi "milik" Amerika Serikat dan Inggris, itu diisyaratkan pada perjanjian nomor 7. Bangsa-bangsa lain harus "tunduk" (harus bersedia bekerja sama) kepada kedua negara tersebut, khususnya di bidang ekonomi. Nampaknya mereka sadar bahwa bentuk penjajahan dengan kekuatan militer yaitu kolonialisme harus diganti dengan kekuatan ekonomi yaitu imperalisme (neo-kolonialisme), itu diisyaratkan pada perjanjian nomor 4, 5, dan 8. Dalam perjanjian nomor 6, bangsa-bangsa di dunia harus membuat pakta pertahanan terutama dengan Amerika Serikat dan Inggris, agar mereka bebas dari ketakutan perang dan dapat hidup damai. Dapat dipastikan bahwa dalam pakta pertahanan itu akan dihegemoni (dipimpin) dan didominasi (dikuasai atau didekte) oleh pihak yang memiliki peralatan senjata yang kuat; dalam hal ini adalah Inggris dan Amerika Serikat. Perjanjian nomor 1,2, dan 3 mengisyaratkan bahwa tidak layak lagi melakukan kolonialisme dengan kekuatan militer, mereka sadar bahwa itu hanya akan mengakibatkan perang antar mereka seperti Perang Dunia Pertama dan Kedua. Sebelum Perang Dunia Kedua berakhir, Amerika Serikat dan Inggris bersekutu untuk membuat badan keuangan dunia yang disebut IMF (International Monetary Fund). Lembaga Keuangan Internasional yang dibentuk itu antara lain: ·IMF, dibentuk di Bretton Woods, New Hampshire, Juli 1944 oleh kaum kapitalis internasional tujuannya: kerjasama moneter internasional, stabilisasis kurs, menyediakan dana pinjaman untuk memperbaiki neraca pembayaran, meningkatkan mobilitas dana antar negara, mewujudkan perdaganan bebas. ·Bank Dunia (International Bank for Recontruction and Development), 1944, tujuan: memberi pinjaman untuk pembangunan ekonomi negara-negara anggota ·IFC (International Finance Corporation), tujuannya membantu perusahaan swasta , terutama kaum Multi National Corporation atau Trans National Corporation yaitu perusahaanperusahaan raksasa yang beroperasi di luar batas negaranya atau beroperasi di negara orang lain ·IDA (International Development Association), tujuannya membantu pembangunan ekonomi negara-negara yang kalah perang dan negara-negara yang baru merdeka ·BIS (Bank for International Settlement), tujuannya membantu negara tau perusahaan yang dilanda krisis keuangan ·RDA (Regional Development Agencies), tujuannya membantu pembangunan ekonomi regional (Asia, Afrika, Amerika Latin). Hakikatnya semua lembaga keuangan internatioanl yang dibentuk oleh Amerika dan Inggris itu adalah sebagai alat negara kapitalis dan MNC untuk menguasai ekonomi, sosial, politik, dan budaya Negara Sedang Berkembang, dalam hal ini termasuk Indonesia. Bung Karno pernah mengatakan bahwa menolak bantuan asing jika dikaitkan dengan kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian Indonesia. Nampaknya Bung Karno memiliki pengetahuan dan pemahaman yang tinggi tentang taktik dan strategi negaranegara bekas kolonialis untuk menguasai kembali negara-negara bekas jajahannya dengan model bantuan keuangan dan ekonomi. Inilah yang lazim disebut Imperalisme, yaitu suatu penjajahan bentuk baru dengan kekuatan modal, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, lahirlah bangsa-bangsa merdeka, termasuk bangsa Indonesia. Dalam kehidupan yang merdeka, Presiden Soekarno ingin hidup ekonomi secara mandiri, artinya tidak mau bergantung kepada modal asing, berdaullat dalam bidang politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan Indonesia. Kebijakan Bung Karno dalam bidang ekonomi khususnya yang menyangkut perusahaan-perusahaan asing adalah bahwa perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia dijadikan milik negara yaitu menjadi Badan Usaha Miliki Negara Republik Indonesia (BUMN RI). Itu artinya Bung Karno melawan Atlantic Charter atau melawan Inggris dan Amerika atau melawan imperalisme. Karena BUMN itu pada umumnya adalah bekas milik Inggris dan Amerika. Berdasarkan tesis ini, maka Inggris dan Amerika harus menyingkirkan Soekarno dari kekuasaannya. Inggris dan Amerika mengetahui dan memahami bahwa kekuatan Bung Karno adalah Jenderal Achmad Yani dkk dan PKI. Oleh sebab itu untuk menggulingkan Bung Karno harus terlebih dahulu menghancurkan Jenderal Yani dkk dan PKI. Metode yang digunakan ialah menciptakan konflik di tubuh Angkatan Darat antara Jenderal Yani dan Jenderal yang lainnya dan melibatkan pimpinan PKI dalam konflik tersebut. Marshall Green duta besar AS di Jakarta beberapa bulan sebelum G/30S telah datang di Jakarta. Ia adalah arsitek penjatuhan Syngman Rhee di Korea Selatan. Diduga pengangkatan Green sebagai duta besar AS di Indonesia adalah untuk maksud menjatuhkan Soekarno dan menghancurkan PKI yang anti feodalisme, kolonialime, dan imperalisme. Rencana Barat Menghancurkan PKI sejak PKI berdiri tahun 1920-an karena ciri utama perjuangan PKI adalah anti kolonialisme. Sejak pemberontakan PKI melawan Belanda tahun 1926 sampai menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, tokoh-tokoh PKI dikejar-kejar oleh pemerintah Belanda kemudian oleh pemerintah Jepang. Kemudian berturutturut dilanjutkan dengan: (1) instruksi rahasia Amerika pada waktu pemerintah Hatta dengan menggunakan divisi Siliwangi untuk menghancurkan pelaku peristiwa Madiun 1948, (2) rasionalisasi tentara yang lahir dari laskar rakyat yang banyak didominasi oleh orang-orang yang bersimpati dengan PKI, (3) larangan mogok dan razzia Agustus yang dilakukan oleh pemerintah Natsir dan Sukiman tahun 1950-1951, (4) penindasan berdarah kaum tani di Tanjung Morawa dan tempat-tempat lainnya sekitar tahun 1952-1953, (5) pemberontakan bersenjata PRRI dan Permesta sejak tahun 1956-1961 yang sepenuhnya dibantu senjata oleh Amerika, (6) pemeriksaaan Aidit, Nyoto, dan Sakirman sehubungan dengan pemikiran kritisnya tentang Demokrasi Terpimpin; semuanya itu gagal sampai dengan tahun 1965. Pada tahun 1965 bagi kaum imperalis melihat gejala di Indonesia dari tiga dimensi yaitu: (1) PKI makin besar, hal ini makin membahayakan pengaruh kaum imperalis terhadap Indonesia dan menyulitkan mereka menanam modal di Indonesia, berarti kaum imperalis makin sulit melakukan dominasi ekonomi dan politik di Indonesia, (2) kekuasaan Angkatan Darat makin kuat, merupakan kekuatan bagi kaum imperalis untuk menguasai kembali Indonesia secara ekonomi dan politik, karena sebagaian jenderal Angkatan Darat menjadi sahabat baik Amerika dan Inggris, dan (3) seriusnya sakitnya Bung Karno, menjadi perhatian utama kaum imperalis untuk dijadikan langkah awal menguasai Indonesia kembali pada saat Bung Karno meninggal dunia. Ketiga gejala tersebut, diduga kaum imperalis menyiapkan strategi untuk menempatkan Angkatan Darat menjadi penguasa politik di Indonesia, dengan menyingkirkan jenderaljenderal pendukung Soekarno dan menghancurkan PKI, karena garis politik PKI sejalan dengan garis politik Bung Karno yang anti feodalisme, kolonialisme, dan imperalisme. Hal yang menguntungkan kaum imperalis adalah bahwa pada tahun 1960-1963, PKI telah dijinakkan oleh Bung Karno. Itu berarti garis politik komunis dengan aksi dan revolusi bersenjatanya untuk membangun pemerintahan demokrasi rakyat telah hilang. PKI tidak lagi menjadi partai yang revolusioner, tetapi menjadi partai yang evolusioner berbasis pada program parlementer; PKI yakin bahwa ia dapat berkuasa melalui jalan parlementer. Hal itu dapat dilihat sejak 1963, PKI tidak mempunyai program revolusi bersenjata seperti di China, Kuba, Vietnam, Laos, dan Kamboja. Pada tahun 1964, aksi sepihak PKI makin meluas di pedesaan, menuntut diberlakukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang intinya tanah untuk petani, bukan untuk tuan tanah, dan menuntuk diberlakukannya Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH), yang intinya petani penggarap harus diuntungkan. Aksi ini hanya merupakan aksi ekonomi, bukan aksi politik bersenjata. Aksi ini melahirkan konflik sosial antar pengikut PKI dengan pengikut Partai lainnya, karena sebagian pemilik tanah luas adalah menjadi anggota partai lain seperti PNI, NU, dsb. Aksi sepihak itu merupakan tindakan PKI membuka front pertentangan dengan rakyat pengikut partai lain. Setelah pemilu 1955, Soekarno menemukan jatidirinya yaitu anti kolonialisme baru (imperlasime) dan bekerja sama dengan PKI untuk mengganyang (menghancrukan) Malaysia. Oleh Soekarno, Malaysia adalah boneka Inggris dan Amerika untuk mengepung Indonesia. Pendapat ini didukung oleh PKI. Dalam hal ini PKI kurang tepat sasarannya. Mestinya sasaran PKI adalah anti imperalisme di Indonesia, bukan anti Malaysia. Malaysia sebagai boneka Inggris dan Amerika adalah masalah yang abtrak, yang kongkrit adalah penghisapan dan penindasan kaum imperalis di Indonesia melalui penanaman modal asing. Keadaan yang demikian, Inggris dan Amerika makin marah terhadap PKI. Konflik Bung Karno dengan Angkatan Darat adalah masalah "Angkatan Kelima" yaitu buruh dan tani harus dipersenjatai; ini mungkin gagasan PKI yang ingin meniru Revolusi Tiongkok, di mana kaum tani bersenjata dibantu kaum buruh bersenjata melawan tuan tanah. Di samping itu konflik Soekarno dengan Angkatan Darat adalah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952 di mana Nasution dan Gatot Subroto ingin merebut kekuasaan. Konflik Soekarno dengan Angkatan Darat yang paling gawat adalah bahwa sebagian Jenderal-Jenderal Angkatan Darat (Dewan Djenderal) tidak setuju dengan program revolusi Indonesia yang belum selesai dan adanya berita bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan kup tanggal 5 Oktober 1965. Berita kup Dewan Jenderal itu diperoleh dari dokumen Sir Andrew Gilchrist Duta Besar Inggris di Indonesia; ia mengatakan kepada temannya Amerika, bahwa operasi militer telah dispersiapkan dengan our local army friends. Soekarno marah dan PKI terjebak dengan berita tersebut. Dokumen Gilchrist itu sengaja disebarluaskan. Dokumen kup Dewan Jenderal sengaja dibocorkan, yang terdiri dari Nasution, Yani, Harjono, Suparpto, S. Parman, Sutojo, Sukendro, Sumarno Ibu Sutowo, Rusli. Anggotanya 40 orang di mana Soeharto masuk di dalamnya, aktif 25 orang, 7 orang diantaranya adalah pimpinan puncak. Mungkin dokumen itu sengaja dibuat oleh Gilchrist untuk memancing Bung Karno marah dan mengadakan tindakan pembersihan di tubuh Angkatan Darat yaitu Jenderal Yani dkk., di mana sebenarnya mereka itu adalah pendukung setia Bung Karno. Bung Karno memerintahkan Letnan Kolonel Untung dari kesatuan Cakarabirawa pengawal presiden, untuk membereskannya. Perintah Bung Karno kepada Untung tersebut disambut baik oleh sebagian pimpinan PKI yaitu Aidit dan Syam Kamaruzaman. Kedua tokok PKI itu yakin bahwa Bung Karno dengan kekuatan pasukan Cakrabirawa dapat menggagalkan rencana kup Dewan Jenderal, maka Untung bergerak mendahuluinya dengan mengadakan gerakan penangkapan para Jenderal pada tanggal 30 September 1965, yang dikenal peristiwa G/30S. Konflik intern Angkatan Darat sebenarnya dimulai dari Nasution kontra Yani. Yani menggantikan Nasution sebagai Panglima Angkatan Darat; Yani setuju Soekarno bahwa Nasution sebagai Panglima Angkatan Bersenjata hanya tugas administratif saja, Yani mengganti orang-orang Nasution di Kodam-Kodam. Yani setuju pembubaran panitia Rituling Apratur Negara yang dipimpin oleh Nasution. Soeharto dan Basuki Rachmad, dkk menjadi mediator konflik Nasution-Yani. Diduga, Soeharto memanfaatkan konflik Nasution lawan Yani, Yani lawan Soekarno, dan konflik Yani lawan PKI. Pada trahun 1965 Yani dan Nasution bersatu melawan Soekarno dan PKI, karena merasa bahwa Soekarno selalu mengikuti politik PKI, atau mungkin karena Bung Karno memberi ruang gerak yang leluasa bagi PKI untuk mengadakan propaganda anti feodalisme, kolonialisme dan imperlisme. Hakikatnya dalam kubu Angkatan Darat terdapat empat kelompok, yaitu: Kubu Nasution dkk, Yani dkk, Soeharto dkk.(terutama trio Soeharto-Yoga Sugama-Ali Murtopo), dan kubu Jenderal Mursjid dkk calon pengganti Yani tanggal 1Oktober 1965. Dari empat kelompok tersebut, Inggris dan Amerika diduga bersekutu dengan kubu Soeharto, karena Soeharto tidak anti Amerika. Amerika kurang percaya kepada Nasution, karena Nasution gagal kup 17 Oktober 1952. Amerika kurang percaya kepada Yani, karena Yani telah menghancurkan PRRI dan Permesta yang didukung senjata Amerika. Amerika tidak percaya kepada Mursyid, karena Mursyin pengikut Bung Karno yang sangat loyal, patriot, dan nasionalis anti imperalisme. Berdasarkan informasi di atas, diduga Inggris dan Amerika dengan CIA nya membantu Soeharto untuk naik ke panggung kekuasaannya. Tujuannya adalah penguasaan sumbersumber daya alam Indonesia yang sangat kaya raya. Jadi tujuannya adalah penguasaan ekonomi, yaitu masuknya modal asing atau Multi National Corporation mendominasi ekonomi Indonesia. Kenyataanya, sejak Soeharto berkuasa sampai saat ini, modal asing menguasai ekonomi Indonesia. 9. Strategi Soeharto Untuk Berkuasa. Soeharto berpura-pura menjadi anggota Dewan Jenderal untuk memantau persiapan yang sedang dilakukan; Yoga (Trio Soeharto) memberi info kepada S. Parman (atasannya Yoga) bahwa akan ada penculikan-penculikan. Tentu saja tindakan Yoga itu diketahui oleh Soeharto. S. Parman tidak percaya atas kebenaran info Yoga tersebut. Tujuan info info itu adalah untuk mengetahui apakah Yani tahu atau tidak tentang akan adanya gerakan 30 September. Ternyata Yani belum tahu, berdasar ketidakpercayaan S. Parman tentang info tersebut. Diduga Soeharto menyimpulkan bahwa rencana Untung dkk melakukan penculikan 30 September belum diketahui oleh lawan Yani dkk). Keadaan sekitar peristiwa 30 September menguntungkan Soerharto; kalau Untung gagal membunuh Yani dkk, Soeharto menjadi pahlawan, karena ia dengan kawan-kawannya telah memberitahu S. Parman sebelumnya; dan jika Untung berhasil menangkap Yani dkk, Untung dkk harus dilenyapkan. Ternyata yang menjadi kenyataan adalah Untung dkk berhasil menangkap dan membunuh Yani dkk, kemudian Untung dilenyapkan oleh Soeharto dkk. Soeharto dkk naik ke panggung kekuasaan Republik Indonesia. Peristiwa G/30S yang hampir mirip pernah dilakukan sebelumnya oleh Soeharto pada peristiwa penolakan pengangkatan Panglima Kodam Diponegoro, dan pada tahun 1946, yang dikenal dengan peristiwa 3 Juli 1946. Soeharto mampu menggusur Kolonel Bambang Supeno yang akan dilantik menjadi Panglima Kodam Diponegoro, dengan cara menyuruh Yoga dkk mengadakan rapat gelap di Kopeng Salatiga Jawa Tengah yang hasilnya adalah menolak Bambang Supeno menjadi Panglima Kodam Diponegoro. Akhirnya Soekarno membatalkan pengangkatan tersebut dan menggantinya dengan Letkol Soeharto. Soeharto mampu menggagalkan kup 3 Juli 1946, yang dilakukan oleh Tan Malaka dari Partai Murba bersama militer di Jawa Tengah termasuk Soeharto. Pada tanggal 27 Juni 1946 Perdana Menteri Syahrir dkk diculik oleh Soedarsono komandan Divisi III, Sutarto Komandan Militer, dan Abdul Kadir Yusuf Komandan Batalyon di Surakarta. Tanggal 1 Juli 14 orang sipil pendukung komplotan penculik ditangkap dan dijebloskan di penjara Wirogunan Yogya. Sudarsono, Abdul Kadir Yusuf, Sucipto Kepala Intelejen AD, berkumpul di markas Soeharto Komandan Resimen III di Wijoro. Pada tanggal 2 Juli 1946 mereka menggerakkan dua batalyon dari Resimen I dan Resimen III untuk membebaskan kawan-kawannya yang dipenjara di Wirogunan dan berhasil, dan berhasil menguasasi stasion radio, kantor telpon. Dari Wirogunan, kawan-kawan yang dipenjara dibawa ke markas Soeharto untuk dilindungi. Malamnya mereka mempersiapkan kup untuk membubarkan pemerintah Syahrir dan Amir Syarifudin, tetapi dapat digagalkan. Pelaku-pelakunya diadili, dan Soeharto berbalik arah bahwa keberadaan kawan-kawan di markasnya itu adalah dalam rangka mengamankannya atau menawannya. Soeharto tampil sebagai pahlawan. Untung dan Latief yang gagah berani adalah bekas anak buah Soeharto. Supardjo dan Soeharto adalah sama-sama menjadi anggota dewan jenderal, Soeharto Panglima Kostrad, Supardjo wakil Panglima Kostrad dan merangkap Panglima KOLAGA (Komando Mandala Siaga). Untung, Latief, Supardjo, adalah pimpinan kolektif G/30S yang mempunyai hubungan baik secara pribadi dengan Soeharto. Dalam kondisi yang demikian itu, Soeharto memiliki empat jalur yaitu : (1) jalur Dewan Jenderal di mana ia sebagai salah satu anggotanya; dalam jalur ini Soeharto dapat memantau rencana Dewan Jenderal mengadakan kup, (2) jalur Sujono, dan Dul Arief sebagai pelaksana G/30S, (3) jalur Latief, Untung dan Soeparjo, yaitu pimpinan kolektif G/3S, dan (4) jalur luar negeri dukungan Inggris dan Amerika yang ingin melenyapkan Bung Karno. Keempat jalur tersebut berhasil dikelola oleh Soeharto dkk untuk memenangkan pertandingan merebut kekuasaan politik dari Bung Karno. Kemudian Soeharto melaksanakan kekuasaan politik yang didukung oleh Angkatan Darat, Inggris, dan Amerika. Modal asing mengalir masuk ke Indonesia dengan dilindungi oleh Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Politik Ekonomi Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri) Soekarno runtuh diganti oleh politik ekonomi liberal kapitalisme; berdaulat di bidang politik hancur, diganti oleh politik yang dihegemoni oleh imperlisme; kepribadian dalam kebudayaan hancur, diganti oleh kebudayaan Barat individualistik dan liberalistik. 10. Renungan Filsafat Tidak ada kata terlambat dalam kamus politik. Yang ada adalah bahwa kegagalan adalah awal dari kemenangan. Bangsa Indonesia telah gagal membangun dirinya yaitu gagal berdikari dalam bidang ekonomi, berdaulat dalam bidang politik dan gagal berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Kegagalan itu harus menjadi bahan pelajaran untuk menuju sukses dengan cara melakukan pendidikan politik bagi rakyat melalui kegiatan partai politik, kegiatan mahasiswa, dan kegiatan kaum cendekiawan. Ketiga elemen masyarakat itu harus bersatu padu mendidik rakyat agar rakyat sadar politik, kemudian mampu membebaskan diri dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan, dan mampu membebaskan diri dari cengkeraman imperalisme (penjajahan dalam bentuk baru). Bagi PKI, kehancurannya itu disebabkan karena salahnya sendiri, karena penyakit subyektivisme dalam bidang ideologi, avonturisme dalam bidang politik, dan legalismeliberalisme dalam bidang organisasi. Ketiga jenis kesalahan itu yang membawa kehancuran PKI. Semua organisasi politik yang menderita tiga penyakit itu pasti akan hancur. Organisasi politik yang mampu bertahan hidup adalah organisasi yang obyektif (memihak kepada kepentingan mayoritas rakyat) di bidang ideologi, garis perjuangan jelas dan konsisten membela kepentingan sebagian besar rakyat di bidang politik, dan harus ada kristalisasi kader dan disiplin tinggi di bidang organisasi. Sumber: PI, Indonesia - L Jakarta, 28 Februari 2001 Date: 2005/12/6 Section: Politik The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=116 Bertarung Melawan Pembodohan HASTA MITRA: Bertarung Melawan Pembodohan Razif* Menulis di bawah rezim represif adalah pekerjaan berat. Tidak semua orang melakukannya. Tapi menerbitkan buah pikiran yang direpresi dan menghadirkannya kepada publik di bawah represi adalah pekerjaan luar biasa. Apalagi jika yang melakukannya adalah kumpulan orang yang lebih dulu dianiaya dalam tahanan dan harus hidup sebagai “warga kelas dua” di negeri sendiri. “Kami hadir saat Soeharto sedang kuasa-kuasanya,” kenang Joesoef Isak dengan bangga. Kebanggaan yang patut kiranya. Ia adalah editor Hasta Mitra, yang didirikan bersama Hasjim Rachman dan Pramoedya Ananta Toer bulan April 1980. Selama 21 tahun berdiri, perusahaan penerbit itu menyiarkan hampir seluruh karya Pramoedya yang ditulis di Pulau Buru dan mencetak ulang sebagian karyanya sebelum ditahan, seperti Perburuan dan Panggil Aku Kartini Saja. Usaha itu tentu bukan tanpa masalah. Di tahun 1980-an Orde Baru tengah mencapai puncak kejayaannya. Segala bentuk perlawanan, mulai dari PKI, kaum nasionalis, ulama sampai mahasiswa berhasil diredam dan kontrol militer berlaku di segala bidang. Kehidupan sosialbudaya dirasuki semangat “penertiban dan penyeragaman”, di mana pikiran berbeda adalah ancaman, dan mereka yang melakukannya bisa dianggap berkhianat terhadap bangsa dan negara. Sekeping Pernyataan Demokrasi Awalnya sederhana. Tahun 1973 Pramoedya yang ditahan di Pulau Buru diberi sedikit keleluasaan untuk melanjutkan kerja kreatif. Hasrat lama untuk menyusun siklus sejarah Indonesia dalam bentuk cerita pun kembali ditekuninya. Dengan bahan yang serba terbatas ia mulai menceritakan jilid pertama Bumi Manusia kepada tahanan yang lain di sawah-ladang maupun barak penampungan. Baru dua tahun kemudian ia mulai menulis atas jasa beberapa tahanan yang memperbaiki dan menyerahkan mesin tik tua Royal 440 untuknya. Hasjim Rachman, mantan pemimpin redaksi Bintang Timur, yang ikut menikmati kisah-kisah Pramoedya suatu saat mendatanginya dan meminta izin untuk menerbitkannya setelah bebas. Pramoedya pun setuju. “Suatu persetujuan lisan, tanpa bukti, tanpa saksi. Tetapi di balik itu kami berdua menyadari: penerbitan adalah sekeping pernyataan demokrasi,” tulis Pramoedya beberapa tahun kemudian. Di tengah ketidakpastian nasib sebagai tahanan Orde Baru pembicaraan berlanjut membahas rencana-rencana mewujudkan niat itu. Bulan April 1980 selepas dari tahanan, Hasjim dan Pramoedya menemui Joesoef Isak, mantan wartawan Merdeka yang belasan tahun mendekam di Rutan Salemba. Diskusi berkembang, dan kesepakatan dicapai untuk menyiarkan karya eks-tapol yang selama ini tidak mendapat sambutan dari penerbit lain. Awalnya mereka berniat tidak hanya menerbitkan karya tulis, tapi juga menyiarkan rekaman musik, lukisan dan hasil kerja kreatif lainnya. “Kami mau membuktikan kepada dunia bahwa dari Pulau Buru juga bisa lahir hal-hal yang positif, bukan hanya cerita sedih dan penderitaan saja,” kata Hasjim ketika itu. Pembagian kerja dimulai. Pramoedya terus menulis dan memperbaiki naskah-naskah yang disusunnya selama di tahanan. Dua di antaranya, Mata Pusaran dan Oroh Ratusanagara, sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Setelah keluar dari tahanan, naskah Ensiklopedi Citrawi Indonesia yang disusunnya bertahun-tahun jadi sasaran. Bulan September 1979 seorang kapten TNI-AL datang mengambil semua naskahnya dan setelah itu tak pernah kedengaran kabarnya lagi. Joesoef bertindak sebagai editor berbekal pengalaman belasan tahun menjadi wartawan sekian suratkabar sebelum 1965, sementara Hasjim menangani segi usaha dan keuangan. Bulan Mei mereka sepakat menggunakan nama yang dicipta Pramoedya saat masih mendekam di tahanan, Hasta Mitra (Tangan Sahabat). Tidak banyak milik mereka sekeluar dari penjara. Rumah keluarga Joesoef di kawasan Duren Tiga disulap jadi kantor dengan peralatan serba terbatas. Hanya ada satu mesin tik listrik Olivetti yang dipakai bergantian oleh Pramoedya dan Hasjim untuk menggarap pekerjaan mereka. “Modal awal kami ambil dari dapurnya Hasjim,” kenang Joesoef. Beberapa kerabat dan sahabat yang simpati kemudian memberi tambahan modal sehingga Hasta Mitra bisa mulai berjalan. Tetralogi Buru: Demokrasi Hasil Keringat Sendiri Naskah pertama yang mereka pilih untuk diterbitkan adalah Bumi Manusia, jilid pertama dari kisah pergerakan nasional Indonesia antara 1898-1918. Pramoedya kembali bekerja keras memilah tumpukan kertas doorslag yang berhasil diselamatkannya dari Pulau Buru. Hampir semua naskah aslinya ditahan oleh penguasa kamp dan sampai hari ini belum dikembalikan. Dalam waktu tiga bulan ia berhasil menyalin kembali dan merajut tumpukan kertas lusuh yang dimakan cuaca menjadi naskah buku. Hasjim dan Joesoef sementara itu berkeliling menemui beberapa pejabat pemerintah, termasuk wakil presiden Adam Malik, yang ternyata memberikan sambutan baik. Awal Juli 1980 naskah Bumi Manusia dikirim ke percetakan Aga Press dengan harapan terbit menjelang peringatan Proklamasi. Cetakan pertama keluar tanggal 25 Agustus, agak meleset dari harapan semula karena alasan teknis. Hari-hari yang sungguh berarti karena setelah sekian tahun kerja paksa dan setelah lepas dilarang bekerja, kini mereka menikmati hasil kerja sendiri yang pertama. Bagi Pramoedya penerbitan Bumi Manusia, seperti yang dicatatnya, berarti “suatu kebulatan tekad, keikhlasan, dan sekaligus ketabahan untuk memberikan saham pada perkembangan demokrasi di Indonesia – dan bukan demokrasi warisan sah kolonial, demokrasi hasil keringat sendiri”. Bumi Manusia memang pilihan yang tepat. Dalam waktu 12 hari sekitar 5.000 eksemplar habis terjual. Hasjim sampai kewalahan melayani permintaan dari segala penjuru, termasuk dari Malaysia, Belanda dan Australia. Iklan kecil yang dipasangnya di harian Kompas ditelan oleh berita dan tinjauan panjang-lebar dari sejumlah penulis. Walau mendapat pembayaran penuh dari agen dan toko buku, cetakan kedua langsung dipesan. Dalam bulan November Hasta Mitra sudah membuat cetakan ketiga, dan berhasil menjual sekurangnya 10.000 eksemplar. Dan sambutan pun semakin ramai, mulai dari kritikus Jakob Soemardjo dan Parakitri Simbolon sampai artis remaja Yessy Gusman yang menyebutnya “karya sastra yang terbagus saat ini.” Harian Angkatan Bersenjata yang dikelola Mabes ABRI pun menyebutnya sebagai “sumbangan baru untuk khasanah sastra Indonesia”. Pemasukan awal cukup lumayan sehingga Hasta Mitra bisa membenahi ruang kantornya dan mempekerjakan 20 pegawai, yang hampir semuanya adalah eks-tapol. “Hasta Mitra memang tidak untuk cari untung, tapi juga menampung teman-teman yang kesulitan. Waktu itu banyak kantor yang tutup pintu kalau pelamarnya pernah mendekam di tahanan,” kata Joesoef. Seorang kerabat yang simpati memberi sumbangan mesin typeset CR-Tronics yang sangat canggih untuk zamannya dan melengkapi beberapa perabot yang diperlukan. Keberhasilan pertama membuahkan bayangan indah di benak ketiganya. Niat untuk ikut menyumbang pada perkembangan ilmu dan seni semakin membesar. “Mimpi saya sudah macam-macam, bahkan kalau bisa punya koran lagi,” kata Joesoef. Tidak semua mimpinya terwujud, terutama karena rezim Orde Baru mulai menganggapnya sebagai ancaman yang harus ditindak. Pelarangan: Bukan Hanya Membelenggu Pikiran Keberhasilan Bumi Manusia sudah tentu membuat penguasa gerah. Dua hari sebelum cetakan pertama keluar, kantor Hasta Mitra ditelepon oleh Kadit Polkam Kejaksaan Agung. Petugas itu meminta agar buku itu tidak diedarkan sebelum ada clearance dari pihaknya. Permintaan yang aneh tentunya, karena menurut aturan Kejaksaan Agung hanya berwenang melarang buku yang sudah diterbitkan. Pada pertengahan September Hasjim dipanggil oleh Kejaksaan Agung. Tiga hari ia harus melayani pertanyaan para jaksa pemeriksa yang mengatakan bahwa Bumi Manusia “mengandung teori Marxisme terselubung”, tanpa menjelaskan maksudnya tentu saja. Tidak ada kata putus. Sementara itu sejumlah tokoh masyarakat, sastrawan dan pejabat pemerintah mulai menyambut tuduhan kejaksaan. Dengan caranya sendiri-sendiri mereka membenarkan bahwa karya itu memang “mengandung ajaran Marxis” walau selalu gagal menunjukkannya dengan jelas. “Saya heran kenapa banyak intelektual yang sebenarnya sadar, justru bungkam,” kenang Joesoef. Ia berulangkali bertemu dengan ilmuwan, sastrawan dan tokoh kebudayaan yang mengaku “penggemar berat Pramoedya”, tapi tidak memberi pendapat apa pun ketika karyanya dilarang. Kejaksaan pun merangsak maju. Tidak puas dengan tuduhannya sendiri mereka mulai beralih mempersoalan status Pramoedya sebagai eks-tapol. Percetakan Ampat Lima yang memproduksi Bumi Manusia pun jadi sasaran. Pemiliknya berulangkali dipanggil dan diminta agar tidak mencetak terbitan Hasta Mitra. Redaktur media massa pun ditelepon agar tidak memuat resensi apalagi pujian bagi karya Pramoedya. Tetap tidak ada keputusan resmi dan Hasta Mitra bergerak lagi mengeluarkan buku Anak Semua Bangsa. Sambutan pun makin meluas sampai ke daerah-daerah, dan beberapa penerbit di luar negeri mulai menghubungi Hasjim dan Pramoedya, meminta izin menerbitkan edisi bahasa asingnya. Reaksi pun semakin besar. Pertengahan April 1981 beberapa organisasi pemuda ciptaan Orde Baru menggelar diskusi yang isinya mengecam karya Pramoedya. Hasil diskusi ini kemudian disiarkan melalui media massa sebagai “bukti keresahan masyarakat”, modal penting bagi Kejaksaan Agung untuk menetapkan larangan. Suratkabar pendukung Orde Baru seperti Suara Karya, Pelita dan Karya Dharma mulai menerbitkan kecaman terhadap Bumi Manusia dan pengarangnya. Sambutan yang semula baik mulai melemah. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang akan menyelenggarakan pameran buku tahunan, tiba-tiba mengirim surat pembatalan ke alamat Hasta Mitra. Padahal sebelumnya panitia kelihatan sangat bergairah mengajak penerbit itu menjadi anggota dan turut serta dalam kegiatan-kegiatannya. Suratkabar yang semula simpati semakin jarang memberi tempat dan bahkan beberapa tulisan yang siap naik cetak tiba-tiba dibatalkan, hanya karena penulisnya memuji kedua karya Pramoedya. Masalah semakin jelas ketika tanggal 29 Mei 1981 Jaksa Agung mengeluarkan SK- 052/JA/5/1981 tentang pelarangan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Dalam surat itu antara lain disebutkan sepucuk surat dari Kopkamtib yang keluar seminggu sebelumnya, dan Rakor Polkam tanggal 18 Mei 1981. Pelarangan itu sepenuhnya adalah keputusan politik dan tidak ada kaitannya dengan nilai sastra, argumentasi ilmiah serta alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya. Surat keputusan itu memperkuat persekutuan Orde Baru untuk menghantam Hasta Mitra. Para perwira tinggi militer, termasuk Pangkopkamtib Soedomo, selalu menyempatkan diri untuk berkomentar tentang karya Pramoedya. Sebelumnya di markas Kodam Jaya ada pertemuan khusus antara sastrawan dan intelektual yang memberi “landasan ilmiah dan kultural” kepada pejabat militer untuk mengomentari karya-karya Pramoedya. “Menariknya, ada juga di antara mereka yang di masa reformasi malah ikut-ikutan menyambut Pramoedya sebagai penulis besar,’ kata Joesoef sambil tersenyum. Gempuran itu bukan hanya dirasakan Hasta Mitra. Bulan September 1981, penerjemah Bumi Manusia ke dalam bahasa Inggris, Maxwell Lane, yang juga staf kedutaan besar Australia di Jakarta, dipulangkan oleh pemerintahnya. Perusahaan Ampat Lima yang mencetak kedua karya pertama juga akhirnya mundur karena tekanan dari Kejaksaan dan aparat keamanan. Akibatnya saat hendak menerbitkan Sang Pemula dan Jejak Langkah tahun 1985, Hasjim terpaksa mencari percetakan kecil di kawasan Kramat yang dikelola seorang ibu tua dan anakanaknya. Bagi Hasta Mitra yang “bermodal dengkul”, pelarangan itu adalah masalah serius. Semua agen dan toko buku didatangi oleh Kejaksaan Agung yang menyita semua eksemplar Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Beberapa di antaranya malah mengambil inisiatif menyerahkannya secara sukarela. Tapi anehnya sampai Agustus 1981, hanya ada 972 eksemplar yang diterima oleh Kejaksaan Agung, dari sekitar 20.000 eksemplar yang beredar. Rupanya banyak agen dan toko buku yang malah memilih menjual eksemplar yang tersisa di bawah tangan. Masalahnya tak satu pun agen dan toko itu membayarnya kembali kepada Hasta Mitra, sehingga pendapatan mereka terus merosot. Pada pertengahan tahun 1980-an toko buku Hasta Mitra di Senen praktis menjadi satu-satunya tempat menjual terbitan mereka secara terbuka. Tapi karena hutang bertumpuk, akhirnya toko itu terpaksa ditutup. Niat menerbitkan karya eks-tapol yang lain pun diurungkan. “Itulah esensi pelarangan buku-buku kami: untuk menghancurkan kegiatan Hasta Mitra secara politik maupun ekonomi,” kata Joesoef. Ekspansi di Tengah Represi Pelarangan demi pelarangan boleh jadi meredam sambutan di negeri sendiri, tapi tidak demikian halnya di luar negeri. Hanya beberapa bulan setelah Bumi Manusia keluar, sejumlah penerbit di Hongkong, Belanda dan Australia mendekati Hasta Mitra untuk mendapat hak terjemahan. Kesepakatan pun dibuat. Pramoedya sebagai penulis tetap mendapat royalti sementara Hasta Mitra hanya bertindak sebagai perantara. Penerbit Wira Karya di Malaysia adalah yang pertama menerbitkan ulang Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dengan membayar royalti sebesar 12% langsung kepada Pramoedya. Setelah kedua buku itu dilarang, Hasjim mulai berusaha menjual eksemplar yang masih tersisa di gudang ke luar negeri. Ia menghubungi sejumlah perpustakaan, pusat penelitian dan toko buku, tapi tidak selalu mendapat tanggapan positif. Di tengah kesulitan lagi-lagi ada pertolongan dari beberapa sahabat yang mengumpulkan modal 50.000 gulden untuk mendirikan cabang perusahaan di Amsterdam dengan nama terjemahan dalam bahasa Latin, Manus Amici. Penerbit dan toko buku itu terletak di pusat kota Amsterdam dan dikelola oleh Edi Tahsin, eksil Indonesia dari Tiongkok yang sejak 1977 bermukim di Belanda. Bulan September 1981 ia menerbitkan terjemahan Bumi Manusia dalam bahasa Belanda, disusul oleh Anak Semua Bangsa. Tapi tidak semua kegiatannya berjalan mulus. Di Belanda, Manus Amici tidak hanya menerbitkan buku. Banyak dana yang dikirim dari Jakarta ternyata habis untuk membantu para eksil, mulai dari menyeberangkan mereka di perbatasan negara Eropa Barat sampai mengurus paspor dan izin tinggal. Hasil penjualan buku dalam bahasa asing pun banyak disalurkan untuk kegiatan seperti itu sehingga modalnya tidak pernah berkembang. “Memang sejak awal Hasta Mitra punya misi membantu teman-teman yang kesulitan. Untung itu perkara nomer dua,” kata Joesoef. Modal awal sebesar 50.000 gulden pun amblas dalam waktu beberapa tahun, dan Manus Amici pun gulung tikar. Dan selanjutnya penerbitan dalam bahasa asing – saat ini karya Pramoedya sudah diterbitkan sekurangnya dalam 12 bahasa – ditangani langsung dari kantor di Jakarta. Di samping itu ada juga penerbit yang menerbitkan karya Pramoedya tanpa membayar royalti sesen pun. Di Malaysia misalnya penerbit Abbas Bandung mengeruk untung cukup besar dari penjualan karya Pramoedya, termasuk Keluarga Gerilya yang sejak tahun 1970-an menjadi bacaan wajib di sekolah menengah. Pertengahan 1987 karena jengkel Pramoedya pernah menuntut penerbit Pustaka Antara pimpinan Datuk Aziz Ahmad karena dianggap tidak membayar royalti seperti seharusnya. Sekalipun harus menanggung rugi, para pendiri Hasta Mitra merasakan banyak “keuntungan” lain. Konsep “tangan sahabat” berkembang karena banyak aktivis yang membantu menyalurkan buku-buku terbitannya, mengadakan diskusi dan bahkan menggunakan hasil penjualan untuk membiayai penerbitan mereka sendiri. Di samping itu juga ada keluarga ekstapol yang bisa mereka bantu seadanya menghadapi tekanan yang hebat secara ekonomi, sosial maupun politik. Tanpa direncanakan sebelumnya, dalam waktu beberapa tahun jaringan distribusi dan pembaca buku terbitan Hasta Mitra terbentuk. Bagi aktivis mahasiswa di zaman itu membaca terbitan Hasta Mitra menjadi semacam “syarat pergaulan” dan bahkan bacaan wajib untuk mereka yang tertarik pada nasib negerinya. “Itulah sumbangan Hasta Mitra bagi gerakan demokrasi. Di samping menyumbang gagasan tentang sejarah bangsa ini, terbitan kami juga bisa digunakan oleh orang lain untuk mengembangkan kegiatannya sendiri,” kata Joesoef. “Hasta Mitra mungkin satu-satunya penerbit yang bisa bertahan 21 tahun tanpa melakukan akumulasi modal. Dan memang karena bukan itu kehendak kami.” Menjadi Penerbit Gerakan Sejak awal para pendiri tidak terlalu peduli masalah administrasi. Dunia penerbitan bagi mereka adalah bagian dari perjuangan. Di tahun pertama-tama pernah juga seorang pejabat BNI menawarkan kredit ringan karena melihat prospek usaha yang cerah. Ada juga yayasan besar yang tertarik untuk memberikan dana. Tapi semuanya mundur teratur setelah larangan pertama dijatuhkan oleh Jaksa Agung. Uluran “tangan sahabat” ternyata lebih banyak disambut oleh komunitas aktivis pro-demokrasi dan kalangan intelektual dan pekerja kreatif yang terlibat maupun bersimpati pada perjuangan itu. Dari segi bisnis, menurut Hasjim, yang paling berjasa menyebarkan terbitan Hasta Mitra adalah agen dan toko buku kecil. Perusahaan mapan lainnya baru mulai nimbrung setelah Soeharto turun tahun 1998. Sebuah penerbit besar yang terkenal di Jakarta dalam tahun pertama “reformasi” bahkan ingin membeli hak cipta karya Pramoedya dari Hasta Mitra. “Tapi setelah keadaan mulai berbalik, dan serangan-serangan terhadap buku kiri mulai terjadi, mereka mundur teratur,” ujar Joesoef sambil tertawa. Banyak juga kalangan yang menganggap Hasta Mitra bisa mengeruk untung besar setelah pembatasan terhadap terbitan mereka dilonggarkan. “Itu tidak betul,” kata Joesoef. “Buktinya dalam tahun pertama setelah Soeharto jatuh, kami tidak menerbitkan satu eksemplar pun. Karena uangnya tidak ada.” Baru akhir 1999 mereka mulai bangkit dengan menerbitkan Arok Dedes, bekerjasama dengan sebuah perusahaan percetakan di Yogyakarta. Dengan kerjasama ini untuk pertama kalinya Hasta Mitra bisa membayar royalti Pramoedya sebesar 17,5% di muka. Bulan Oktober 1999 Hasjim Rachman meninggal dunia setelah bertarung melawan kanker di tenggorokannya selama beberapa tahun. Setelah itu semua kegiatan penerbitan, mulai dari penyuntingan naskah, lay-out, mengurus percetakan dan distribusi ditangani sendiri oleh Joesoef Isak. “Padahal urusan duit, aku lebih ceroboh dari Hasjim,” katanya. Ditambah lagi kebiasaannya memberi bantuan ke sana-sini sehingga kadang uang dapurnya sendiri terbawabawa. Beberapa kerjasama pun dijajaki, antara lain dengan QB Books dan Equinox Publishing, walau masih tersendat-sendat. Perjalanan keliling ke Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa juga membuahkan hasil, antara lain bantuan modal. Di usia 73 tahun ia masih bersemangat dan terus memikirkan cara mengembangkan Hasta Mitra sebagai penerbit gerakan untuk menegakkan demokrasi dengan keringat sendiri. * RAZIF, aktif di Jaringan Kerja Budaya Sumber, ip: Jaringan kerja Budaya http://mkb.kerjabudaya.org/mkb-062001/mkb-rubrik-062001/profil-062001.htm Date: 2005/12/12 Section: Sejarah The URL for this article is: http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=137 mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt